Pengelola minyak rakyat Bojonegoro mati lagi. Ia konon siap membuka daftar yang minta upeti. SATU lagi korban "perang minyak" Bojonegoro jatuh. Wiji Warsito, Ketua KUD Bogosasono yang mengelola bisnis minyak ditemukan tewas. Kematiannya mengundang teka-teki. Ada yang menduga, Wiji bunuh diri gara-gara stres harus mempertanggungjawabkan menguapnya uang koperasi Rp 227 juta. Namun, ada dugaan lain, Wiji "dipaksa bunuh diri" dengan menenggak obat nyamuk oleh orang-orang yang pernah memungut "upeti". Pada hari kematiannya Selasa pertengahan Juli, seharusnya Wiji menghadap tim pemeriksa untuk menyerahkan daftar siapa saja yang ikut menghirup upeti minyak itu. "Hari itu seharusnya Wiji datang ke kantor kami," kata Soebroto Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata Soebroto, Wiji berjanji akan membongkar manipulasi uang minyak sebesar Rp 227 juta. Menurut Wiji, ada beberapa pos pembukuan yang sangat besar, misalnya biaya administrasi Rp 130 juta. Uang itu, katanya, untuk bekal sejumlah pejabat. Besarnya, antara Rp 50 ribu dan Rp 1 juta. Sebelum ajal, pensiunan sinder Perhutani itu mengaku telah mengeluarkan uang bukan untuk keperluan KUD. Di antaranya untuk para pejabat dan anggota DPRD Bojonegoro. Nandi Warsidi, Ketua Komisi A DPRD Bojonegoro, misalnya, dicatat "punya utang" Rp 15 juta. Ketua DPRD Bojonegoro, Moh. Thoha Sasmita, juga "pinjam" Rp 500 ribu. Kepada TEMPO Nandi mengaku meminjam -- dalam arti sebenarnya -- untuk bisnis pabrik rokok keluarganya. Sedangkan Thoha mengaku pinjam untuk sekolah anaknya. "Nanti akan saya kembalikan," kata Thoha. Tentang soal pinjam meminjam itu, Bupati Bojonegoro Imam Soepardi sampai mengancam, "Kalau tak mau mengembalikan, akan saya tindak." Adapun manipulasi, kata Imam, bermula dari pemeriksaan BPKP Jawa Timur awal tahun lalu. Menurut BPKP, selama tahun 1989-1990, ada penyimpangan uang Rp 1,3 milyar. Dari laporan ini, Kejaksaan Bojonegoro lantas melakukan penyidikan. Namun, Soebroto kepada TEMPO menegaskan bahwa pihaknya punya bukti-bukti manipulasi sebesar Rp 227 juta. Jumlah itu didapat dari penyelewengan sisa hasil usaha KUD sejak tahun 1988 sampai 1990 yang tidak dibukukan. Sayang, janji Wiji rupanya dibawa mati. Maklum, korban adalah orang yang paling tahu isi perut koperasi Bogosasono, satu- satunya KUD yang dipercaya Pertamina mengelola penambangan minyak. Agaknya, tradisi minta upeti itu sudah hidup sebelum beralih ke koperasi. Selama bertahun-tahun Kartorejo, Kepala Desa Hargomulyo, dan Watah Wartosentono, Kades Wonocolo, memonopoli penambangan itu. Baik Kartorejo maupun Mbah Watah benar-benar menjadi "raja minyak" dan sumber upeti bagi pejabat. Monopoli kedua "raja minyak" itu kemudian tumbang setelah keluar SK Menteri Pertambangan dan Energi bahwa sejak April 1988 pengelolaan tambang minyak di dua desa itu diserahkan ke KUD Bogosasono, yang terakhir dipegang Wiji tadi. Sejak ditangani koperasi, perolehan minyak meningkat. Dari 20 sumur berkembang menjadi 53 sumur dan menghasilkan 95 ribu liter. Selama 1989 tercatat produksinya 29 juta liter atau senilai Rp 2,5 milyar. Baik Mbah Watah maupun Wiji tampaknya sama saja. Mati karena upeti. Bahkan Kapolda Jawa Timur Mayjen. Koesparmono Irsan sendiri sampai akhir pekan lalu belum berani mengatakan sebab kematiannya. Agus Basri dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini