Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengeruk Duit Salim Lewat Datakom

Sengketa Datakom Asia dengan Citra Gemilang Sejahtera masih berlanjut. Anthoni Salim yang bakal jadi sasaran tembak.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, pekan lalu berembus berita anyar yang tak disiarkan di televisi: Direktur Utama SCTV Agus Mulyanto mengajukan pengunduran diri. Berita itu tidak secara rinci menjelaskan alasan Agus meninggalkan gedung SCTV. Hanya dikabarkan ia terlibat pertengkaran seru dengan Henry Pribadi, Direktur Utama PT Mitrasari Persada. Padahal Mitrasari merupakan pemilik 35,46 persen saham PT Surya Citra Media—penguasa seluruh saham stasiun TV dengan pendapatan terbesar kedua di Tanah Air itu. Dus, Henry masih terhitung bos Agus.

Ada kaitannya dengan kisruh di Datakom Asia, yang dulu ikut memiliki SCTV? Masih belum jelas. Kepada TEMPO, Agus mengaku pengunduran dirinya tak terkait dengan Henry ataupun Datakom. "Saya mau mengajar di Amerika," ujarnya. Sudah tiga tahun ini ia terus menolak undangan untuk mengajar penyiaran di University of Southern Illinois karena kesibukannya di SCTV.

Yang pasti, rencana pengunduran diri Agus itu—yang mesti disahkan lewat rapat umum pemegang saham—menambah ruwet persoalan yang kini menghinggapi SCTV. Sekadar mengingatkan, sudah tiga pekan ini terjadi gesekan hebat di Datakom Asia, yang api perselisihannya memercik ke SCTV. Bayangkan saja, PT Citra Gemilang Sejahtera tiba-tiba mengajukan permintaan sita jaminan atas saham Surya Citra. Iklannya sebesar satu halaman terpampang di media-media nasional. Pekan lalu, Citra Gemilang juga meminta pengelola Bursa Efek Jakarta membekukan sementara perdagangan saham Surya Citra Media.

Tindakan ini ditanggapi dengan sigap oleh para petinggi Surya Citra dengan melakukan klarifikasi kepada pengelola bursa. Nilai saham Surya Citra masih terjaga. "Kami menunjukkan bahwa semua dokumen kepemilikan saham ada di pihak Surya Citra," ujar Hardianto, sekretaris perusahaan.

Semua kemelut yang menimpa SCTV bermula dari penjualan aset kredit Datakom Asia oleh pihak Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Untuk aset yang cuma ditawarkan senilai Rp 58 miliar itu, Citra Gemilang—kabarnya, Surya Paloh, bos Metro TV, ada di belakangnya—membeli dengan harga Rp 180 miliar. Mengapa Surya Paloh berani membeli utang Datakom dengan harga semahal itu? Bukankah perusahaan itu cuma tinggal memiliki bisnis TV kabel Indovision dengan 20 ribu pelanggan? Sedangkan satelitnya diperkirakan akan mati pada tahun 2004 lantaran baterainya tak berfungsi dengan baik?

Rupanya ada hal lain yang diincar Citra. Berdasarkan memo keuangan yang dikeluarkan BPPN, mereka mengetahui bahwa Datakom masih memiliki 47,5 persen saham SCTV dan hak opsi membeli 25 persen saham Indosiar dengan harga hanya Rp 25 miliar. Angka itu jelas sangat menggiurkan. Soalnya, ketika Maret lalu saham perdananya dijual kepada publik, 15 persen saham Indosiar laku dijual dengan harga Rp 194 miliar. Dengan aset gemuk seperti itu, Citra optimistis bisa menangguk untung dari pembelian utang Datakom Asia.

Nyatanya, ketika semuanya sudah ada dalam genggaman, Surya Paloh mendapati aset-aset Datakom cuma ada di atas kertas, sementara fisiknya sudah menguap bak di telan bumi. Saham Datakom di SCTV, contohnya, ternyata telah menyusut dan akhirnya habis tak tersisa. Dan hak opsi pembelian 25 persen saham Indosiar pun telah dijual kepada pihak lain. Impian menangguk untung pun seketika buyar.

Marah atas kenyataan itu, Citra kemudian melakukan penyelidikan atas keberadaan aset-aset Datakom. Hasilnya sungguh mengejutkan. Sumber TEMPO menuturkan, Citra mendapati bahwa pihak yang bertanggung jawab atas raibnya aset-aset Datakom adalah Anthoni Salim. Saham Datakom di SCTV, misalnya, menyusut melalui proses rapat umum pemegang saham (RUPS) pada 1999. Ketika itu, agendanya membahas restrukturisasi utang perusahaan. Namun rapat kemudian berbelok membahas penyetoran modal sebesar Rp 100 miliar oleh Mitrasari Persada. Dengan tambahan modal itu, saham Mitrasari membengkak dari 52,5 persen menjadi 73,15 persen. Sedangkan saham Datakom menyusut dari 47,5 persen menjadi 26,85 persen.

Perubahan agenda ini, menurut Citra, membuat RUPS jadi tak sah. Bila membahas masalah setoran modal pun, mestinya RUPS itu harus mencapai kuorum, yaitu mendapat persetujuan dua pertiga pemegang saham, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar perusahaan. Soalnya, porsi saham Datakom dan Mitrasari semula hampir berimbang.

Lantaran menganggap RUPS tersebut tak sah pula, notaris Esther Sulaiman kabarnya memutuskan tak mau meneken pernyataan keputusan rapat. "Ia cuma mau membuat berita acara RUPS," ujar sumber TEMPO. Pernyataan keputusan rapat akhirnya dibuat oleh notaris lain, Lia Muliani, yang tak mengikuti RUPS. Yang mengagetkan, 50 persen duit setoran modal Mitrasari ternyata berasal dari PT Bhakti Investama, yang disebut-sebut merupakan tangan bisnis Anthoni.

Atas kejadian penyusutan porsi saham tersebut, Datakom, menurut sumber TEMPO, menderita kerugian Rp 247 miliar. Soalnya, menurut taksiran PT Asian Appraisal Indonesia, nilai SCTV Rp 1,2 triliun. Di luar itu, Datakom menderita kerugian imaterial karena hak suaranya dalam RUPS SCTV menjadi tak berarti. "Datakom kehilangan nilai strategis," ujar sumber yang tak mau disebut namanya itu.

Sisa saham Datakom sebanyak 26,85 persen kemudian dijual lagi dengan cara yang menguntungkan Anthoni. Caranya? Saham milik Datakom dijual kepada Surya Citra Media berdasarkan hitungan dari AAJ Batavia bahwa nilai SCTV cuma Rp 769 miliar. Di sisi lain, saham milik Mitrasari dan Bhakti Investama dijual kepada Surya Citra dengan hitungan dari Asian Appraisal Indonesia, yang menaksir nilai SCTV Rp 1,2 triliun. Dengan taktik itu, Datakom diperkirakan menderita kerugian US$ 10 juta.

Lagi-lagi menurut Citra Gemilang, penjualan saham itu tak sah karena tidak mendapat persetujuan BPPN sebagai kreditor. Transaksi itu juga dinilai mengandung koflik kepentingan karena Bhakti Investama berperan sebagai arranger bagi Datakom. Dengan demikian, Bhakti sekaligus menjadi pembeli dan penjual karena pemilik Surya Citra selain Mitrasari adalah Abhimata Mediatama, yang disebut-sebut memiliki hubungan dengan Bhakti Investama.

Lain lagi cara Anthoni dalam penggembosan hak opsi pembelian 25 persen saham Indosiar. Opsi yang menjadi hak Datakom sampai 31 Maret 2002 itu ternyata telah dijual oleh Indosiar kepada Harryanto Setiadi. Selanjutnya, Harryanto menjual lagi kepada A.M. Widodo Purnamasidi. Belakangan, Widodo menjual saham tersebut kepada Anthoni. Tapi siapa gerangan Harryanto dan Widodo?

Sesuai dengan keterangan dalam prospektus Datakom, kedua orang itu ternyata pihak yang berada di bawah kontrol Anthoni. Putra mahkota Salim itu kemudian menjual saham tersebut kepada PT Prima Visualindo. Di perusahaan ini, Anthoni tercatat menguasai 33 persen saham. Selanjutnya, Prima menjaminkannya kepada Credit Suisse First Boston untuk memperoleh kredit.

Pada 26 September 2000, Prima Visualindo mengeluarkan surat pernyataan dan jaminan yang menyatakan bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan hak opsi Datakom Asia dari segala tuntutan dan kerugian dalam bentuk apa pun dari Datakom ataupun pihak ketiga lainnya. Dengan transaksi itu, Datakom diperkirakan menderita kerugian Rp 298 miliar. Hitungannya, nilai pasar 25 persen saham Indosiar ditaksir mencapai Rp 323 miliar.

Lantaran fakta-fakta itulah pihak Citra Gemilang begitu bersemangat "memburu" Anthoni. Sidang pertamanya sudah dimulai pada 14 November lalu, tapi ditunda hingga akhir bulan ini. Namun sumber TEMPO menuturkan, sebenarnya Surya Paloh tak bersungguh-sungguh akan membawa masalah ini ke pengadilan. "Citra cuma ingin 'menggigit' Anthoni," ujar si sumber yang dekat dengan petinggi Citra. Contohnya ya dengan mengajukan permintaan sita jaminan dan pembekuan perdagangan saham tadi. Akhirnya, UUD—ujung-ujungnya duit. Cara damai yang dipilih.

Soal kemungkinan penyelesaikan di luar pengadilan ini diakui Wawan Iriawan, kuasa hukum Citra Gemilang. Tapi mungkinkah Anthoni mau diajak berunding? Mungkin saja. Wawan menunjuk, dalam hal hak opsi saham Indosiar, misalnya, kini sudah ada pembicaraan antara Johanes Halim dari Citra Gemilang dan Benny Santoso, yang mewakili pihak Anthoni. Salah satu alternatif penyelesaian damai yang dipilih adalah dengan meminta ganti rugi. Jumlahnya? "Berdasarkan kerugian Datakom, yaitu sekitar Rp 275 miliar," ujar Wawan.

Sayang, pihak Salim sama sekali tak mau berkomentar tentang kisruh di Datakom. Permintaan wawancara yang diajukan majalah ini tak dijawab. Bos Bhakti Investama, Harry Tanoesoedibjo, yang dihubungi melalui telepon selulernya, juga tak bersedia berkomentar. "Kamu langsung hubungi ke sana aja ya (Datakom)," katanya seraya menutup telepon.

Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Levi Silalahi, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus