Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tiada tempat untuk berpaling

Pilot senior garuda, lautan siregar, diberhentikan. sementara pilot asing yang lebih tua dipakai untuk mengisi kekosongan.(eb)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA semakin terkenal sewaktu dia membawa Presiden Soeharto dan rombongan bermubibah ke 5 negara, Juli 1975. Ketika pesawat DC-8 "Siliwangi" yang ditumpangi rombongan penting itu siap mendarat di pelabuhan udara Ottawa, ibukota Kanada, petugas menara telah salah dengar "Garuda" sebagai "Aruba". Tapi dengan cepat Kapten Lautan Siregar, pengemudi pesawat Kepresidenan itu, memberitahu tower yang akan mendarat itu "Indonesia Airways", dan "Presiden Republik Indonesia ada dalam pesawat ini." Mengertilah operator menara betapa ia hampir membuat kekeliruan yang bisa serius. Namun 9 Oktober lalu, lewat 4 tahun, pengemudi yang mahir itu muncul di DPR. Dia mengadukan nasibnya karena tak lagi mau dipakai Garuda. Lautan, bekas Ketua Ipsindo 1968-1969 yang kemudian dibubarkan itu, memang dipensiun sejak 1974. Tapi sejak itu dia masih dipekerjakan sebagai tenaga honorer berdasarkan kontrak 5 tahun. Dan kontrak kerja sebagai 'supir' DC-10 itu berakhir 30 September lalu. "Tapi pemberitahuan bahwa saya tak akan dipakai lagi hanya empat hari sebelum berakhirnya masa kontrak," katanya. Masih tinggal di Perumahan Garuda di Jl. Saharjo, Jakarta, Lautan, 50 tahun mengakui secara hukum memang sah apa yang diputuskan pimpinan Garuda itu. "Tapi etisnya kan saya harus diberitahukan 2 atau paling tidak 1 bulan dimuka" katanya. Menurut pilot senior itu, tiga rekan seangkatannya, Kapten Sutjipto, Sumedi dan Rukanto, diperpanjang kontraknya sejak 1 Oktober lalu untuk masa 5 tahun lagi. Merasa masih fit dan mampu, dia jadi bertanya-tanya, apa alasan sebenarnya untuk tak lagi memakainya. Padahal banyak pilot asing bekas KLM dan McDonnell Douglas yang sudah pensiun -- dan rata-rata berusia lebih tua dari Lautan --dipercaya untuk mengemudikan DC-10, dengan gaji dan fasilitas jauh lebih hebat dari pilot domestik." Bahkan ada seorang pilot asing yang sudah berusia 60 di sini," katanya. Melihat kenyataan itu, apalagi di musim haji sekarang, kedengarannya mubazir memang kalau Lautan keburu diapkir. Sakitkah dia? Manager Operasi Garuda, Kapten Kusdinatin, tak mau bicara ketika ditanya lewat humas Garuda. Begitu pula Susatyo, Kepala Biro Personalia, mengelak. Sedang Sekretaris Perusahaan RAJ Lumenta, setelah berkali-kali mengepulkan asap kreteknya, mengakui "sulit" untuk menjawabnya. "Begini saja, Kapten Lautan itu sudah hablsnasa kontraknya, dan Garuda mengucapkan terimakasih," kata Lumenta. Lautan sendiri, sekembali dari penerbangan terakhirnya ke Australia awal Oktober lalu, sudah melapor ke Kusdinatin, boss langsungnya. Tak mendapat Jawaban yang memuaskan, dia lalu diminta menemui Susatyo, tapi malah dioper ke sekretaris yang kemudian menunjuknya agar kembali saja ke Manajer Operasi. "Saya sungguh merasa diping-pong," kata Lautan kesal. Tak berhenti di situ, dia mengaku sudah melapor sampai tingkat Menteri Perhubungan Rusmin Nurjain, yang satu angkatan juga dengan Lautan. Dia merasa gembira juga karena Menteri Rusmin "prihatin" lalu memintanya untul menghadap sendiri ke Dirjen Sugiri. Tapi Dirjen Perhubungan Udara itu, selain belum sempat ditemui Lautan, sudah memberi keterangan, bahwa 'yang terjadi pada Lautan bukan pemecatan." Jengkel Tempat mengadu nasib karyawan di PT Garuda Indonesian Airways itu memang amat terbatas tampaknya. Ketika masih ada Ipsindo (Ikatan Penerbang Seluruh Indonesia, para penerbang masih mempunyai wadah untuk memperjuangkan nasibnya. Tapi dibekukan oleh penguasa di tahun 1973. Selain tak ada wadah untuk serikat buruh, semacam dewan karyawan yang dikenal maskapai asing seperti Caltex --di mana duduk wakil-wakil dari karyawan dan direksi-juga tak dikenal disana. Garuda sendiri kabarnya berusaha meningkatkan kwalitas pilotnya agar mendapat izin mengemudi DC-10. Untuk mengisi masa vakum itu, mereka mengkontrak pilot asing. Dan yang tersedia di pasaran rupanya hanya para penerbang yang sudah dipensiun itu, tapi masih dianggap layak terbang. Bergaji sekitar US$ 5.000 sebulan, mereka juga tinggal di hotel di Singapura, dan naik DC-9 Garuda ke Jakarta setiap kali mau terbang. Di musim haji sekarang, biasanya lebih banyak lagi pilot asing yang disewa Garuda. Tahu pasarannya lagi naik, para pilot yang rata-rata disewa untuk 1 tahun itu, tak jarang meminta gaji lebih tinggi lagi. Untuk penerbangan haji itu, konon banyak yang mendapat Rp 6 Juta sebulan. Tapi Lautan merasa jengkel kalau masalah pilot Garuda itu dihubung-hubungkan dengan soal gaji. "Memang keadaan kami perlu perbaikan," katanya. "Tapi kalau soalnya melulu duit, Singapore Airlines dan MAS sudah datang meminta saya." Kenapa ditolak? "Yah, mungkin ini yang namanya nasionalisme. Dari dulu saya memang ingin terbang, tapi sekaligus ingin mempertahankan kebanggaan sebagai penerbang berbendera Indonesia, di manapun kita berada." Seorang pegawai di Garuda yang mengetahui, membenarkan sikap seperti itu memang masih tebal di kalangan pilot Garuda, terutama yang angkatan tuanya. "Mereka dengan mudah bisa memperoleh kerja di penerbangan asing, dengan gaji berlipat-ganda," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus