Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Artjog tanpa Jorjoran

Pandemi membuat perhelatan seni kontemporer Artjog 2020 digelar secara daring dan kunjungan langsung dengan protokol kesehatan. Kali ini karya lukisan mendominasi pameran.

29 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karya perupa Eko Nugroho berjudul Museum of New Norm di festival Artjog di Jogja National Museum, 21 Agustus 2020. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada lagi karya seni yang mengejutkan sebagai fasad di halaman Jogja National Museum, Yogyakarta. Hanya lorong berdinding pelat besi berwarna biru dan bertulisan “Artjog” yang memandu pengunjung masuk ke ruangan untuk menikmati karya 78 seniman undangan. Karya-karya seniman itu berupa lukisan, patung, dan seni instalasi. Kali ini lukisan mendominasi pameran dan karya para seniman tidak dibuat interaktif seperti biasanya karena menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Tahun-tahun sebelumnya, pameran seni kontemporer Artjog selalu menampilkan karya utama seniman sebagai magnet. Halaman gedung pameran tahun lalu dihiasi seni instalasi suasana bawah laut karya perupa Teguh Ostenrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semula, Artjog hendak memajang karya seni instalasi Jompet Kuswidananto sebagai salah satu karya proyek khusus pada 23 Juli-30 Agustus 2020. Tapi pandemi Covid-19 membuyarkan rencana itu. Panitia membatalkan Artjog bertema “Time to Wonder” dan mengganti dengan tema “Resilience” dalam situasi krisis karena pagebluk. Sponsor pun berkurang. “Kami enggak bisa jorjoran seperti biasanya,” kata pendiri Artjog, Heri Pemad, kepada Tempo di Jogja National Museum, Ahad, 9 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karya instalasi berjudul Tembang Laras ciptaan Murakabi Movement di Artjog 2020 bertema Resillence di Jogja National Museum Yogyakarta, Yogyakarta, 21 Agustus 2020. Tempo/Shinta Maharani

Di tengah keterbatasan itu, panitia bersiasat dengan menggelar pameran secara daring (online) melalui www.artjog.co.id dan kunjungan langsung dengan jumlah peserta yang terbatas, mengikuti protokol kesehatan. Tak semua karya seni rupa yang dipamerkan berupa karya baru. Padahal Artjog yang digelar sejak 8 Agustus hingga 10 Oktober 2020 ini mengklaim sebagai festival seni kontemporer tahunan. Tengoklah karya seni instalasi seniman mapan Heri Dono berjudul The Guardian of Angels, yang dibuat pada 2018. Karya itu juga tidak nyambung dengan tema “Resilience”. Tapi kurator Bambang “Toko” Witjaksono menyebutkan para seniman undangan tidak siap membuat karya seni baru dalam waktu yang pendek.

Yang mencuri perhatian pada perhelatan kali ini adalah karya gerakan seniman lintas disiplin yang dinamai Murakabi Movement. Karya kelompok Murakabi menjadi proyek spesial Artjog yang mewakili pameran kali ini yang lebih sunyi dan reflektif, berkebalikan dengan Artjog tahun-tahun sebelumnya yang penuh kerumunan dan keriuhan serta gemebyar. “Karya Murakabi jadi terapi sosial dan menyembuhkan dalam suasana pandemi,” ujar kurator Artjog lain, Ignatia Nilu.

Beranggotakan seniman, arsitek, intelektual, dan aktivis gerakan sosial, Murakabi menyuguhkan karya seni instalasi berbahan bambu, batu kali, dan botol bekas yang sejalan dengan tema pameran. Murakabi memberi judul karya itu Tembang Laras Murakabi. Susunan bambu yang didesain arsitek Eko Prawoto membentuk lorong menjadi karya pertama yang menyambut setiap pengunjung. Batu kali dan botol-botol bekas yang menghadap atap melengkapi bambu. Botol bekas itu disiapkan sebagai wadah untuk menampung air hujan yang disaring dan mengalami elektrolisis agar bisa langsung diminum.

Murakabi menjadikan bambu sebagai bahan utama seni instalasi untuk mengajak orang berefleksi, mendekatkan diri kepada alam di tengah pandemi. Susunan bambu itu memenuhi dua ruangan yang digambarkan sebagai bentuk paru-paru dan jantung manusia. Bambu yang dirangkai itu menggambarkan energi di tengah cakra jantung. “Menyeimbangkan yang material dan spiritual,” kata Santi Ariestyowanti, salah satu anggota Murakabi.

Ruangan yang dipenuhi bambu menjadi ruang meditasi untuk pengunjung. Penggagas sepeda bambu dan penggiat Pasar Papringan, Singgih S. Kartono, sedang menyiapkan tambahan perangkat pendukung meditasi berupa bambu panjang sebagai wadah untuk meletakkan telepon seluler. Dari ponsel itu, setiap orang bisa mendengarkan musik pelan kesukaannya sembari merenung dalam suasana meditatif. Di ruangan penuh bambu itu, orang bisa membayangkan sedang berada di kapel atau tempat meditasi.

Suasana sunyi itu didukung kolaborasi Murakabi yang melibatkan penyair Joko Pinurbo dan seniman Gunawan Maryanto. Mulai 30 Agustus, setiap Ahad subuh (pukul 04.00-05.00), Murakabi mengajak masyarakat mengikuti sesi ibadah puisi bertajuk Hening Cipta secara daring. Pemilihan waktu dinihari tersebut lantaran saat itu adalah jam-jam hening dan Jokpin—sapaan akrab Joko Pinurbo—biasa menciptakan puisi pada jam itu. Dari rumah masing-masing, peserta ibadah puisi bisa mendengarkan puisi sembari menyeduh teh, menyalakan dupa, dan membaui minyak esensial untuk menambah ketenangan jiwa.

Gelombang Masker karya perupa Djoko Pekik. Tempo/Shinta Maharani

Puisi Jokpin dikenal lekat dengan kehidupan sehari-hari manusia dan sederhana. Puisinya menyinggung hal-hal yang spiritual, tapi tidak menggurui dan tidak mengawang-awang. Itu yang membuat Murakabi kepincut melibatkan Jokpin dalam kolaborasi bersama. “Puisi Jokpin itu dekat dengan kehidupan sehari-hari dan orang ngerasa seperti mengalami. Sebagaimana tujuan Murakabi, membuat seni seperti ada dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Santi.

Salah satu puisi Jokpin yang menyinggung hal spiritual itu berbunyi “Apa Agamamu”. Agamaku adalah air yang membasuh pertanyaanmu akan diletakkan pada botol berisi air hujan. Botol bertulisan puisi itu menjadi refleksi bagaimana manusia membaca dirinya berhubungan dengan alam.

Kedekatan dengan alam dan pandemi juga muncul pada bordir yang dikombinasikan dengan lukisan karya perupa Eko Nugroho. Karya berjudul Museum of New Norm itu menempati satu ruangan penuh di lantai dua. Ada 11 karya di ruangan itu yang menggambarkan citraan manusia dalam bentuk yang ganjil, beberapa tampak mirip alien dan monster. Semua wajah dalam figur itu tertutup dalam bentuk yang tidak beraturan dan berkelir mencolok.

Pandemi yang membuat Eko terkurung di rumah justru menginspirasinya menciptakan aneka bordir yang menimpa lukisan. Dia mengerjakan karyanya itu sejak virus corona menyerang Cina untuk pertama kalinya pada sekitar akhir 2019. Eko mulai mendesain visualisasi karya dan melibatkan enam perajin bordir yang bekerja di studionya. Karya itu dikerjakan menggunakan mesin bordir manual mirip mesin jahit yang diinjak menggunakan kaki. Bordir itu menimpa cat yang Eko gambar dengan warna yang mendekati warna benang bordir. Di dalam bordir itulah ada lukisan.

Bordir yang menimpa lukisan, menurut Eko, menggambarkan pandemi yang mengubah sifat dan perilaku manusia sebagai makhluk sosial ataupun individu. Misalnya tentang kewajiban menjaga jarak, menghindari kerumunan, cara komunikasi, dan menjaga kebersihan yang mengubah pola hidup manusia. “Pandemi menjadi norma baru yang diterapkan manusia di kemudian hari,” kata Eko.

Pandemi juga menjadi inspirasi perupa Agus Suwage, Sunaryo, dan Djoko Pekik. Agus Suwage menciptakan lukisan bertema masker di lantai tiga museum yang mengeksplorasi pelindung manusia di masa pandemi Covid-19. Dia menciptakan citraan mirip Mona Lisa karya maestro asal Italia, Leonardo da Vinci, berjudul Droplet Series-After Da Vinci. Lukisan seri lain menggambarkan perempuan bermasker putih yang sedang menatap langit berjudul Droplet Series-Tolak Bala After DeLacroix.

Karya Agus Suwage berjudul Droplet Series-After Da Vinci. Tempo/Shinta Maharani

Akan halnya perupa dari Bandung, Sunaryo, menampilkan lukisan bertema pandemi dengan mengeksplorasi obyek penari yang mengenakan masker. Dalam lukisan berukuran 160 x 200 sentimeter itu, semua penari terlihat sedang bergerak. Ada penari Bali yang memasang penutup kepala, ada juga penari yang bergerak hingga maskernya terlepas separuh. Para penari yang aktif bergerak itu berdempetan dengan beragam pose. Sunaryo memberi judul karyanya itu When the Dancers Stay at Home.

Tema masker juga tak lepas dari saputan perupa gaek Djoko Pekik. Perupa yang pernah berhimpun di Lembaga Kebudayaan Rakyat itu menciptakan lukisan kerumunan manusia, yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, tua-muda, yang sedang mengacungkan tangan kanan. Semua orang dalam lukisan itu mengenakan masker dan digambarkan sedang berjalan menuju mobil bak terbuka (pick-up) yang bertulisan “corona”. Perupa yang pernah menjadi tahanan politik karena peristiwa 1965 itu memberi judul lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 150 x 250 sentimeter tersebut Gelombang Masker.

Seniman moncer yang karyanya mahal di pasar juga menciptakan karya bertema pandemi. I Nyoman Masriadi, yang lukisannya bernilai miliaran rupiah, kali ini membuat karya dengan karakter superhero Batman. Karya berjudul Batman’s Promotion bertarikh 2020 ini menggambarkan citraan Batman dengan tubuh berwarna ungu. Manusia kelelawar itu berjubah dan bertopeng kelir hitam. Masriadi membubuhkan tulisan “Buy 2 Get 1 Free” dalam karya berbahan akrilik pada kanvas berukuran 202 x 145 sentimeter tersebut.

Seniman ternama lain yang memajang karyanya di Artjog kali ini adalah Nasirun, Ugo Untoro, Jumaldi Alfi, Ivan Sagita, dan pematung Nyoman Nuarta. Menurut kurator pameran Bambang Toko, sejumlah seniman tak terpengaruh oleh pandemi dan justru mereka berfokus mengerjakan karya di studionya. “Salah satunya perupa Ivan Sagita,” tuturnya.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus