Berjejak di Indonesia: Kisah Hidup Sepuluh Tokoh Jerman
Penulis : Rudiger Siebert
Penerbit : Jakarta: Katalis, 2002
Masih ingat dengan pelajaran di sekolah dasar: siapa yang menemukan tanaman kina di Indonesia? Jawabannya: Junghuhn. Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) adalah satu dari sekian banyak orang Jerman yang lama tinggal di Pulau Jawa dan punya sumbangan khas bagi hubungan Jerman-Indonesia. Junghuhn pernah menulis tiga jilid buku tentang Jawa, dan membuat kartografi pertama atas Pulau Jawa.
Junghuhn satu dari sepuluh tokoh Jerman yang ditulis dalam buku ini. Tokoh lainnya adalah Ludwig Ingwer Nommensen, seorang misionaris di tanah Batak; Max Dauthendey, seorang penyair; Gustav Wilhelm Baron von Imhoff, salah seorang Gubernur Jenderal VOC; juga Walter Spies, seorang pelukis besar yang lama tinggal di Bali; dan Franz Magnis-Soeseno, seorang rohaniwan dan guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Pertautan sejarah antara Indonesia dan Jerman telah berjalan ratusan tahun. Bukankah Adolf Bastian, seorang pendiri museum antropologi di Berlin, adalah orang ilmuwan Jerman yang memilih nama "Indonesia" bagi kepulauan Nusantara ini dan mempopulerkan nama itu sejak pertengahan kedua abad ke-19? Lalu juga Wilhelm von Humboldt, seorang ahli filsafat bahasa, menulis sebuah buku dalam tiga jilid berbahasa Jerman berjudul Perihal Bahasa Kawi di Pulau Jawa. Belum lagi fakta bahwa pelukis Raden Saleh mengadakan pameran pertamanya di Berlin pada tahun 1839 dan kemudian tinggal di negara ini selama belasan tahun.
Pengaruh Jerman memang ada, tapi tentu tak sebanding dengan pengaruh yang datang dari Belanda, yang sempat menduduki Indonesia selama beberapa abad. Tapi, dari yang sedikit itu, mereka sangat total mencurahkan karyanya di tanah air baru ini. Seperti tokoh Walter Spies, yang hidup total di Bali dan menjadi pelukis dan musisi. Ia menghasilkan karya-karya penting dengan berlatar kebudayaan Bali, sebelum mati mengenaskan dalam penyerangan Jepang pada kapal yang ia tumpangi pada tahun 1942.
Dalam acara peluncuran buku ini pertengahan Oktober lalu, saya bertanya secara iseng tentang bahasa yang dipakai dalam mimpi kepada seorang Jerman yang telah lebih dari 40 tahun tinggal di Indonesia, Romo Magnis. Ia menanggapinya dengan serius. "Kalau saya bermimpi tentang Jerman, ya menggunakan bahasa Jerman. Tapi, kalau mimpinya tentang di Indonesia, ya menggunakan bahasa Indonesia. Namun, lebih sering kalau saya balik ke Jerman, yang terlontar secara spontan dari mulut saya adalah kata-kata berbahasa Indonesia." Ini sudah menjelaskan bagaimana ia melihat pertautan negeri asalnya dengan negeri yang ia tinggali sekarang.
(Ign. Haryanto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini