Kasospol ABRI mengusulkan agar kabinet mendatang menampung orang partai. Indonesia tak mengenal partai oposisi dan sudah berasas tunggal. MIMPI memang tak harus jadi kenyataan. Termasuk mimpi orang partai politik untuk jadi menteri. Namun, bisa saja keinginan itu jadi kenyataan jika terwujud ide Letnan Jenderal Harsudiono Hartas, Kepala Staf Sosial Politik ABRI, agar orang parpol bisa duduk di kabinet. Pernyataan Kasospol itu dilontarkannya ketika berbicara di dalam Seminar "Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia" yang diadakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Pusat Antar-Universitas bidang Ilmu Sosial UI. Dalam acara yang berlangsung Rabu pekan lalu, Harsudiono antara lain mengatakan, "Sudah waktunya membuka pintu bagi masuknya unsur parpol dalam susunan kabinet." Menurut Harsudiono, kini semua organisasi politik sudah berasas tunggal Pancasila. Maka, katanya, sudah waktunya parpol diberi tempat di kabinet. Sebetulnya, duduknya orang partai (PPP dan PDI) di kabinet selama sejarah Orde Baru -- terutama setelah Pemilu 1971 -- bukannya tak ada. Dalam Kabinet Pembangunan II, ketika itu tampil dua tokoh parpol. H. Mintareja dari PPP menjadi menteri sosial dan Prof. Sunawar Sukawati dari PDI sebagai menteri kesejahteraan rakyat. Namun, seusai Sidang Umum MPR 1978 -- ketika itu Golkar menang mutlak dalam Pemilu 1977 -- tak satu pun orang partai tersisa di kabinet. Memang ada beberapa tokoh "non-Golkar", misalnya para teknokrat dan birokrat. Namun, beberapa saat setelah pelantikan, mereka langsung diboyong ke kantor DPP Golkar (ketika itu masih di Jalan Majapahit), dan diperkenalkan oleh Ketua Umum Amir Moertono bahwa mereka adalah "kader Golkar". Setelah itu, semua menteri dikenal sebagai kader Golkar. Karena itu, muncul pertanyaan mengapa kalangan parpol tak diikutkan dalam kabinet. Presiden Soeharto menjawabnya lewat pidato pelantikan kabinet ketika itu. "Para menteri yang duduk dalam kabinet bukan mewakili suatu golongan atau secara berat sebelah mewakili kepentingan golongan mana pun," katanya. Alasan lain tak "diajaknya" orang parpol, mungkin, ada kaitannya dengan setting politik saat itu. Pada Sidang Umum MPR 1978, anggota Fraksi PP dan PDI dinilai bergaris "oposisi". Fraksi PP, misalnya, melancarkan walk out dalam salah satu persidangan di MPR. Karena itu, menurut Harsudiono, perlu ada kesepakatan agar orang-orang parpol seandainya duduk di kabinet, menanggalkan "baju partai"-nya. Ganjalan lain yang harus disingkirkan, katanya, adalah sisa-sisa pemikiran ideologis selain Pancasila. Ide Harsudiono itu langsung disambut hangat oleh parpol. "Itu gagasan bagus," kata Ketua Umum PDI, Soerjadi. Selama ini, asas yang diterapkan dalam bernegara adalah kekeluargaan. Ia berharap asas itu juga tercermin dalam susunan kabinet. Pihak Golkar bertahan tak mau mengutak-atik hak prerogatif presiden. "Dia berhak menunjuk pembantunya yang dianggap bisa bekerja sama," kata Jacob Tobing, Ketua DPP Golkar. Hanya saja, katanya, sampai saat ini kapasitas yang dimiliki oleh kader Golkar sudah cukup untuk mengisi kursi kabinet. Yang siap dengan kader berbobot tampaknya bukan hanya Golkar. "Kalau memang diminta oleh Presiden, kami siap mengirimkan daftar riwayat hidupnya," kata Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum PPP. Lebih-lebih, katanya, Indonesia tak mengenal partai oposisi. Mestinya tidak pula mengenal partai yang memerintah ruling party. "Apakah ide ini akan terwujud atau tidak, itu hak presiden," tambah Ismail. Rustam F. Mandayun, Iwan Q. Himawan, dan Wahyu Muryadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini