Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terang bulan di Hanoi, Vietnam. Semua orang tumpah ke jalanan merayakan rembulan bundar yang bersinar penuh. Para jejaka berjalan sambil memeluk pinggang ramping gadis-gadis. Oma-opa-ibu-bapak-om-tante asyik mengobrol sembari menyeruput teh di bangku taman kota. "Tak ada yang lebih indah dari purnama di Hanoi," kata Thuy. Gadis 22 tahun ini tengah menikmati Danau Ho Tay yang airnya berkilau-kilau bersama Nga, sang pacar.
Sementara romansa bertebaran di udara, jalanan Hanoi juga tak kalah sibuk. Purnama itu, seluruh jalanan di kota ini seolah menjelma menjadi lautan sepeda motor dengan klakson yang menjerit-jerit bak sekumpulan tante cerewet. Suasana begitu riuh mirip keramaian jalanan Jakarta saat perayaan malam tahun baru.
Hanoijuga seluruh Vietnammemang tengah bergerak. Setiap hari di ibu kota berpenduduk 3 juta jiwa ini adalah perayaan. "Merayakan bulan purnama, malam minggu, pergantian musim, panen, kemenangan perang. Pokoknya, kami merayakan apa saja," kata Thuy lagi. Nona ini berdiri sambil memamerkan ao dai, baju khas Vietnam, sutra halus bermotif bunga yang membalut ketat tubuh rampingnya. "Ini ao dai favorit saya. Bagian dari perayaan terang bulan," tuturnya.
Suasana festival makin terasa. Kebetulan, ketika Tempo berkunjung atas undangan Asia Europe Foundation (ASEF) untuk mengikuti program Hanoi Performing Arts, Vietnam sedang sibuk bersiap merayakan hari kemenangan mengusir tentara Prancis, 10 Oktober 1954. Anak-anak berlatih menari, gadis-gadis menyiapkan ao dai terbaik, dan seniman menuangkan adegan pertempuran ke dalam kanvas lukisan.
Sesungguhnya, kegembiraan adalah hal yang relatif baru bagi rakyat Vietnam. "Dulu, situasi selalu kelabu dan membuat kita prihatin," kata Tran van Thac, seorang insinyur teknik berusia 64 tahun. Mantan perwira Vietcong ini mengenang era 1970 dan 1980-an, ketika kemiskinan masih menggantung pekat di udara Hanoi.
"Hidup waktu itu amat berat," kata Thac. "Jangankan beli sepeda motor, bisa makan saja sudah untung." Pertengahan 1980-an, situasi begitu memburuk sehingga pemerintah terpaksa mengimpor 1,8 juta ton beras demi mengatasi kelaparan yang meluas di berbagai provinsi.
Bukan cuma kemiskinan yang menjangkiti Vietnam. Luka mendalam akibat perang Vietnam Utara yang komunis melawan Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat, 1955-1975, turut memperparah keadaan. Bangsa yang terdiri dari 60 provinsi ini terpecah-belah.
April 1975, babak baru datang dengan jatuhnya Vietnam Selatan. Jutaan warga Vietnam Selatan dimasukkan paksa dalam kamp pendidikan. Mereka dicekoki ajaran komunisme dengan perlakuan yang kurang manusiawi. Akibatnya, 3 juta orang melarikan diri ke berbagai negara. Ratusan ribu di antaranya mengungsiterkenal dengan sebutan "manusia perahu"dengan sampan yang sama sekali tidak layak untuk mengarungi lautan. Tak sedikit manusia perahu ini yang bertemu ajal di tengah laut.
Lalu, bertiuplah angin segar. Pada tahun 1986, dalam sebuah kongres nasional, Partai Komunis Vietnam sadar bahwa rakyat sedang tercekik. Roda perekonomian yang sepenuhnya terpusat pada negara praktis tidak bergerak. Wabah korupsi menggerus hampir semua pemimpin partai dan pejabat pemerintah. Konsep doi moi (renovasi), semacam reformasi ekonomi sosialis atau perestroika ala Vietnam, pun dilaksanakan.
Berbagai pintu dilonggarkan, minyak pelumas di-tambahkan. Pengelolaan ekonomi diserahkan kepada provinsi masing-masing. Para petani tidak lagi berkewajiban menanam komoditas yang ditetapkan pemerintah. Land reform diadakan. Kepemilikan tanah diperbolehkan, meskipun tetap dengan batasan ketat.
Manjurkah doi moi?
Dari segi ekonomi, jawabannya adalah "ya". Angka kemiskinan terpangkas dari 58 persen pada tahun 1993 menjadi 29 persen pada 2002. Ekonomi Vietnam tumbuh rata-rata 7,4 persen per tahun dalam satu dekade terakhiryang tertinggi untuk wilayah Asia sehingga negeri ini dijuluki "naga kecil Asia". Negara dengan total penduduk 80 juta jiwa ini juga berubah dari importir menjadi eksportir beras terbesar ketiga di dunia.
"Hidup kini memang lebih mudah," kata Tran van Thac. Makanan berlimpah dan murah. Setumpuk roti segar buatan petani bisa didapat hanya dengan VND 1.000 (kira-kira Rp 800). Semangkuk besar pho, mi beras berkuah segar dengan irisan daging tipis, bisa dinikmati hanya dengan VND 4.000 atau kira-kira Rp 2.500.
Benar, doi moi tidak selalu disambut antusiasme melambung. Para pengkritik menuding doi moi berdampak samping menyuburkan korupsi dan memperlebar jurang kaya-miskin. Doi moi juga membuat banyak orang tercekik tingginya pajak dan ongkos hidup. Dahulu, sebelum doi moi, biaya pendidikan dan pengobatan ditanggung pemerintah. Sekarang, semuanya mesti ditanggung rakyat. "Tapi, tidak mengapa. Itu harga yang harus kita bayar. Kita toh tidak mungkin kembali ke masa lalu," kata Thanh yang pengacara ini.
Lain ekonomi, lain pula soal sosial-politik. Doi moi ternyata tak seberapa ampuh dalam bidang ini. Keterbukaan masih jauh panggang dari api. Kaum etnis minoritas dilaporkan masih sering mengalami perlakuan tidak manusiawi dari pemerintah (lihat, Sehari Bersama Kaum Highlander). Protes dan keluhan kaum minoritas ini selalu mental karena tak adanya saluran yang efektif.
Indikasi kurang mujarabnya doi moi juga tampak pada surat kabar. Selama hampir dua pekan di Hanoi, tak pernah ada sepenggal pun berita buruk muncul di Viet Nam News, surat kabar berbahasa Inggris. Yang ada hanyalah berita merdu derap laju pembangunan. Negeri ini seolah steril dari tindak kriminal, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya. Padahal Tempo bertemu beberapa turis yang mengeluhkan kriminalitas yang menimpa mereka. Yang paling sering adalah pencurian sepeda motor. "Ssstt, pemerintah di sini memang se-ngaja bikin kesan serba bagus," kata seorang jurnalis dari Filipina.
Kebebasan berekspresi pun dikungkung batasan sumir. Awal Oktober ini, misalnya, dalam sebuah peragaan busana yang disponsori ASEF, pejabat pemerintah mendadak mencekal ditampilkannya busana rancangan dua desainer muda asal Vietnam, yakni Do Chau Giang dan Vu Viet Ha. "Mereka dianggap kelewat kebarat-baratan dan dekaden," kata seorang sumber. Padahal, karya-karya yang dicekal sudah dibahas dalam sebuah lokakarya desainer sehari sebelum pentas. Lagi pula, busana lain yang diizinkan tampil pada saat itu ada yang jauh lebih buka-bukaan ketimbang yang dicekal.
Bagi turis, iklim represif juga masih samar-samar terasa. Pemeriksaan paspor turis di bandara, misalnya, termasuk bagian yang menegangkan. Petugas dengan wajah berkerut mengamati setiap detail yang ada di paspor. Butuh waktu sampai setengah jam hanya untuk mencocokkan nama yang ada di paspor dengan yang ada pada tiket pesawat.
Memang, iklim represif sudah jauh berkurang. Hanoi, satu atau dua dekade lalu, jauh lebih tegang dan misterius. Unpacked, terbitan majalah perjalanan Lonely Planet (1999), menggambarkan betapa tangan Partai Komunis Vietnam begitu panjang menjangkau berbagai aspek hidup masyarakat. Awal 90-an, jauh setelah doi moi diperkenalkan, para petugas masih sembarangan memperlakukan turis. Mereka dengan enteng merampas dan membaca lembar demi lembar catatan harian turis asing yang sedang melenggang santai di jalanan. Bukan mustahil perjalanan si turis berakhir di penjara apabila di buku harian tersebut ditemukan kalimat yang mengkritik pemerintah.
Kini, sensor yang kelewatan tinggal sebagai cerita lama. Biarpun belum sepenuhnya terbuka, perilaku para pejabat pemerintah saat ini sudah lebih membaik. Mereka menyambut turis dengan antusias. Maklumlah, ini bisnis yang terus berkembang pesat. Terlalu sayang untuk disikapi dengan cemberut plus curiga.
Tahun 2002, misalnya, jumlah penumpang penerbangan menuju dan dari Vietnam melonjak 80 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sepanjang 2002 pula, Vietnam dikunjungi 2,6 juta turis asing yang mendatangkan US$ 1,5 miliar (setara Rp 13,5 triliun) bagi negara.
Vietnam memang layak ketiban rezeki ledakan bisnis turis. Negeri ini kaya bangunan bersejarah dari masa pendudukan Prancis di akhir abad ke-19. Vietnam juga punya ikatan historis yang kuat terutama bagi pelancong dari Amerika, Eropa, dan Australia. "Saya ini bisa dibilang anak perang," kata Richard Dickson, 30 tahun, pelancong dari Inggris.
Pada era 70-an, Dickson kecil tumbuh dengan suguhan televisi bertopik Perang Vietnam. Menginjak usia remaja, aneka film bertema VietnamRambo, Platoon, Heaven and Earthmenjadi santapan Dickson. "So, tentu saja mengunjungi negeri ini jadi impian saya sejak dulu," tutur Dickson, yang ditemui Tempo dalam perjalanan kereta menuju Sa Pa, dataran tinggi di utara Hanoi.
Tapi, mencari jejak luka perang tidaklah gampang (lihat, Kenangan Seputar Perang). Hanya segelintir orang tua yang mau membincangkan masa lalu yang gelap itu. Lagi pula, hei , kenangan perang terlampau traumatis untuk dibicarakan berulang-ulang.
"Saya juga berusaha mengobrol dengan anak-anak muda. Tapi mereka tak punya memori apa pun tentang perang," kata Dickson, yang menghabiskan setengah tahun terakhir berkelana ala backpacker di berbagai wilayah Vietnam. "Mereka ini generasi doi moi yang tak peduli lagi pada perbedaan komunis dan kapitalis," ujarnya sembari menunjuk gadis setempat yang berpakaian ala Britney Spears.
Vietnam memang tengah berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo