Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Di Balik Usul Perpanjangan Masa Kerja BRGM: Berebut Mengelola Mangrove

Perpanjangan masa kerja BRGM berlatar keinginan KLHK mengelola semua ekosistem mangrove. Kementerian Kelautan menolak.

11 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK akhir tahun lalu, Hartono Prawiraatmadja kerap berdiskusi intens dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat. Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) itu spesifik membincangkan masa depan lembaganya yang akan bubar pada 31 Desember 2024. Padahal masih banyak tugas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove yang belum rampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diskusi mencetuskan usulan kepada Presiden Joko Widodo untuk memperpanjang masa tugas lembaga ad hoc itu. Hartono mengungkapkan, Siti berinisiatif menyiapkan skema pengusulan dengan pertimbangan BRGM sedang menyelesaikan rehabilitasi mangrove di dalam maupun di luar kawasan hutan di sembilan provinsi. “Langsung Ibu Menteri yang mengirim surat ke Presiden,” katanya ketika ditemui pada Kamis, 1 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 1981 itu seketika menyetujui skema yang disodorkan Siti. Menurut Hartono, kerja-kerja restorasi dan rehabilitasi harus dilakukan secara permanen dan terus-menerus. Ini berkaca pada beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Jepang, yang berupaya memulihkan lahan gambut dan mangrove sejak 1980-an.

BRGM sebetulnya lembaga nonstruktural yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada presiden pada 2016. Tujuannya adalah mempercepat restorasi gambut akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun sebelumnya. Kerja lembaga ini didesain bersifat sementara untuk menyelesaikan restorasi gambut seluas 2 juta hektare. Pada 2020, masa kerjanya diperpanjang dengan penambahan tugas merehabilitasi 600 ribu hektare mangrove di sembilan provinsi.

Project Manager Peatland and Mangrove BRGM Robi Royana bercerita, sebetulnya mereka tak sekadar mengupayakan perpanjangan masa kerja, tapi juga memperkuatnya sebagai lembaga negara nonkementerian. “Seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), Bakamla (Badan Keamanan Laut), atau BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana),” tuturnya.

Usul ini dicuatkan sebelum 2020, ketika lembaga itu mengusulkan perpanjangan masa kerja Badan Restorasi Gambut menjadi BRGM. Gagasan tersebut didukung pendapat para pakar dan akademikus yang menghendaki penguatan kerja BRGM dalam melakukan pengawasan, koordinasi, dan supervisi kawasan gambut atau mangrove. Pada akhirnya usul itu hanya menjadi pendapat yang menguap di antara kementerian teknis.

Sama seperti penjelasan Hartono, Robi menyebutkan upaya memperpanjang masa kerja BRGM diperlukan karena tugas restorasi dan rehabilitasi hutan masih dibutuhkan. Di kawasan hutan saja, terdapat sekitar 12 juta hektare lahan kritis yang perlu dipulihkan. Tentu prosesnya tak dapat dikerjakan dalam waktu lima tahun saja. Apalagi kegiatan pemulihan gambut dan mangrove menjadi isu internasional sebagai upaya menekan laju perubahan iklim.

Menurut Robi, usulan perpanjangan masa kerja ini disertai perluasan kewenangan BRGM di masa mendatang. Nantinya, lembaga itu mengurus rehabilitasi potensi habitat mangrove seluas 777.636 hektare di 38 provinsi. Wilayah tersebut merupakan daerah kritis di luar dari total luas area mangrove yang mencapai 3,44 juta hektare. Daerah kritis yang dimaksud adalah kawasan mangrove yang mengalami deforestasi akibat alih fungsi atau degradasi lantaran abrasi air laut.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk konsolidasi pendataan ulang mangrove di luar kawasan hutan yang rusak,” kata Robi. Tujuannya adalah memasukkan mangrove ke rencana tata ruang wilayah dan menjamin zonasi agar tidak beralih fungsi. Dengan begitu, area mangrove yang telanjur rusak dapat dipulihkan. Rencana ini menjadi bagian dari kerja BRGM di masa depan.

Konsolidasi data diperlukan mengingat terdapat 570.774 hektare hutan mangrove yang berubah menjadi tambak. Deforestasi ini belum ditambah masalah abrasi, tanah timbul, dan lahan mangrove yang terbuka. Perkiraan Robi, setiap hektare area mangrove yang dibabat memicu pelepasan emisi hingga 1.000 ton karbon dioksida (CO₂). Di luar itu, deforestasi menyebabkan pengurangan cadangan karbon pada mangrove nasional yang mencapai 3 gigaton setara CO₂.

Selama 2019-2024, BRGM menggenjot kinerjanya dengan mengklaim rehabilitasi 78.828 hektare mangrove. Kemudian ada tambahan rencana rehabilitasi pada 40 ribu hektare pada 2025. Capaian indikatif ini di luar kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memulihkan sekitar 26.056 hektare lahan. Dengan demikian, total capaian pengembalian ekosistem mangrove pada dua institusi ini mencapai 144.884 hektare.


•••

USULAN Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar agar masa kerja Badan Restorasi Gambut dan Mangrove dilanjutkan tak serupa makan siang gratis. Sumber dari salah satu kementerian bercerita, hal ini berhubungan dengan kepentingan mengegolkan rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. “Mengatur kewenangan Menteri LHK untuk mengambil alih tata kelola semua mangrove nasional,” ucap seorang sumber yang ditemui pada Rabu, 7 Agustus 2024.

Selama ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya berwenang mengatur tata kelola mangrove di dalam kawasan hutan. Luasnya mencapai 2,7 juta hektare dari total area mangrove nasional. Adapun 733,4 ribu hektare sisanya berada di area penggunaan lain (APL) atau di luar kawasan hutan. Tanggung jawab pengelolaannya berada di tangan pemerintah daerah, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Dalam konteks rehabilitasi, semua lembaga ini berbagi peran dengan BRGM untuk memulihkan lahan mangrove. Di antaranya 2,59 juta hektare oleh BRGM, 596,6 ribu hektare oleh KLHK, dan 246,8 ribu hektare oleh KKP bersama pemerintah daerah. Sumber dari kementerian itu mengungkapkan, KKP dan pemerintah daerah berfokus mengelola mangrove di luar kawasan hutan.

Sekonyong-konyong tata kelola tersebut berubah ketika muncul rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove pada Januari 2024. Masih menurut sumber yang sama, KLHK menyodorkan draf peraturan yang kemudian dibahas dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pembahasan yang melibatkan BRGM dan KKP berlangsung beberapa bulan sebelum akhirnya hasilnya diserahkan ke Kementerian Sekretariat Negara.

Persoalan muncul karena Menteri Lingkungan Hidup berwenang menetapkan fungsi ekosistem mangrove seluas 3,4 juta hektare—mencakup area kawasan hutan dan luar kawasan hutan. Ketentuan ini menghilangkan peran KKP dan mereduksi kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola mangrove di luar kawasan hutan.

Merujuk pada draf rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove yang diperoleh Tempo, fungsi ekosistem dapat diubah hanya melalui usulan kepada Menteri Lingkungan Hidup. KLHK juga berwenang menetapkan Peta Mangrove Nasional dan peta Kesatuan Lanskap Mangrove (KLM). Lanskap mangrove adalah unit pelindungan dan pengelolaan pada hilir suatu daerah aliran sungai yang membentuk kondisi substrat dan salinitas sesuai dengan habitat mangrove beserta ekosistemnya.

Di dalam aturan itu juga ada kewenangan Menteri Lingkungan Hidup menetapkan rencana dasar KLM untuk tata kelola mangrove tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sumber Tempo yang lain menyebutkan ketentuan ini berpotensi menabrak tata kelola mangrove yang diatur dalam rencana tata ruang wilayah serta rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. “Padahal keputusan setingkat menteri itu tidak bisa menganulir peraturan daerah.”

Sumber itu menduga isu perpanjangan masa kerja BRGM berhubungan dengan penambahan tugas rehabilitasi mangrove di 38 provinsi dengan luas sekitar 777.636 hektare. Hampir semua wilayah itu berada di luar kawasan hutan dan selama ini dikelola pemerintah daerah bersama KKP. Peran daerah dalam mengelola berpotensi direduksi. Apalagi KLHK berwenang mengubah fungsi ekosistem dengan dalih perlindungan atau budi daya.

Nelayan membawa bibit mangrove untuk ditanam saat peringatan Hari Mangrove Sedunia di pesisir Pantai Tegur, Pasekan, Indramayu, Jawa Barat, 26 Juli 2024/Antara/Dedhez Anggara

Kementerian yang kencang mengkritik dan menolak draf rancangan peraturan pemerintah tentang ekosistem mangrove itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. KKP menyebutkan peta KLM di luar kawasan hutan seharusnya merujuk pada rencana tata ruang yang telah dibuat daerah. Kegaduhan ini yang menyebabkan Sekretariat Negara mengundang kementerian terkait untuk berembuk sebelum nanti peraturan itu diteken presiden. Rapat semula dijadwalkan berlangsung pada awal pekan lalu, tapi mendadak diundur.

Robi Royana membenarkan kabar bahwa KKP khawatir tata kelola mangrove diambil sepenuhnya oleh KLHK dan BRGM. Bahkan KKP memberi catatan atas rencana perpanjangan dan perluasan kerja BRGM karena kecemasan yang sama. “Padahal kami hanya mengerjakan rehabilitasi, misalnya mangrove di kawasan hutan. Bukan berarti kami mengambil alih dari KLHK. Kami hanya melaksanakan mandat Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” ujarnya.

Robi tak memungkiri kabar bahwa BRGM diproyeksikan berfokus memulihkan 777,6 ribu hektare lahan bekas mangrove. Dia menjelaskan, justru wilayah itu rusak karena tidak berfungsinya pengawasan pemerintah pusat dan daerah. “Sehingga perlu BRGM untuk koordinasi, supervisi, bahkan menyemprit penanggung jawab yang lalai. BRGM juga berwenang merehabilitasi mangrove dengan meminta tanggung jawab pemegang perizinan berusaha.”

Hartono Prawiraatmadja menepis anggapan mengenai penolakan KKP terhadap rancangan peraturan pemerintah tentang ekosistem mangrove dan perpanjangan masa kerja lembaganya. Menurut dia, KKP justru disebut lebih senang atas munculnya ketentuan baru ini. “Karena bisa meredam keinginan pemerintah daerah memperluas pemakaian lahan-lahan mangrove,” kata Hartono.

Satu Atap Mengelola Mangrove/Tempo

Tempo berupaya meminta penjelasan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya serta Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan KLHK Dyah Murtiningsih. Permintaan konfirmasi yang dikirimkan kepada keduanya tak kunjung direspons. Sebelumnya, Dyah menjelaskan bahwa aturan baru ini disusun sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. “Disusun secara sistematis, terpadu, dan komprehensif,” tutur Dyah pada 16 Februari 2024.

Adapun Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan Muhammad Yusuf menolak menjelaskan pro-kontra pembahasan rancangan peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Dia hanya menjelaskan bahwa regulasi yang ada mengatur kewenangan KLHK hanya pada mangrove di dalam kawasan hutan. “Kami menunggu keputusan presiden saja bagaimana nanti hasilnya.”

Kepala Bidang Infrastruktur Sumber Daya Air dan Pantai Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Suraji meluruskan anggapan bahwa ada pengambilalihan tata kelola mangrove KKP oleh KLHK. “Sejatinya pengelolaan mangrove tersebut tidak melekat penuh pada satu kementerian atau lembaga,” ucap Suraji.

Suraji menjelaskan, KKP dan KLHK selama ini memiliki unit pengelola kawasan konservasi untuk ekosistem mangrove. Pada kawasan konservasi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kelautan, tugas pengelolaan biasanya diemban oleh pemerintah daerah. Justru rancangan aturan baru itu dapat mempersatukan kementerian dan lembaga untuk membangun daerah pesisir.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Parid Ridwanuddin menyebutkan rancangan peraturan pemerintah tentang ekosistem mangrove tidak mengakomodasi keterlibatan masyarakat. “Justru tata kelola ekosistem mangrove masih sangat terpusat pada negara,” katanya.

Problem utama aturan ini, Parid menambahkan, justru lemahnya pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. Padahal seharusnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dirujuk dengan penerapan sanksi pidana. Pemerintah justru mengedepankan sanksi administratif dengan dalih sanksi pidana dapat menghambat investasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Irsyan Hasyim berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berebut Mangrove Berdalih Masa Kerja"

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus