Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan potret diri lazimnya dipahami sebagai representasi diri senimannya yang bersifat partikular, yakni suatu unikum atau kekhasan diri yang dianggap tak tergantikan. Seorang pelukis, misalnya, gemar melukiskan potret dirinya, dalam pose, tanda, dan momentum khusus atau langka. Sebuah lukisan potret diri tak lain merupakan representasi identitas yang menegaskan aura bagi sang "aku".
Namun, apa yang dikerjakan oleh Agus Suwage dengan proyek lukisan dirinya agaknya berbeda dari kecenderungan semacam itu. Se-jak 1995, Suwage terus-menerus mempraktekkan (re)produksi lukisan dirinya sendiri. Lukisan dirinya tak mengikuti tradisi lukisan potret yang lazim. Di sekitar potret dirinya tak kita temukan ekspresi atau tanda khusus yang ingin menyatakan partikularitas sang "aku". Sebaliknya, tak jarang suasana yang tampil dalam lukisan dirinya adalah suasana sehari-hari, yang vernakular. Lukisan diri-nya bukanlah sebuah potret "aku-partikular", melainkan "diriku-sosial". Dengan cara itu potret dirinya meluruhkan batas aku-kedirian tradisi potret.
Dalam pamerannya di Valentine Willie, galeri kontemporer terkemuka di Kuala Lumpur, Malaysia (14 Oktober—6 November 2004), Suwage memamerkan sejumlah potret dirinya dan beberapa obyek terbarunya.
Lihatlah misalnya lukisannya, Sekadar Memperagakan Apa yang Sedang Dilakukan oleh Si Dia, (2004). Seseorang membekap wajah seorang yang lain dengan sebuah bungkus plastik McDonald's. Kita kenali sosok yang diberangus itu menggunakan model diri Suwage. Dilukis dengan citra pada sebuah film negatif, muncullah gambaran misterius yang muram. "Aku" yang seakan mengatakan sesuatu di dalam lukisan ini tidak niscaya menjadi sebuah pusat teks, melainkan bergerak menjadi suatu obyek yang (ingin) diucapkan. Demikianlah potret dirinya bukanlah suatu penanda (signifier) bagi sang aku yang memuat petanda atau gambaran mental (signified) pada kehadiran sang aku sendiri, melainkan suatu simulakrum atau permainan tanda-tanda tanpa acuan ke realitas "aku".
Dua buah lukisan, I Smell Therefore I am dan I Suck Therefore I am, menampilkan potret dirinya dari samping, masing-masing dengan jari-jari tangan "sang lain" berwarna merah jambu, menyumbat hidung dan menjorokkan jari telunjuk ke dalam mulut. Apakah ini cara Suwage yang sensuous untuk menyatakan pendirian seninya, seakan menangkis diktum rasionalitas Descartes ("I think therefore I Exist")? Intelektualitas dan kecerdasan visual adalah lapisan dan ciri lain dari karya Suwage yang langka kita temukan pada seni rupa kontemporer kita.
Suwage mengocok batas-batas antara yang pribadi dan yang sosial, yang nyata dan fiktif, yang ekspresif dan normatif. Lapis kesadaran kritis semacam itulah yang membuat karyanya di sana-sini terasa sebagai ironi atau parodi. Lihatlah misalnya lukisan Paradiso-Inferno PP #2. Sepasang potret dirinya yang kurus nyaris bugil membelakangi kita, tampil dengan aura, topeng babi, celana dalam melorot dan pantat terbakar. Memang, jika Suwage seakan tengah menyatakan semacam keyakinan pribadi, seninya menjadi sangat ironis. Jika ia mencermati suatu fenomena sosial di sekelilingnya, potret dirinya berubah menjadi parodi yang menggemaskan.
Suwage tampaknya sadar akan kualitas "mime" raut wajah dan gestur tubuhnya. Sesungguhnya ia adalah aktor atau pemain "mime" yang piawai di panggung seni rupa. Tapi sampai kapan ia akan terus mengeksploitasinya?
Suwage juga mendandani obyek-obyek becak yang digemarinya untuk membenturkan berbagai citra popularitas. Ia mengusung potret-potret anggota grup musik legendaris The Beatles yang tengah melintasi Abbey Road—dilukis di atas empat buah kanvas mini—ke atas jok-jok becaknya (Acroos the Universe). Sebuah becak digubah menjadi gerobak kaca penuh puntung rokok pada karya Mengasong Barang Kontemporer. Parodi dari kapsul-kapsul Damien Hirstkah ini ? Empat buah becak menopang sebuah papan catur, dengan formasi untuk empat pemain yang sulit dibayangkan. Mungkinkah ia tengah berpikir tentang "seni" bermain catur ala Duchamp?
Bagi Suwage, wacana sosial, juga wacana seni, adalah permainan tanpa akhir, proses tawar-menawar yang terus-menerus. Seperti caranya menawar wacana potret diri yang partikular itu.
Hendro Wiyanto, menulis dari Kuala Lumpur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo