Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku tentang karawitan yang dapat dibaca dan dipahami oleh pelaku musikperawit ataupun pemusik di luar karawitandengan uraian yang mustaid memang langka. Padahal, kecenderungan slogan kontemporer saat ini, "berdiri di atas kemempelaian budaya Timur dan Barat"yaitu menggali milik sendiri yang bertalian dengan "laksmiwidya" (pengetahuan praktis) gamelan dengan berpikir di bawah progresi estetik musik Baratsangat marak. Kendati untuk itu diperlukan kepandaian yang berimbang atas dua kualifikasi: menguasai karawitan menyangkut rasa, dan menguasai pula musik Barat menyangkut nalar. Maksudnya tiada lain agar kemempelaian budaya yang diacu tidak rancu dan tidak menjadi seni yang "rapuh" dan "ngaco".
Diharapkan, setelah menyimak Hayatan Gamelan, yang akan dikaji singkat dengan pujian di bawah, pengetahuan pelaku musik atas ladang laksmiwidya gamelan akan berubah tertib.
Jauh hari sebelum Suka Hardjana menggagas Pekan Komponis Muda di bawah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang memberi ruang atas lahirnya ide musik alternatif, antara lain yang bertolak dari upaya mempertemukan gamelan dengan musik Barat, memang sudah ada eksperimen sejenis pada dua tahun setelah penyerahan kedaulatan, yaitu Gentono. Oleh dua orang Westernis, J.A. Dungga dan L. Manik, ide itu dikatakan "kerja seni dan kerja otak yang sangat rapuh" (J.A. Dungga dan L. Manik, Musik di Indonesia, Balai Pustaka, 1952).
Kecenderungan melakukan eksperimen memadukan gamelan dengan instrumen yang lazim dalam orkes Barat lewat slogan kontemporer tampaknya belum reda, walaupun kritik atasnya, menyangkut kesenyawaan yang dipaksa, tak juga letih. Dari orang Cina yang menggeluti karawitan, Tan De Seng, kita mendengar kritik ini bahwa mutu memadu-madukan gamelan dengan instrumen Barat "ngaco, karena tidak memahami dasar-dasar titilaras".
Tapi, moga-moga lewat Hayatan Gamelan tersebut, yang ditulis oleh Encik Prof. Dr. Sumarsam, guru besar di Universitas Wesleyan, ASoleh Dr. Rahayu Supanggah dari STSI Solo dalam pengantarnya diingatkan julukannya dulu: Mbah Marsamdapat ditimba pengetahuan mudasir yang boleh mengurangi kerancuan dari ketidakperiksaan atas dua wilayah estetik yang berbeda.
Karya ilmiah Mbah Marsam ini terdiri dari dua pokok. Pertama, kedalaman lagu gamelan, mencakup (1) prakata, (2) lagu saron, balungan, dan nuclear theme, (3) wilayah nada dan alur lagu gamelan dan pembawaannya pada instrumen-instrumen, (4) bentuk dan kalimat lagu gending. Kedua, teori dan perspektif, yaitu (1) prakata, (2) gender barung: teknik dan perannya dalam gamelan Jawa, (3) praktek musikal gamelan Sekaten, (4) Gending Kalunta: metafora sejarah? Dan terakhir, di luar glosari, disertakan juga Sosorah Gamelan karya Mas Ngabehi Warsapradangga pada 1920 dalam tiga bahasa: Indonesia, Jawa, dan Inggris.
Sebagai pelaku karawitan, Mbah Marsam tidak hanya melanjutkan teori lama: sesuatu yang alih-alih dalam pikiran setengah pelaku musik tradisional. Ia juga mengajukan teori sendiri berdasarkan pencariannya. Hal itu nyata ketika ia membahas tentang "adaptasi gending-gending biasa ke dalam repertoar Sekaten". Katanya, "Sudah bertahun-tahun telah diasumsikan bahwa lagu yang dimainkan pada satu oktaf instrumen saron adalah lagu pokok, cantus firmus, nuclear theme, fixed melody gending gamelan. Tetapi studi akhir-akhir ini mengajukan pendapat lain. Alur lagu sebagian besar gending gamelan tidak terbatas pada wilayah satu oktaf. Gending dapat mempunyai alur lagu seluas dua setengah oktaf." (Hlm. 140.)
Dalam mengurai tentang transposisi cengkok, ia menyertakan sebuah notasi tekstual Ladrang Pangkur (hlm. 130-131). Di depannya, ia mengajukan teorinya, "Sebagian besar cengkok pathet sangat dapat ditransposisikan ke pathet manyura atau kebalikannya. Beberapa cengkok juga dapat ditransposisikan dari pathet manyura atau sanga ke pathet nem." (hlm. 129).
Singkat kata, kesungguhan Mbah Marsam menjelaskan hal yang ilmiah atas teori yang digapainya dengan bahasa yang mudah dipahami, dan contoh-contoh yang plastis, merupakan hal mustahak bagi pemusik untuk memiliki karya tulisnya ini dan mencoba mengejawantahkannya. Buku ini elok dimiliki perpustakaan pemusik karena widya yang diacu berasal dari seorang pelaku yang khatam.
Remy Sylado
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo