Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tangan Mentjentjang Bahu Memikul ini tidak masuk kategori genre laga melainkan genre drama.
Peran tokoh Darmo, Darmi, Irwan, dan Amat bisa ditengok dengan teori kejahatan kontemporer.
Komik Mopizar bermakna: kesalahan yang kita perbuat itu kita pula yang menanggungnya.
TANGAN mencencang bahu memikul = kesalahan yang kita perbuat itu, kita pula yang menanggungnya. Demikian tercantum dalam buku Peribahasa (Balai Pustaka, 1950, h. 371) susunan Kasuma Sutan Pamuntjak (1892-1962), Nur Sutan Iskandar (1893-1975), dan Aman Datuk Madjoindo (1896-1969).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mouna Pirous Zainal Arifin (1919-1985), yang menyingkat namanya sebagai Mopizar, menggubah cerita-gambar berjudul sama, Tangan Mentjentjang Bahu Memikul (1966). Berikut kisahnya:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darmo, yang lari dari kejaran polisi, bersembunyi di rumah ibunya, Ibu Isah. Gerombolan kriminalnya digerebek ketika membongkar toko emas dan temannya tertangkap semua.
Sebagai buron, Darmo butuh uang. Namun, karena ibunya hanyalah seorang tukang cuci, ia berencana meminta kepada Darmi, adiknya. Jumlah yang dibutuhkannya adalah Rp 100.000,-, tentulah nilainya besar semasa tahun terbit komik tersebut (Rp 19.464.981,07 pada 2024). Menurut Darmo, adiknya bisa meminta bantuan Irwan (semula tertulis Irawan), kekasih Darmi.
Adapun Darmi memang kemudian meminta uang sejumlah itu, dengan permintaan tambahan bahwa Irwan tidak perlu bertanya uang tersebut digunakan untuk apa. Meski sempat bingung, demi cinta, ia mau juga mencarikan uang tersebut.
Di jalan, Irwan bertemu dengan Amat. Mereka berdua sebenarnya sama-sama bekas anak buah Darmo sebagai penyelundup. Amat dikeluarkan oleh Darmo, yang juga menganiayanya, karena Amat menjual hasil rampokan.
Maka Amat bermaksud mengajak Irwan untuk membalas dendam karena polisi memberi hadiah besar bagi yang menemukannya.
Namun Irwan menolak. Sebab, sebelum komplotan penyelundup ini mengalihkan kegiatan menjadi perampokan, Darmo menganjurkan Irwan keluar dan bekerja sebagai orang baik-baik. Darmo juga memberi uang dan arloji merek Mido sebagai modal untuk membangun hidup baru, yang dilakukan setelah Irwan memperlihatkan foto kekasihnya.
Amat sempat berfirasat.
Setelah mereka berpisah, Irwan, yang sedang termenung mencari akal demi mencarikan uang Darmi, malah disapa Darmo, yang langsung mendesaknya agar Irwan mencarikan uang Rp 100.000,-. Kalau perlu dengan menjual arloji Mido yang pernah diberikannya.
Irwan memang bermaksud menjual arloji itu, tapi maksudnya untuk Darmi. Keadaan ini jelas membingungkannya. Namun, saat Darmo mendesak, dan dijawab Irwan bahwa arloji itu memang mau dijualnya tapi demi kekasih yang merahasiakan keperluan, Darmo justru lantas tidak memaksa lagi—hanya ditunjukkannya gudang tempat bersembunyi supaya Irwan bisa mengingatkan bahwa polisi akan menangkapnya.
Iklan original arloji kronometer Mido tahun 1966 (thenostalgiashop.co.uk)
Masalah belum lagi selesai untuk Irwan karena harga arloji itu ternyata rendah—harga arloji Mido sekarang Rp 12-34 juta, jadi mungkin yang rendah itu sebagai arloji bekas. Ia tak jadi menjualnya. Alih-alih, diputuskannya menjual informasi persembunyian Darmo kepada polisi agar mendapatkan uang hadiah yang bisa diberikannya kepada Darmi.
Darmo pun tertangkap, Irwan mendapat uang, memberikannya kepada Darmi, yang sudah tidak ada gunanya lagi.
Gagalnya segala siasat melawan absolutnya peribahasa.
•••
DALAM alur tersebut terdapat dua titik kritis: pertama, ketika Darmo membatalkan desakannya kepada Irwan untuk menjual Mido, apakah itu karena jiwa besar, ataukah akal bulus karena uang penjualan yang diterima Darmi nanti sampai juga ke dirinya? Titik ini kritis karena, demi Darmi tentunya, ia pernah meminta Irwan keluar dari komplotan penyelundup, sambil memberi hadiah Mido dan sejumlah uang. Disebut kritis karena faktor ketulusan pada konteks Mido pertama jelas gugur, ketika meminta Irwan menjualnya, tapi berpeluang diperbaiki ketika seperti merelakannya kembali untuk Darmi—tapi untuk kedua kalinya gugur bila menjadi akal bulus.
Adalah suatu twist (pembelokan arah tak terduga) ketika ternyata Irwan memilih mengkhianatinya agar bisa memberikan uang dalam jumlah yang sama kepada Darmi—dan itu sekaligus merupakan titik kritis kedua: Irwan yang berstatus "orang baik" ketika menolak ajakan Amat, karena telah menerima kebaikan dari Darmo, berganti status menjadi "orang jahat" ketika justru mengkhianatinya, meski dilakukannya demi Darmi, kekasih Irwan yang adik kandung Darmo.
Sikap untuk merahasiakan kepentingan uang Rp 100.000,- oleh Darmi menjadi faktor penetap alur, yang baru dibuka di belakang untuk mengejutkan Irwan, walau bagi pembaca kemungkinan ini sudah disampaikan (planting information), pembaca yang sudah tertempatkan dalam sudut pandang Irwan, tetap termungkinkan untuk ikut terkejut bersama Irwan.
Namun, setelah panil terakhir, alur yang memberikan ironi ini mesti dimaknai sebagai tragedi atau tragi-komedi?
Tragedi atau tragi-komedi?
Apa pun simpulan berdasar penutupnya, pertaruhan nilai cerita-gambar ini terletak pada ironi: (1) Darmo tertangkap karena uang Rp 100.000,- dibutuhkannya untuk melarikan diri, ternyata didapatkan Irwan atas pembocoran informasi persembunyian Darmo; (2) atas penyanderaan cinta femme fatale Darmi, yang merahasiakan tujuan kebutuhan uang Rp 100.000,- itu terhadap Irwan—jika Darmi jujur kepada Irwan, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi.
Femme fatale penyandera cinta (Remaster: ERWIN PRIMA ARYA).
Cara bercerita ini seperti mendukung tujuan didaktis dari judulnya Tangan Mencencang Bahu Memikul (= kesalahan yang kita perbuat itu, kita pula yang menanggungnya). Dalam alurnya, tiada lebih dan tiada kurang tentulah menyangkut riwayat Darmo: karena jadi penjahat, ditangkap polisilah ganjarannya.
Namun sebenarnya siapakah yang lebih jahat dari yang lain? Darmo yang menjadi kepala penyelundup dan perampok, tapi demi Darmi adiknya melepas dan memodali Irwan; Irwan yang membalas kebaikan itu dengan tuba pengkhianatan; ataukah Darmi yang menyandera perasaan Irwan untuk mendapatkan Rp 100.000,- dengan cara apa pun? Mengingat hasil akhirnya bagi Darmo, jelas keberhasilan Irwan mendapat uang, yang menjatuhkan Darmo, menjadi ironi bagi Darmi.
Lelaki yang tersandera cinta.
•••
JIKA semuanya jahat, tiada peran baik di sini, bahkan Ibu Isah jelas mengetahui bahwa Darmo bersalah. Penting untuk dicatat di sini, meskipun segenap peran terkategori jahat (evil), cerita-gambar Tangan Mentjentjang Bahu Memikul ini tidak terkategori sebagai genre laga melainkan genre drama, yang tergarisbawahi oleh motivasi psikologis para peran di dalamnya.
Hanya sejauh inilah laga tergambar dalam Tangan Mentjentjang Bahu Memikul.
Dalam perbincangan tentang tiga cerita-gambar Mopizar yang pernah saya lakukan di Koran Tempo (10 Januari 2024), Tewasnja Iblis Bermata Satu (1968), Hukum Tanpa Hakim (1966), dan Lukisan Berdarah (pasca-1972), yang ketiganya mengolah gagasan tentang kejahatan, terlacak setidaknya tiga gejala:
Tewasnja Iblis Bermata Satu: Relijius dan fiksional. (© 1968 Mopizar)
(1) Tewasnya Iblis Bermata Satu mendasarkan kejahatan sebagai kekuatan adi-alami (supernatural) dalam konteks religius dan fiksional, ketika kejahatan hadir sebagai materi seperti siluman berwujud manusia.
Hukum Tanpa Hakim: pertimbangan regularitas. ( © 1966/PT WARGA RAYA)
(2) Hukum Tanpa Hakim beraspek sekuler ataupun religius dalam pertimbangan regularitas (regularity accounts), ketika peran yang terus-menerus berbuat jahat terhukum sendirian di tempat terpencil.
Lukisan Berdarah: kejahatan berdasar-pengaruh. (ART-WORK DOK. IWAN GUNAWAN)
(3) Lukisan Berdarah dapat menjadi pembelajaran wacana kejahatan, dengan representasi sosok autoritas dalam kondisi keberpihakan-autoritas ataupun seseorang yang berlaku jahat dalam kategori kejahatan berdasar-pengaruh (affect-based accounts).
Bagaimana dengan Tangan Mentjentjang Bahu Memikul? Melalui keempat peran—Darmo, Darmi, Irwan, dan Amat—dapatlah ditengok apa yang dalam teori kejahatan kontemporer disebut konsep pertimbangan berdasar motivasi (motivation-based accounts).
Dalam pertimbangan berdasar motivasi, menjadi jahat artinya termotivasi oleh cara tertentu. Merujuk pada risalah The Concept of Evil (Todd Calder, 2022), untuk menjadi orang jahat, cukuplah memiliki kecenderungan teratur terhadap hasrat jahat (evil desire): motivasi untuk melakukan suatu tujuan yang tidak layak, yang diyakini sebagai benar, ketika berarti kerugian bagi orang lain.
Darmo dalam berbagai penggambaran Mopizar.
Apakah peran Darmo menjadikan kerugian orang lain sebagai sesuatu yang berarti? Ini tidak tergambar dalam Tangan Mentjentjang Bahu Memikul, tapi "kecenderungan teratur akan hasrat jahat" tampak jelas dalam riwayatnya; yang melawan nasihat ibunya ataupun menggugurkan kebaikan yang pernah diperbuatnya. Pada peran Amat, meski begitu singkat, justru kehadiran "meyakini arti kerugian bagi orang lain sebagai benar" ini terbukti, walau sama sekali gagal melakukannya.
Sikap Amat: kesadaran untuk merugikan orang lain.
Maka, menarik untuk mengamati pertaruhan etis Irwan dan Darmi dalam wacana berikut:
Terdapat jenis kejahatan sebagai akibat ketidaktahuan (ignorance) yang diakibatkan oleh penipuan diri (self-deception), ketika menghindar untuk mengakui yang dianggap kebenaran kepada diri sendiri, meskipun keyakinannya sudah berdasar penilaian tanpa bias dari bukti yang ada. Artinya, penipuan diri itu berlangsung ketika perhatiannya beralih dari bukti tersebut kepada soal lain, yang berkemungkinan membuat proyek menipu diri ini tak tersadari (Jones 1999, 82).
Kecenderungan menipu diri ini menjadi taktik menghindar untuk mengakui anggapan kebenaran (truth), seperti (1) menghindari pemikiran tentang kebenaran, (2) mengalihkan perhatian dengan rasionalisasi yang bertentangan dengan kebenaran, (3) gagal melakukan penyelidikan sistematis yang akan mengarah pada bukti kebenaran, dan (4) mengabaikan bukti kebenaran atau mengalihkan perhatian dari bukti tersebut (Jones 1999, 82).
Disepakati para teoretisi kejahatan: penipuan diri memainkan peran penting dalam produksi tindakan dan institusi kejahatan (Calder 2003 dan 2004; Jones 1999; Morton 2004, 57–58; Thomas 2012; https://plato.stanford.edu/entries/concept-evil/#AffBasAcc).
Diterapkan pada Tangan Mentjentjang Bahu Memikul, pengetahuan Darmi atas kebersalahan Darmo sebagai penjahat tentu merupakan kebenaran, tapi berlangsung penghindaran yang merangkum empat taktik di atas sehingga dimanfaatkannya hubungan dengan Irwan, dalam suatu penyanderaan cinta demi kepentingan Darmo.
Adegan menyiasati Irwan ini melibatkan Ibu Isah yang tahu belaka betapa Darmo itu buronan.
Irwan sendiri adalah mantan anak buah Darmo dalam dunia kejahatan, yang didorong keluar dari komplotannya untuk "memulai hidup yang halal" oleh Darmo. Artinya mengetahui kebenarannya, sebagai penjahat sekaligus kepada siapa dirinya berutang budi, tapi ketersanderaan cinta kepada Darmi pun membuatnya menghindar dengan rangkuman empat taktik yang sama.
Momen-momen penipuan diri Irwan yang membenarkan penangkapan Darmo demi hadiah uang atas permintaan Darmi.
•••
Mouna Pirous Zainal Arifin atau Mopizar (1919-1985). Dokumentasi Keluarga
MOPIZAR, melalui judul Tangan Mentjentjang Bahu Memikul yang bermakna: kesalahan yang kita perbuat itu, kita pula yang menanggungnya, lewat peran Darmo, seperti berlaku didaktik alias mendidik melalui komik.
Namun cara berceritanya, yang mengarah pada pembuktian absolutnya peribahasa itu, dengan memperlihatkan lekuk-liku siasat yang serba gagal mencapai tujuan, dapat ditafsir dan dinikmati sebagai hiburan yang mengajak berpikir: bagaimana kejahatan orang baik-baik, yang menghindari bukti kebenaran, jauh lebih rumit daripada kejujuran penjahat atas kejahatannya sendiri.
Panil adegan yang menjadi sumber gambar sampul (kiri), dan promosinya dalam Hukum Tanpa Hakim (kanan). (MOPIZAR / ART-WORK /DOK. IWAN GUNAWAN).
Sampul awal oleh Mopizar (kiri), yang semasa Ejaan yang Disempurnakan digambar ulang oleh Hasmi (kanan).
Namun cara berceritanya, yang mengarah pada pembuktian absolutnya peribahasa itu, dengan memperlihatkan lekuk-liku siasat yang serba gagal mencapai tujuan, dapat ditafsir dan dinikmati sebagai hiburan yang mengajak berpikir: bagaimana kejahatan orang baik-baik, yang menghindari bukti kebenaran, jauh lebih rumit daripada kejujuran penjahat atas kejahatannya sendiri. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo