Betawi, Queen of the East
Penulis : Alwi Shahab
Penerbit : Republika, 2002
The Beast of the East". Mungkin itu julukan yang lebih cocok untuk menggambarkan sosok Batavia abad ke-21, yang pada empat abad lalu masih disebut "Queen of the East". Betapa tidak? Segala kekayaan dan keindahan kota eksotis di Timur mungkin hampir tanpa bekas di Batavia modern ini. Berbagai gedung, tata kota yang telah dibuat dengan sangat baik oleh pemerintahan kolonial Belanda, nyaris tak berbekas.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang mengasyikkan karena kita seolah diajak bertamasya ke masa lalu Jakarta dan meneropong berbagai kisah di balik tempat ataupun gedung yang kini sudah banyak berganti muka. Di sana-sini kita akan menemukan bagaimana para gubernur jenderal di Batavia mengelola kotanya, mulai dari membangun pelabuhan yang lebih memadai untuk disandari kapal-kapal, mengurus Sungai Ciliwung untuk urusan transportasi kota, hingga penyediaan air bersih. Berbagai kisah kecil begini terbukti menarik jika didokumentasi, dan penting.
Mungkin, dengan membaca serpihan kisah yang ditulis dalam buku ini, kita mungkin tersadar Batavia modern ini hampir tak membangun suatu infrastruktur baru dan hanya mengandalkan warisan kolonial. Sudah begitu, banyak fungsi kota yang dirancang sejak ratusan tahun lalu dihilangkan begitu saja tanpa alasan jelas. Misalnya, ruang publik bernama Taman Monumen Nasional (Monas) kini dipagari, dan menyempitkan ruang yang bisa dimanfaatkan publik.
Inilah soal kalau pemimpin metropolis tak punya dimensi kesejarahan—yang mengasumsikan kecerdasan tertentu untuk menangkap sisiknya—untuk melihat masalah secara holistik, dan menghargai berbagai fungsi yang sudah disiapkan sejak ratusan tahun lalu. Pembagian yang sangat jelas antara wilayah niaga, wilayah permukiman, daerah resapan air, pemekaran wilayah, dan berbagai aspek perkotaan lain sudah dipikirkan para arsitek kota sejak dulu. Tapi, di tangan pemimpin kota yang picik dan serakah, berbagai kisah di sini cuma jadi cerita romantis belaka.
Penulis buku ini membuktikan sendiri. Dengan membawa peta Jakarta abad ke-17, ia menyusuri jalan dari daerah Sunda Kelapa hingga ke arah Glodok. Hampir ia tak menemukan sisa apa pun yang ada di abad-abad lalu itu. Semua berganti wajah dengan fungsi yang berbeda pula. Padahal ada sebuah papan besar di Museum Bahari, Sunda Kelapa, yang bertuliskan kata-kata bijak: "Kita tanpa bangunan tua ibarat manusia tanpa ingatan." Mungkin para pemimpin kota ini bukanlah manusia, atau sekurang-kurangnya tanpa memiliki ingatan yang panjang.
Ign. Haryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini