Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Agama yang Otoriter dalam Novel Terbaru Eka Kurniawan

Novel terbaru Eka Kurniawan tentang perlawanan anak terhadap ayah sebagai representasi wajah agama yang otoriter.

11 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOVEL Eka Kurniawan kali ini berkisah tentang remaja lelaki bernama Sato Reang. Setelah Sato disunat saat berusia tujuh tahun, ayahnya dengan keras mendisiplinkannya. Menunaikan salat lima waktu, mengaji setiap hari, dan menjauhi kesenangan duniawi adalah tiga praktik utama yang ditekankan sang ayah. Padahal Sato ingin sebebas anak-anak sebayanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang ayah menjadi representasi wajah agama yang otoriter. Adapun Sato adalah pemberontak dalam diam. Mungkin pembaca akan teringat pada Holden Caulfield, tokoh protagonis penggerutu di The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger. Mereka berdua pun sama-sama berusia 16 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novel ini menawarkan permainan bentuk dengan sudut pandang penceritaan yang berganti-ganti antara sudut pandang orang pertama (aku) dan sudut pandang orang ketiga terbatas (dia atau Sato Reang) yang berlaku sejak paragraf pembuka. Penggunaan beberapa sudut pandang berbeda cukup lumrah dalam penulisan novel kontemporer. Namun melakukannya secara bergantian, bahkan di dalam satu paragraf, tetaplah suatu percobaan yang berani.

Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong karya Eka Kurniawan

Pergeseran sudut pandang itu kemudian tak sekadar menjadi fenomena bahasa, tapi juga psikologis, yaitu perubahan dari diri yang mengingatkan kepada diri yang mengamati. Pergantian sudut pandang dengan pola acak itu seolah-olah menjadi simbol gejolak batin Sato Reang.

Setelah kematian ayahnya yang mendadak, ia memberanikan diri berproses menjadi Sato Reang yang merdeka, yang berbeda. Tapi siapakah Sato Reang? Dengan muram, kita lalu mengikuti remaja rentan yang terbakar api kedukaan dari dalam. Akhirnya ia tiba pada satu titik pencerahan: ia hanya harus berhenti melakukan setiap perintah ayahnya, lalu melakukan kebalikannya.

Membaca cerita-cerita Eka Kurniawan kerap memberikan saya pengalaman serupa dengan membaca karya Chuck Palahniuk, Haruki Murakami, atau Etgar Keret. Sebagian pembaca mencurigai Eka dan deretan penulis ini seksis, tapi saya tak merasakannya. Mereka menuliskan maskulinitas dari bawah kulit, merengkuh dan mempretelinya di saat bersamaan. Tak ada keangkuhan masochismo, tak ada sikap meremehkan perempuan.

Acara nonton bareng buku Anjing Menggonggong, Kucing Mengeong di Gramedia Semarang, Jawa Tengah, 26 Juli 2024./Dok Pribadi /X @@gnolbo Eka Kurniawan

Seperti novel Eka sebelumnya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong pun terasa maskulin, yang tecermin dalam cara pandang dunia, gaya bahasa, interaksi para karakter, dan sikap karakternya merespons persoalan. Seperti Ajo Kawir, protagonis di Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), yang terus memikirkan alat kelaminnya, begitu pula Sato Reang. Sementara Ajo Kawir mengalami gangguan ereksi karena trauma masa kecil, Sato Reang kerap mengenang peristiwa sunatnya sebagai salah satu tonggak penting hidupnya.

Novel ini lahir dari keinginan Eka menulis novel bertema Islam di Indonesia dari dimensi sosial dan politik dengan menggunakan kisah-kisah individual. Pada kenyataannya, ia lebih banyak berkutat pada dinamika hubungan Sato dengan ayahnya sebagai figur otoritatif.

Di dalam kepalanya yang riuh, Sato tidak banyak mempertanyakan perihal ajaran dan dogma Islam. Ia hanya ingin melawan ayahnya yang otoriter sehingga “agama” di sini mungkin saja digantikan oleh hal-hal sekuler, seperti les piano, les renang, les matematika, dan apa pun yang kerap dipaksakan orang tua terhadap anak atas nama kebaikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Raung di Kepala Sato Reang"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus