Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADEGAN awal adalah silat. Diperlihatkan Amir Hamzah remaja (diperankan Ridho Ramanda) berlatih di bawah bimbingan sang guru, Ijang Wijaya, pelatih silat istana Langkat (dimainkan Aliman Surya). Tidak ada koreografi silat yang mengentak sebagai pembuka pertunjukan Amir Hamzah: Nyanyi Sunyi Revolusi yang disutradarai Iswadi Pratama di Gedung Kesenian Jakarta pada 2-3 Februari lalu itu.
Bagi yang pernah membaca riwayat Amir Hamzah segera bisa meraba diletakkannya adegan silat Amir-Ijang di bagian depan itu bukan sekadar bunga-bunga aksesori panggung, tapi kunci dramatis bagi pertunjukan. Dalam biografi Amir diketahui, meski dikenal sebagai pegawai istana yang dekat dengan Amir, Ijang Wijaya adalah orang yang kemudian mengeksekusi Amir. Ia menggorok leher majikannya sendiri.
Seorang sutradara yang memanggungkan riwayat Amir Hamzah pasti tertarik mengolah unsur tragis yang dialami Amir. Amir Hamzah dikenal sebagai raja penyair Pujangga Baru. Dia terkesima oleh Sumpah Pemuda. Di zaman ketika kalangan terdidik pribumi pada 1930-an masih belum biasa menggunakan bahasa Indonesia di mimbar umum dan lebih suka berbahasa Belanda, Amir aktif mempromosikan bahasa Indonesia. Ia banyak menggali kosakata Melayu klasik untuk memperkaya sajak-sajaknya. Seorang sutradara bisa memilih fase mana dari riwayat Amir yang ditonjolkan sebelum sampai ke kematian Amir. Bisa dari perjuangan Amir di bidang bahasa tersebut atau keindahan sajak-sajaknya; bisa dari periodenya ketika ia kembali ke Langkat, Sumatera Utara, dan terjadi revolusi sosial Langkat; atau yang lain.
Adegan pembuka di atas disusul ade-gan percakapan Amir Hamzah (diperankan Lukman Sardi) dan istrinya, Tengku Kamaliah (Desi Susanti), yang merupakan putri Sultan Langkat Mahmud Rahmad Shah. Mereka mendiskusikan situasi di luar istana yang gawat. Laskar-laskar rakyat memburu, menangkapi bangsawan Sumatera karena dianggap selama ini memihak Belanda. Yang menjadi soal, suasana mencekam tersebut kurang terasa di panggung dengan tata sederhana itu. Kegentingan itu tak menguar dari kalimat dan akting datar Lukman Sardi sebagai pemeran sentral.
Setelah itu—tanpa mengubah set—adegan meloncat ke dialog Tengku Kamaliah dan putrinya, Tengku Tahura (dimainkan Prisia Nasution), bertahun-tahun setelah kematian Amir Hamzah. Kamaliah menceritakan kepada putrinya bagaimana detik-detik terakhir kehidupan Amir, sang ayah. Namun pembicaraan berbelok ke percakapan mengenai Ilik Sundari, kekasih Amir semasa bersekolah di Solo. Terasa drama ini sengaja ingin mengarahkan plot ke riwayat Amir Hamzah yang kehidupan cintanya terombang-ambing di antara dua wanita.
Produser Happy Salma sesungguhnya bisa saja tetap berfokus atau memberi porsi utama pada seputar kerusuhan di Langkat. Sejumlah sejarawan menyatakan Pemuda Sosialis Indonesia, para pemuda yang tergabung dalam kelompok Gagak Hitam, Pasukan Marsose, Barisan Harimau Liar, dan Laskar Hizbullah adalah penggerak utama penangkapan bangsawan-bangsawan Langkat. Mengapa Amir Hamzah dianggap bagian dari antek Belanda? Tidak tahukah mereka bagaimana Amir adalah orang yang sedari awal memperjuangkan republik? Bagaimana hubungan Ijang Wijaya dengan laskar-laskar itu? Adalah menarik hal-hal seputar laskar itu, misalnya, diangkat atau dikonstruksi dalam adegan.
Dari adegan kemesraan di Jawa, adegan balik lagi ke tempat kediaman Amir di Langkat. Disajikan Amir Hamzah berkeras tak mau lari meskipun massa akan menyasar istana. Ia merasa tak bersalah. Keputusan Amir berakibat fatal. Adegan selanjutnya memperlihatkan Amir dengan tangan diikat dan kepala dikudung karung putih digiring para pemuda. Amir diminta bersimpuh. Seorang algojo mengenakan kain penutup muka menghunus pedang bersiap memenggalnya.
Namun pilihan produser Happy Salma bukan ke situ. Tragedi Amir Hamzah malam itu lebih didekati secara halus. Ade-gan selanjutnya, kilas balik kemesraan Amir dan kekasihnya, Ilik Sundari, diberi porsi yang besar. Mereka diperlihatkan tengah bercengkerama sembari berlatih drama membawa petilan kisah Marah Rusli: Siti Nurbaya. Bagi yang sudah membaca biografi Amir pasti mengetahui adegan itu terjadi di Solo pada 1927 saat Amir bersekolah di Algemene Middelbare School, mementaskan drama yang disutradarai Armijn Pane. Namun, karena tak ada penanda apa pun dalam ulang-alik waktu di panggung, mungkin susah bagi penonton yang tak mengenal riwayat Amir. Hanya, itu bukan menjadi persoalan benar karena Sri Qadaratin, yang memainkan peran Ilik, mampu menghidupkan panggung. Ia bahkan terasa lebih hangat daripada Lukman Sardi.
Di samping membuat dialog, penulis skenario Ahda Imran menampilkan adegan dalam bentuk monolog kecil para tokoh utama. Ahda, penyair dan bekas wartawan di Bandung, belakangan dikenal aktif menulis naskah monolog bertema tokoh bangsa dari Inggit Garnasih, Tan Malaka, sampai Sutan Sjahrir. Namun sering kali kalimat monolog yang keluar dari para tokohnya berupa informasi seputar kejadian sehingga mengurangi kenaturalan ucapan. Demikian juga dalam beberapa kalimat Tengku Tahura malam itu. Tapi memang drama ini bukan didesain menjadi sebuah pertunjukan realis yang menampilkan peristiwa tragedi Amir Hamzah dengan sebab akibat adegan yang ketat.
Dari adegan kemesraan di Jawa, ade-gan balik lagi ke tempat kediaman Amir di Langkat. Disajikan Amir Hamzah berkeras tak mau lari meskipun massa akan menyasar istana. Ia merasa tak bersalah. Keputusan Amir berakibat fatal. Adegan selanjutnya memperlihatkan Amir dengan tangan diikat dan kepala dikudung karung putih digiring para pemuda. Amir diminta bersimpuh. Seorang algojo mengenakan kain penutup muka menghunus pedang ber-siap memenggalnya.
Penebasan kepala Amir itu aslinya terjadi pada 20 Maret 1946 di Kwala Begumit, 20 kilometer ke arah selatan dari Tanjung Pura menuju Medan. Adegan di panggung lumayan menggigit. Amir Hamzah meminta algojo membuka kudung yang menutupi kepalanya. Ia juga meminta sang algojo menunjukkan wajahnya. Lukman Sardi cenderung tenang saat mengekspresikan keterperenyakan Amir tatkala menyadari sang eksekutor adalah Ijang Wijaya, guru silat dan tukang kebun istana Langkat. Namun penonton langsung bisa mengaitkan dengan adegan awal saat Amir kecil berlatih silat.
Sang guru silat kemudian digambarkan gila, meski sesungguhnya kondisi ini terjadi saat Ijang, atas putusan pengadilan Binjai pada 1947, dipenjara dan tiap malam meraung-raung merasa dihantui bangsawan-bangsawan yang dibunuhnya. Apabila drama berhenti pada adegan pemenggal-an sebenarnya sudah cukup. Namun masih diperlukan tambahan.
Di panggung lalu disajikan Tengku Tahura bertahun kemudian berziarah ke makam ayahnya di Medan. Dia bertemu dengan seorang bapak tua bersongkok hitam bekas pegawai Amir di Binjai (diperankan Iswadi Pratama sendiri) bersimpuh di kuburan Amir. Bapak itu mengenali Tahura karena semasa kecil sering dibawa Amir ke kantor. Dia menangis, meminta maaf, karena ia termasuk anggota laskar yang menculik Amir dan menjarah istana Langkat. Tahura memaafkan. Terasa klimaks yang agak melodramatis. Drama ini berusaha menyajikan paradoks revolusi yang menimpa Amir Hamzah lewat sudut penceritaan dan pemanggungan yang tak berapi-api.
SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo