Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada jejak sama bahwa dulu di situ pernah terdapat sebuah toko buku yang legendaris. Toko Buku Liong laiknya anak tiri di kawasan Kota Lama Semarang. Pada saat bangunan lain di sekitarnya bersolek, eks toko komik milik keluarga Lie itu justru terbengkalai. Hampir tak terlihat sisa kejayaan toko buku yang hidup pada 1950-an itu. Hanya ada pilar besi berkelir hijau yang menyembul dari balik pagar seng yang membentuk kerangka bangunan. Tanda bahwa ada rencana pendirian gedung baru di lokasi itu, tapi belum rampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di seberang eks lokasi toko buku itu berdiri Gereja Blenduk, tempat favorit wisatawan di kawasan Kota Lama. Sedangkan di sebelah baratnya terdapat kantor Jiwasraya, yang pada era kolonial adalah milik perusahaan asuransi Nederlandsch Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toko Liong yang didirikan Lie Djoen Lie dan Ong King Nio ini pernah berjaya pada masanya. Di sanalah sejumlah komik tersohor diproduksi dan didistribusikan. Salah satunya Wiro, Anak Rimba Indonesia, yang digilai bocah dan remaja pada 1950-an. “Yang paling terkenal komik Dagelan Petruk Gareng, cerita rakyat yang dikemas dengan guyonan,” ujar sejarawan Kota Semarang, Jongkie Tio, Senin, 17 Agustus lalu.
Jongkie mengaku punya kenangan dengan toko buku itu. Pada 1957, saat masih menjadi pelajar sekolah menengah pertama, Jongkie kerap bertandang ke sana. Namun, sayangnya, setahun kemudian Toko Buku Liong tutup. Empunya kios hijrah ke Brasil. Yang Jongkie ingat, keluarga Lie pindah karena ada kebijakan pemerintah yang merugikan warga keturunan Cina pada masa itu. Belasan tahun kemudian, bangunan toko dirobohkan.
Bangunan yang dulunya Toko Buku Liong di Semarang, 1994. Swanny Lie
Jongkie tak tahu apakah pembongkaran itu dilakukan atas titah keluarga Lie ataukah pemilik anyar. Namun, kata dia, proses tersebut berbuntut masalah. Sebab, Pemerintah Kota Semarang tak merestui perobohan bangunan itu, yang dianggap bersejarah. Walhasil, gedung itu sampai sekarang mangkrak. “Pembongkaran yang telanjur terjadi itu diduga tak mengantongi izin Pemkot,” ucapnya. “Namun izin tak juga dikeluarkan Pemkot sampai akhirnya kini terbengkalai.”
Kenangan akan Toko Buku Liong itulah yang sedang dihidupkan lewat proyek kolaborasi lintas budaya antara kurator Adelina Luft (Rumania-Indonesia) dan seniman sekaligus cucu pemilik Toko Buku Liong, Daniel Lie (Brasil-Indonesia). Proyek daring (online) yang berlangsung sebulan sejak 4 Agustus lalu ini dikelola Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat. “Ini penting untuk mempelajari lagi wacana tentang politik identitas dan struktur kekuasaan pasca-kemerdekaan Indonesia,” tutur Adelina Luft saat ditemui pada Sabtu, 15 Agustus lalu, di Cemeti, Yogyakarta.
Salah satu buku yang dibawa oleh keluarga Lie ke Brasil. Dokumentasi Keluarga Lie
Proyek Toko Buku Liong dirangkai dari empat jilid berurutan yang lahir satu per satu tiap pekan. Tiap fragmen menyajikan seni, esai, dan materi arsip untuk menunjukkan peran komik Indonesia dalam membangun identitas budaya. Jilid pertama proyek ini bertajuk “Escombros”, yang dicomot dari bahasa Portugis yang berarti serpihan, puing-puing, atau reruntuhan.
Di jilid pertama ini kita disuguhi visual yang disertai narasi lisan tentang Toko Buku Liong. Luft dan Daniel menggabungkan arsip foto lawas yang dijadikan animasi dengan potret kawasan Kota Lama teranyar. Visualisasi ini menyuguhkan sejarah Toko Buku Liong pada masa lampau dan menghidupkan bayangan seandainya kios itu masih hidup, bertetangga dengan bangunan kuno lain yang sebagian sudah dipermak menjadi perkantoran dan kafe.
Daniel Lee (kanan) dan Adelina Luft bersama karya instalasi Daniel Lie bertajuk Reverberação/Reverb/Gaung di Cemeti, Yogyakarta. Tempo/Shinta Maharani
Adapun jilid kedua yang dirilis pada 11 Agustus lalu memperkenalkan para pendiri dan produser Toko Buku Liong yang bermigrasi ke Brasil pada 1958. Berlanjut ke jilid selanjutnya, pameran menyuguhkan seni instalasi garapan Daniel yang menggambarkan memorinya tentang Toko Buku Liong. Karya berjudul Reverberação/Reverb/Gaung ini mengambil citraan tokoh pewayangan Jawa, Petruk-Gareng.
Dalam karyanya ini, Daniel menyertakan sejumlah bulir padi yang menopang kayu-kayu, lengkap dengan topeng Petruk-Gareng. Instalasi yang dilengkapi dengan bau dupa dan lilin ini dipajang di Cemeti. Daniel mengungkapkan, dia ingin mengingatkan orang tentang komik Dagelan Petruk Gareng yang diproduksi toko buku milik kakeknya.
•••
PROYEK daring Toko Buku Liong bermula dari Biennale Jogja 2017. Ketika itu, Adelina Luft adalah asisten kurator. Ia membantu kurator Biennale, Pius Sigit Kuncoro, mendampingi empat seniman Brasil yang menjalani residensi di Yogyakarta dan berpameran di Biennale. Salah satunya Daniel Lie, yang membikin instalasi semacam sajian ritual yang menghubungkan Brasil dengan Indonesia.
Kepada Luft, Daniel mengungkapkan usahanya mencari asal-usul kakeknya yang lahir di Indonesia. Akhirnya, seusai Biennale, Luft menyarankan Daniel mengikuti seleksi Darmasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Darmasiswa adalah program beasiswa bagi mahasiswa asing dari negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia untuk mempelajari bahasa, seni, dan budaya negeri ini. Daniel lolos seleksi dan datang ke Indonesia untuk belajar sejak September 2019.
Seni instalasi karya Daniel Lie bertajuk Reverberação/Reverb/Gaung di Cemeti, Yogyakarta. Daniel Lie
Sejak itulah keduanya mulai berkolaborasi. Sejalan dengan keinginan Daniel menelusuri riwayat keluarganya, Luft tertarik meneliti warga keturunan Cina di Indonesia pada 1950-an. Menurut Daniel, sewaktu bermigrasi ke Brasil pada 1958, keluarga Lie memboyong tiga komik, satu buku, dan komik yang tidak diterbitkan Toko Buku Liong. Tiga komik itu adalah Wiro, Anak Rimba Indonesia; Dagelan Petruk Gareng; dan See Yoe. Adapun satu buku tersebut berjudul Masakan Sehari-hari yang berisi kumpulan resep masakan Tionghoa, Indonesia, dan Eropa. Sedangkan komik lain yang dibawa hingga kini tidak diterbitkan.
Daniel mendapatkan komik-komik itu dari ayahnya saat ia berumur 13 tahun. Ketika berusia 25 tahun, ia mulai menyisir sejarah keluarga dengan menanyai ayah dan bibinya. Sang ayah lalu mengungkap sedikit demi sedikit kisah tentang Lie Djoen Liem dan Ong King Nio, juga cerita keluarga mereka saat di Semarang.
Pada pengujung 2019, Daniel menjajaki Semarang. Bersama Adelina Luft, dia melacak jejak lokasi bekas Toko Buku Liong milik sang kakek. Mereka menapak tilas berbekal foto milik bibi Daniel, Swanny, yang pada Juni 1994 pelesiran ke Semarang bersama suaminya. “Bibi Swanny berkata dia bertemu dengan banyak orang keluarga karyawan Toko Buku Liong,” kata Daniel saat ditemui di Cemeti, Sabtu, 15 Agustus lalu.
Daniel menunjukkan foto itu kepada Tempo. Terlihat di foto bangunan tua bertulisan nama suatu restoran masakan Indonesia, juga kedai teh. Gambar itu menjadi satu-satunya petunjuk Luft dan Daniel lantaran keduanya kesulitan mendapatkan foto Toko Buku Liong dari Pemerintah Kota Semarang. Sebelum itu, mereka sudah mengunjungi perpustakaan kota dan menemui pejabat terkait. Namun tidak ada yang punya fotonya. “Kami lalu disarankan menemui seorang pendongeng yang tahu sejarah Toko Buku Liong,” ujar Luft.
Saran itulah yang lalu menuntun Luft kepada Jongkie Tio. Kepada keduanya, Jongkie, yang kini berusia 80 tahun, mengaku kenal dengan keluarga besar Lie Djoen Liem. Kepada Jongkie pula Daniel lalu menunjukkan foto jepretan Swanny, sekaligus mencocokkan temuan mereka.
Lie Djoen Liem lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada 1916, sementara Ong King Nio kelahiran Semarang, tujuh tahun setelahnya. Sejoli itu bertemu dalam perjalanan berkereta dari Jakarta ke Semarang, lalu menikah pada 1944. Sebelum mendirikan Toko Buku Liong, keduanya membuka perpustakaan. Semasa Perang Dunia II, mereka pernah meminjamkan buku kepada tentara Belanda yang ditukar dengan sejumlah bahan makanan impor kalengan—penganan mewah kala itu. Pada gilirannya, para serdadu yang kemudian menjadi kawan itu ikut menjaga bisnis keluarga Lie.
Pada awal 1950-an, Lie Djoen Liem dan Ong King Nio membuka Toko Buku Liong. Dulu toko itu menjajakan buku-buku impor dari Belanda dan perlengkapan sekolah, sampai kemudian menerbitkan sejumlah komik yang hingga kini masih dikenang, seperti Wiro, Anak Rimba Indonesia; dan Dagelan Petruk Gareng.
Keluarga Lie di Brasil, 1959. Dokumentasi Keluarga Lie
Sayangnya, umur toko buku itu tak sampai satu dekade. Pada 1 Agustus 1958, lahir Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Produk hukum itu menghapus kewarganegaraan ganda sekaligus menyatakan status kependudukan suamilah yang mempengaruhi istri dan anak-anaknya. Walhasil, bila si suami tersangkut urusan kewarganegaraan, anak-istrinya akan terkena imbas. Dengan adanya aturan ini, naturalisasi bergantung pada persetujuan pemerintah.
Aturan ini meresahkan keluarga keturunan Cina, tak terkecuali Lie Djoen Liem dan Ong King Nio. Di tengah ketidakpastian dampak situasi politik itu, mereka memutuskan bermigrasi ke Brasil. Visa Lie Djoen Liem terbit pada September 1958, sementara milik istri dan kedelapan anaknya baru rilis tiga bulan setelahnya. Dalam boyongan itu, bungsu keluarga Lie baru berumur 10 bulan.
Daniel mengaku masih menyimpan arsip kartu imigrasi keluarganya, yang menjadi kelompok orang Indonesia pertama yang bereksodus ke Brasil. Arsip itu turut ditampilkan dalam pameran daring Toko Buku Liong, yakni pada jilid kedua. Kata Daniel, ayahnya, yang kini bekerja di koran di São Paulo, adalah anak ketujuh. Saat meninggalkan Semarang, sang ayah masih berumur dua tahun. Di Brasil, putra kesembilan keluarga Lie lahir.
Potret keluarga Lie di Semarang, pada 1950an. Dokumentasi Keluarga Lie
Walau sudah menghimpun cerita dari ayah dan bibinya, Daniel tetap tak mengetahui alasan kakeknya memilih Brasil sebagai tempat tinggal baru. Yang ia ketahui, saat pindah, kakek Daniel sama sekali tak bisa berbahasa Portugis. “Mereka mengalami perubahan total untuk bertahan hidup,” ucapnya.
Daniel merekam wawancaranya dengan salah satu bibinya, (almarhum) Nio Lian Lie alias Liani alias Yani, di São Paulo pada 2016. Menurut Yani, setiba di Brasil pada 1958, mereka tinggal di Piraporinha, di sebuah rumah besar dengan taman yang luas. Ayahnya, Lie Djoen Liem, membuka toko kecil di depan rumah mereka untuk berjualan makanan. Namun kehidupan mereka di Brasil tak selalu mulus. Dalam prosesnya, keluarga Lie juga sempat mengalami kesulitan keuangan.
Komik Sie Djin Koei yang diterbitkan oleh Toko Buku Liong, pada 1950an. Dokumentasi Keluarga Lie
Yani menuturkan, proses naturalisasi dirinya sebagai warga Brasil terjadi pada 1968 dan dia memilih tetap memakai nama lahirnya. Walau demikian, kata Yani, kedua orang tuanya juga memberikan nama Belanda untuk dia dan saudara-saudaranya. “Seperti pamanmu, Chessy, yang punya nama Belanda ‘Chester’,” tutur Yani kepada Daniel.
Menurut Yani, kedua orang tuanya menghujani dia dan saudara-saudaranya dengan buku sejak kecil. Ia sendiri mulai belajar bahasa Inggris saat berumur delapan tahun. Ia selalu bersemangat membuka sekardus surat kabar yang tiba dari Belanda setiap dua bulan sekali dan biasa ikut melayani pembeli di Toko Buku Liong. “Saya dapat komisi 25 persen dari tiap penjualan,” ujarnya. Namun nadi toko buku itu terhenti setelah anggota keluarga orang tuanya meninggalkan Semarang. “Ada kerabat Mammie (Ong King Nio) yang mengambil alihnya, entah seperti apa transaksinya,” kata Yani.
•••
PENDIRI lembaga penelitian dan pengarsipan Dicti Art Laboratory, Mikke Susanto, menyebut proyek kolaboratif Daniel Lie dan Adelina Luft sebagai pameran arsip yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada pola hibridisasi, baik sebagai pameran, publikasi, maupun karya seni, yang lahir untuk menciptakan akses terhadap transnasionalisme dan multibahasa. Dengan pola hibridisasi itu, pengunjung bisa mengetahui secara menyeluruh wajah dan kisah obyek yang ditelisik.
Lokasi bangunan yang dulunya Toko Buku Liong di Jalan Letjen Suprapto Kota Lama, Semarang, 20 Agustus lalu. Tempo/Jamal A. Nashr
Mikke menyebutkan pengarsipan memang masih menjadi kendala dalam proyek ataupun pameran yang menyoal sejarah. “Jika sampai hari ini kita masih bisa memegang komik asli ataupun arsip lain terkait dengan Toko Buku Liong, itu keberuntungan bagi generasi hari ini,” ujar Mikke, yang juga kurator seni dan pengajar seni rupa di ISI Yogyakarta, Rabu, 19 Agustus lalu.
Menurut dia, keberhasilan proyek ini tidak diukur dari presentasinya, melainkan dari upaya penyelamatan arsip dan para pelestarinya. Baru pada level selanjutnya publik bisa mengukur isi pamerannya dan bagaimana proyek ini bisa mempengaruhi khalayak luas. Mikke pun mengandaikan toko buku lain bisa merangkum dan menceritakan sejarahnya. “Bila itu terjadi, kita makin berpeluang membuka identitas yang lebih plural dan menarik,” ucapnya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ISMA SAVITRI, JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo