Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabut tebal membalut Sapa. Kota kecil di pegunungan Hoang Lien, Vietnam Utara, ini tampak puitis dipeluk kabut putih. Rumah-rumah dengan arsitektur gaya Victoria menebarkan pesona. Pohon-pohon besar seperti merindukan matahari. Lalu, di jalanan, samar-samar orang berlalu-lalang seperti dalam adegan film A Walk in the Clouds.
Di tengah kabut pekat itulah tinggal kaum montagnard. Ini istilah warisan pemerintah kolonial Prancis bagi orang-orang gunung di Vietnam. Mereka, para highlander ini, tinggal jauh di kedalaman Gunung Fansipan. Dengan ketinggian 3.143 meter di atas permukaan laut, Fansipangunung tertinggi di negeri itukerap dijuluki atap Vietnam. Brosur-brosur pariwisata menyajikan begitu banyak foto menarik tentang perkampungan orang gunung ini. Di zaman pendudukan Prancis, area seluas 67.864 hektare yang berbatasan dengan Cina ini dijadikan lahan tetirah yang nyaman.
Malam itu, setelah puas dengan hiruk-pikuk sepeda motor di Hanoi, saya memutuskan mengunjungi Sapa. Dengan kereta api yang ada kabin tempat tidurnya, saya berangkat menuju perkampungan para highlander pada suatu pagi di awal Oktober yang dingin. Harga tiketnya relatif mahal untuk ukuran lokal, sekitar US$ 15 (sekitar Rp 135 ribu)
Pemandangan yang memikat mata telah menanti begitu saya sampai di Sapa, setelah berkereta delapan jam. Bentang alam (landscape) Gunung Fansipan sepintas mirip dengan Bali, yang kaya persawahan berundak. Bedanya, alam Fansipan lebih variatif dengan batu-batu alam yang menjulang tinggi sampai puluhan meterDragon's Jaw alias Jepitan Raksasa, begitulah penduduk setempat menyebutnya. Kabut tebal membuat rahang dewa naga ini menyebarkan suasana mistik.
Yang tak kalah fantastis adalah orang-orang gunung itu sendiri. Mereka berlalu-lalang dengan pakaian khas yang didominasi warna hitam dengan semburat merah-biru cerah. Orang-orang berwajah mirip ras Mongoloid dengan pipi kemerahan ini umumnya berjalan tanpa alas kaki. Mereka tak peduli hawa dingin, 15 derajat Celsius, datang menyergap. "Ini orang-orang Black H'mong," kata Thanh, 25, pemuda setempat yang menjadi guide Tempo dalam perjalanan ke gunung itu.
Secara keseluruhan, ada 54 etnis minoritas yang tergolong montagnard. Total populasinya hanya 37 ribu. Sebagian besar (52 persen) mereka adalah orang Black H'mong, yang terdiri dari enam suku kecil. Irina, 22, turis dari Belanda, terheran-heran dengan jumlah populasi yang amat kecil ini. Gadis ini menggelengkan kepala sambil berguman: "Bagaimana bisa? Bukankah mereka hidup di tanah yang begitu subur?"
Riwayat kaum montagnard Vietnam tak bisa dibilang menyenangkan. Masyarakat Vietnam menyebut mereka moi, orang liar dan tidak beradab. Sebutan yang tentu saja membuahkan sakit hati bagi orang gunung. "Itu sebabnya, orang-orang gunung cenderung tidak percaya pada orang-orang Vietnam," Thanh menjelaskan. Perlakuan buruk yang mereka terima membuat warga pegunungan ini memang cenderung menganggap dirinya "bukan orang Vietnam".
Pada masa perang Vietnam Utara-Vietnam Selatan, 1955-1975, kaum pegunungan ini diperebutkan kedua belah pihak yang bertikai. Mantan Perdana Menteri Vietnam Selatan (1963-1965), Jenderal Nguyen Cao Ky, menjelaskan hal ini. "Kami tahu bahwa Utara menjadikan montagnard sebagai surga untuk mempersiapkan serangan ke Selatan," tulis Cao Ky dalam buku memoarnya, Buddha's Child: My Fight to Save Vietnam. Demi mencegah infiltrasi komunis, Cao Ky berusaha merebut simpati suku-suku montagnard. Salah satu cara adalah dengan menjadikan tanah garapan sebagai hak milik orang-orang gunung itu.
Tarik-ulur Utara-Selatan itu amat beralasan. Tempat tinggal orang gunung rapat dipagari hutan lebat yang susah ditembus. Lokasi ini amat ideal sebagai tempat persembunyian tentara gerilya. Belum lagi bila diperhitungkan adanya mitos kesaktian yang dimiliki suku-suku minoritas ini. Konon, pernah terjadi pesawat tempur B-52 milik Amerika jatuh dipanah orang montagnard. Cerita yang beredar dari mulut ke mulut ini tak pernah bisa diverifikasi kebenarannya.
Seusai perang, para montagnard masih juga mengalami ekses tak sedap. Semangat reformasi doi moi hampir tidak menyentuh orang pedalaman ini. Pemerintah komunis menerapkan aturan yang represif, terutama bagi suku-suku yang dianggap pernah memihak Selatan. Scott Johnson, pengacara Australia yang mendirikan Montagnard Foundation, mendokumentasikan sedikitnya 1.000 kasus sterilisasi paksa terhadap perempuan montagnard.
Bukan cuma itu. Pemerintah juga membagi-bagikan sawah dan ladang kopi kaum montagnard kepada orang Vietnam dengan percuma. Tidak sedikit pula montagnard yang beragama Kristen yang dipukuli dan dipaksa mengganti identitas dan pindah agama. Akibatnya, seperti dilaporkan organisasi Refugee International (RI), ratusan orang gunung yang tak tahan terpaksa lari dan mengungsi ke negara terdekat seperti Kamboja dan Thailand.
Perlakuan tidak adil terus menumpuk hingga akhirnya, Februari 2001, suku-suku minoritas ini mengajukan protes keras kepada pemerintah Vietnam. Beberapa lokasi pariwisata, yang sebenarnya merupakan tempat tinggal para montagnard, terpaksa ditutup dari turis asing sementara selama protes berlangsung. Protes ini, juga tekanan dunia internasional, akhirnya membuat pemerintah Vietnam berjanji untuk memperbaiki situasi. "Tidak ada pembatasan kebebasan beragama di Vietnam," kata Menteri Luar Negeri Vietnam, Nguyen De Nien.
Sambil menanti janji perbaikan, orang-orang gunung ini terus berkarya. Seperti orang Baduy di Banten, kaum montagnard juga menenun kain dan mengolahnya dengan teknik pewarnaan natural. Kerajinan tapestry berwarna cerah adalah andalan montagnard. Tas, baju anak-anak, selimut, dompet, sarung bantal, semuanya dibordir dengan benang merah-hijau-biru. Selembar sarung bantal yang dibordir penuh hanya dihargai VND 20 ribu (Rp 11.000). "Maam, look at this beaaautiful blankey (blanketRed.) This color good for you," kata Ha, seorang gadis remaja, menawarkan selimut yang dibordir tangan dengan bahasa Inggris terpatah-patah. Buku-buku jari tangannya berwarna hijau-biru, pertanda hari-harinya dihabiskan dengan membordir kain.
Sore itu saya berkesempatan mengunjungi perkampungan suku Cat-Cat yang ada di pinggiran Kota Sapa. Kampung kecil ini hanya dihuni 35 keluarga. "Kira-kira, suku Cat-Cat hanya tinggal 150 orang," Thanh menjelaskan. Suku inilah yang paling punya naluri komersial, berdagang hasil kerajinan, di antara suku-suku Black H'mong yang lain.
Rasa heran memuncak begitu saya melongok rumah salah satu penduduk. Rumah kayu yang kecil, hampir tanpa ventilasi, itu tidak banyak berisi barang kecuali peralatan rumah tangga dan alat-alat membordir.
Lalu, ke manakah hasil berjualan padi, selimut, tas, dan segala jenis kerajinan tangan? "Penghasilan kami tak seberapa, kok," kata Nga, seorang ibu berusia 50-an tahun. Data pe-merintah setempat menunjukkan kerja keras mereka hanya menghasilkan VND 250 ribu atau Rp 150 ribu per kepala keluarga. Seolah mengerti isi kepala saya, Nga berkata me-nenteramkan: "Ooo, that's ok!" Senyumnya mengembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo