NAMANYA semakin terkenal sewaktu dia membawa Presiden Soeharto
dan rombongan bermubibah ke 5 negara, Juli 1975. Ketika pesawat
DC-8 "Siliwangi" yang ditumpangi rombongan penting itu siap
mendarat di pelabuhan udara Ottawa, ibukota Kanada, petugas
menara telah salah dengar "Garuda" sebagai "Aruba". Tapi dengan
cepat Kapten Lautan Siregar, pengemudi pesawat Kepresidenan itu,
memberitahu tower yang akan mendarat itu "Indonesia Airways",
dan "Presiden Republik Indonesia ada dalam pesawat ini."
Mengertilah operator menara betapa ia hampir membuat kekeliruan
yang bisa serius.
Namun 9 Oktober lalu, lewat 4 tahun, pengemudi yang mahir itu
muncul di DPR. Dia mengadukan nasibnya karena tak lagi mau
dipakai Garuda. Lautan, bekas Ketua Ipsindo 1968-1969 yang
kemudian dibubarkan itu, memang dipensiun sejak 1974. Tapi sejak
itu dia masih dipekerjakan sebagai tenaga honorer berdasarkan
kontrak 5 tahun. Dan kontrak kerja sebagai 'supir' DC-10 itu
berakhir 30 September lalu. "Tapi pemberitahuan bahwa saya tak
akan dipakai lagi hanya empat hari sebelum berakhirnya masa
kontrak," katanya.
Masih tinggal di Perumahan Garuda di Jl. Saharjo, Jakarta,
Lautan, 50 tahun mengakui secara hukum memang sah apa yang
diputuskan pimpinan Garuda itu. "Tapi etisnya kan saya harus
diberitahukan 2 atau paling tidak 1 bulan dimuka" katanya.
Menurut pilot senior itu, tiga rekan seangkatannya, Kapten
Sutjipto, Sumedi dan Rukanto, diperpanjang kontraknya sejak 1
Oktober lalu untuk masa 5 tahun lagi.
Merasa masih fit dan mampu, dia jadi bertanya-tanya, apa alasan
sebenarnya untuk tak lagi memakainya. Padahal banyak pilot asing
bekas KLM dan McDonnell Douglas yang sudah pensiun -- dan
rata-rata berusia lebih tua dari Lautan --dipercaya untuk
mengemudikan DC-10, dengan gaji dan fasilitas jauh lebih hebat
dari pilot domestik." Bahkan ada seorang pilot asing yang sudah
berusia 60 di sini," katanya.
Melihat kenyataan itu, apalagi di musim haji sekarang,
kedengarannya mubazir memang kalau Lautan keburu diapkir.
Sakitkah dia? Manager Operasi Garuda, Kapten Kusdinatin, tak mau
bicara ketika ditanya lewat humas Garuda. Begitu pula Susatyo,
Kepala Biro Personalia, mengelak. Sedang Sekretaris Perusahaan
RAJ Lumenta, setelah berkali-kali mengepulkan asap kreteknya,
mengakui "sulit" untuk menjawabnya. "Begini saja, Kapten Lautan
itu sudah hablsnasa kontraknya, dan Garuda mengucapkan
terimakasih," kata Lumenta.
Lautan sendiri, sekembali dari penerbangan terakhirnya ke
Australia awal Oktober lalu, sudah melapor ke Kusdinatin, boss
langsungnya. Tak mendapat Jawaban yang memuaskan, dia lalu
diminta menemui Susatyo, tapi malah dioper ke sekretaris yang
kemudian menunjuknya agar kembali saja ke Manajer Operasi. "Saya
sungguh merasa diping-pong," kata Lautan kesal.
Tak berhenti di situ, dia mengaku sudah melapor sampai tingkat
Menteri Perhubungan Rusmin Nurjain, yang satu angkatan juga
dengan Lautan. Dia merasa gembira juga karena Menteri Rusmin
"prihatin" lalu memintanya untul menghadap sendiri ke Dirjen
Sugiri. Tapi Dirjen Perhubungan Udara itu, selain belum sempat
ditemui Lautan, sudah memberi keterangan, bahwa 'yang terjadi
pada Lautan bukan pemecatan."
Jengkel
Tempat mengadu nasib karyawan di PT Garuda Indonesian Airways
itu memang amat terbatas tampaknya. Ketika masih ada Ipsindo
(Ikatan Penerbang Seluruh Indonesia, para penerbang masih
mempunyai wadah untuk memperjuangkan nasibnya. Tapi dibekukan
oleh penguasa di tahun 1973. Selain tak ada wadah untuk serikat
buruh, semacam dewan karyawan yang dikenal maskapai asing
seperti Caltex --di mana duduk wakil-wakil dari karyawan dan
direksi-juga tak dikenal disana.
Garuda sendiri kabarnya berusaha meningkatkan kwalitas pilotnya
agar mendapat izin mengemudi DC-10. Untuk mengisi masa vakum
itu, mereka mengkontrak pilot asing. Dan yang tersedia di
pasaran rupanya hanya para penerbang yang sudah dipensiun itu,
tapi masih dianggap layak terbang. Bergaji sekitar US$ 5.000
sebulan, mereka juga tinggal di hotel di Singapura, dan naik
DC-9 Garuda ke Jakarta setiap kali mau terbang.
Di musim haji sekarang, biasanya lebih banyak lagi pilot asing
yang disewa Garuda. Tahu pasarannya lagi naik, para pilot yang
rata-rata disewa untuk 1 tahun itu, tak jarang meminta gaji
lebih tinggi lagi. Untuk penerbangan haji itu, konon banyak yang
mendapat Rp 6 Juta sebulan.
Tapi Lautan merasa jengkel kalau masalah pilot Garuda itu
dihubung-hubungkan dengan soal gaji. "Memang keadaan kami perlu
perbaikan," katanya. "Tapi kalau soalnya melulu duit, Singapore
Airlines dan MAS sudah datang meminta saya." Kenapa ditolak?
"Yah, mungkin ini yang namanya nasionalisme. Dari dulu saya
memang ingin terbang, tapi sekaligus ingin mempertahankan
kebanggaan sebagai penerbang berbendera Indonesia, di manapun
kita berada."
Seorang pegawai di Garuda yang mengetahui, membenarkan sikap
seperti itu memang masih tebal di kalangan pilot Garuda,
terutama yang angkatan tuanya. "Mereka dengan mudah bisa
memperoleh kerja di penerbangan asing, dengan gaji
berlipat-ganda," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini