Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam sejarah seni lukis Surabaya, bahkan nasional, Koempoel adalah ikon penting.
Hanya pelukis Koempoel Sujatno yang sanggup melakukan pameran tunggal di Jawa Timur pada 1939.
Koempoel konsisten melukis sudut-sudut Kota Surabaya selama hampir 50 tahun.
HANYA pelukis Koempoel Sujatno (1912-1987) yang sanggup melakukan pameran tunggal di Jawa Timur pada 1939. Dengan dukungan langka para petinggi dan seniman teras Hindia Belanda, pelukis yang hidup di Surabaya itu menggelar karyanya dengan reputasi seni yang menaikkan harkat bumiputra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya karya Koempoel yang selama era-era besar Indonesia—zaman Belanda, Jepang, pasca-kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, reformasi, pasca-reformasi—sanggup mewarnai dinding para pencinta seni dari semua lapisan. Dari kelas tukang sate sampai gubernur, dari pengusaha opelet sampai insinyur. Bahkan sampai ke Istana Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya Koempoel yang konsisten melukis sudut-sudut Kota Surabaya selama hampir 50 tahun tanpa jeda. Dengan ciptaan yang rata-rata bagus, menyenangkan mata, disertai ciri khas dan teknik pelukisan yang tiada duanya. Pelabuhan Tanjung Perak, Pantai Kenjeran, kawasan Jembatan Merah, Undaan, Kembang Jepun, sampai Kalimas dan Kalimati jadi sasarannya.
Hanya Koempoel yang pantas disebut sebagai pelukis super-produktif di Indonesia karena ia telah mencipta sekitar 30 ribu lukisan cat minyak berbagai ukuran dalam sebentang hidupnya. Jumlah yang melebihi seniman Spanyol Pablo Picasso (1897-1973), yang “cuma” menggubah sekitar 20 ribu karya visual sepanjang masa. Menurut Siu Lan, ahli waris toko pigura Mie Lie di Jalan Bubutan, Surabaya, pada 1970-an, gudang tokonya selalu dipenuhi sekitar 1.000 lukisan Koempoel.
Hanya lukisan Koempoel yang bisa menarik minat banyak kolektor untuk menyimpannya dengan penuh gairah. Ada yang menyimpan ratusan karyanya lalu diformat dalam buku Koempoel Sujatno: The Maestro (2003). Dan ada sehampar rumah besar di kawasan Citraland, Surabaya, yang semua ruangannya berhias ratusan lukisan Koempoel. Bahkan rumah itu dihiasi papan bertulis aksara Jawa: “Koempoel Kumpulo”. Maknanya: wahai lukisan Koempoel dari seluruh bumi, berkumpullah di sini!
Dan hanya lukisan Koempoel yang punya nilai komersial mengejutkan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Ini terjadi lantaran hanya selama satu dasawarsa—dari 1990 sampai 2000—nilai lukisannya bergulung sampai 100 kali lipat. Dari Rp 100 ribu menjadi Rp 10 juta, misalnya. Dari Rp 200 ribu menjadi Rp 20 juta, umpamanya.
Koempoel Sujatno (1917-1987). Pelukis ikonik Surabaya.
Maka, dalam sejarah seni lukis Surabaya, bahkan seni lukis nasional, Koempoel adalah ikon penting. Tanpa Koempoel, seni rupa Surabaya dan seni rupa Indonesia pucat tak berwarna.
Namun selengkap-lengkap reputasi Koempoel Sujatno dicatat dan seerat-erat lukisan Koempel dipeluk, eksistensi sosok Koempoel dan lukisannya yang artistik itu masih saja disembunyikan oleh sejarah. Suatu situasi menyebabkan Koempoel tetap terpental dalam kelindan elite seni rupa Surabaya dan nasional, serta terposisi sebagai seniman marginal.
Ini adalah suatu keadaan yang (apa boleh buat) menerbitkan sangkaan, betapa Koempoel telah menjadi korban sebuah sindikasi penganut ex mera conjectura atau kelompok pengatur sejarah yang sisik-melik pekerjaannya diberangkatkan dari dugaan atau asumsi. Meski asal mula dugaan itu bisa dieja dan dipahami.
*****
KOEMPOEL adalah pelukis autodidak yang pada kemudian hari mendalami dan belajar seni lukis dari dua pelukis Belanda, Van der Does (1889-1966) dan Gerard Pieter Adolfs (1897-1968).
Van der Does adalah pelukis kelahiran Rotterdam yang pada usia 17 tahun berangkat ke Hindia Belanda dan lama bermukim di Surabaya. Sedangkan Adolfs adalah pelukis Hindia Belanda kelahiran Semarang pada 1897 yang sangat mencintai Kota Surabaya sejak 1930-an. Puluhan karya Adolfs yang mengeskpos sudut-sudut Kota Surabaya diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Uitgeverij Jacob van Campen te Amsterdam.
Van der Does dan Adolfs sering melukis di kanvas-kanvas kecil yang berukuran sekitar serentang satu lengan, bahkan sejengkal atau dua jengkal jari tangan. Format ciptaan warisan dari tradisi “pelukis alam terbuka” yang diperkenalkan secara luas oleh kelompok Barbizon di Prancis selatan pada pertengahan abad ke-19.
Dalam kerja melukis itu, Van der Does berkata kepada Koempoel, “Jij moet de nature gehoorz zamen!” (Kamu harus mengabdi kepada alam). Sementara itu, Adolfs berkata lain, “Jij moet de nature overtreffen.” (Kamu harus bisa mengatasi alam). Seperti halnya kelompok Barbizon dan dua pelukis yang menjadi gurunya itu, Koempoel pun jadi gemar melukis alam dan lingkungan di kanvas yang serba-kecil. Karyanya sangat banyak yang berukuran 25 x 35 cm. Meskipun ada juga yang membentang 2 meter.
Namun kedekatannya dengan para seniman Belanda itu menyebabkan Koempoel menuai pandangan tidak menguntungkan. Pergaulannya yang intens dengan Van der Does dan Adolfs membuahkan sangkaan bahwa dia tidak nasionalis. Apalagi pergaulan erat itu dilakukan pada akhir 1930-an, kala di Batavia (Jakarta) muncul gerakan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pimpinan S. Sudjojono dan Agus Djaya. Perkumpulan itu mengumandangkan nasionalisme sebagai dasar penciptaan seni.
Lukisan Koempoel Sujatno koleksi Istana Presiden RI, berjudul Pelabuhan di Surabaya. Agus Dermawan T
Sementara itu, karya-karya Van der Does dan Adolfs oleh kaum nasionalis dipojokkan sebagai Mooi Indie (Indonesia Jelita). Tema karya itu diolok-olok sebagai pengabdi turis dan dianggap remeh-temeh martabatnya sebagai seni. Lukisan Koempoel ada di tengah-tengah Van der Does dan Adolfs itu. Dengan demikian, lukisan dan reputasi Koempoel pun ikut tereduksi dengan pilu. Koempoel dijauhkan dari komunitas dan tidak pernah diajak bergabung dalam perkumpulan seni rupa apa saja di Surabaya.
Padahal dunia seni rupa Surabaya berjalan dinamis dari waktu ke waktu. Di kota ini, di Jalan Peneleh, pernah aktif Perkumpulan Seni Raden Saleh pada 1923. Di sini muncul nama seniman Soepardjo, Maskan, dan Djojowisastra. Juga Pik Gan, yang di kemudian hari membuka galeri lukisan di Pasar Besar dan banyak memajang lukisan Koempoel.
Ketika Jepang berkuasa pada 1942-1945, banyak seniman Surabaya yang masuk ke Keimin Bunka Sidhoso. Pada 1950, muncul sanggar Prabangkara yang dihuni oleh Karyono J.S., Bandarkoem, Wiwiek Hidayat, dan Sunarto Timur. Pada 1957, lahir Sanggar Angin yang beranggotakan Tedja Suminar, O.H. Supono, Yap Kim Koen (Yapri Kuncana), C.J. Ali, Sriwidodo, dan sebagainya.
Di tengah keramaian perkumpulan itu, adakah nama Koempoel Sujatno? Ternyata tak tercatat sama sekali. Meski demikian, menurut para seniman yang aktif kala itu, Koempoel sekali-sekali muncul untuk kemudian menghilang lagi. Sebagai seniman yang pernah bergaul erat dengan para seniman Belanda dan gencar berbahasa Belanda, Koempoel tersudut. Ia dianggap “blandis” (kebelanda-belandaan) dan tidak nasionalis jiwanya.
Pada 1961, di Surabaya, lahir Kegiatan Kebudayaan Indonesia (KKI). Di sini ada nama Ipe Ma’aroef, Sudiyono S.W., dan Boedi S.R., yang kemudian dikenal sebagai penyanyi dan pelawak Srimulat. Dalam kurun waktu tersebut, muncul juga organisasi seniman yang berafiliasi di bawah partai tertentu, seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesri), yang ditokohi Rustamadji.
Setelah kudeta politik 1965 meletus, muncul perkumpulan Sanggar Kelompok, yang didirikan oleh Ruslan, Rudi Isbandi, dan Suyono. Sanggar itu bersifat mengambang dan menerima siapa pun sebagai anggota. Di semua perkumpulan itu, nama Koempoel juga tidak tertera.
Pada 1967, lahir Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera), yang dirintis oleh Daryono, Amang Rahman, Gatut Kusumo, dan Krishna Mustajab. Dari tahun ke tahun, Aksera memunculkan nama-nama baru yang kemudian populer, seperti Nunung W.S., Nuzurlis Koto, Johar Arifin, dan Makfoed. Sejarah sah membayangkan, betapa ideal jika di perguruan formal itu sosok Koempoel muncul sebagai pengajar. Namun itu tidak terjadi. Bahkan ketika pada 1980-an grup pelukis Surabaya mengadakan pameran keliling di berbagai kota, nama Koempoel juga tidak ada.
Pada 1990 sampai 2000-an, Surabaya dihiasi lukisan bermutu yang beraneka tema dan coraknya. Karya itu diciptakan Dwijo Sukatmo, Sochieb, Doyo Prawito, Hening Purnamawati, Asri Nugroho, dan Ivan Hariyanto. Keanekaan corak ini memberikan kesempatan kepada karya Koempoel yang khas untuk menyelip tampil.
Tapi lukisan Koempoel juga tidak ada di permukaan. Bahkan, pada kurun itu, lahir pula jajaran lukisan taferil sudut-sudut Kota Surabaya yang diciptakan Joni Ramlan. Namun kehadiran lukisan bertema spesifik ini juga tidak menstimulasi para elite seni rupa berbicara dan memunculkan lukisan “sudut-sudut kota” Koempoel, pendahulunya.
*****
Lukisan Koempoel Sujatno berjudul Kawasan Kalimati, Surabaya. Agus Dermawan T
DENGAN begitu, dalam konstelasi seni lukis Surabaya (dan seni lukis nasional), nama Koempoel hilang-hilang muncul bagai hantu di siang hari. Koempoel nyata sebagai pelukis yang dikagumi, tapi tidak pernah diberi kejelasan posisi.
Namun, meski nama Koempoel seperti tenggelam dalam arus sejarah dan tidak tertera dalam berbagai perkumpulan dan komunitas, lukisan-lukisan Koempoel ternyata terus saja mengalir. Sampai di muara hidupnya, ia terus mencipta. Ketika wafat, ratusan karyanya—yang disimpan sebagai investasi dagang—tetap saja mendatangi gudang galeri, art shop, dan lantas menghangatkan dinding rumah siapa saja.
Dari sini bolehlah timbul simpul: ketika kelompok seniman riuh dengan gerakan memposisikan sosok pelakunya dan keseniannya dalam sejarah, Koempoel diam-diam membuat posisinya sendiri dalam sejarah. Walaupun posisi dan sejarah itu tak bisa ia pahami, juga tak ingin benar-benar ia pahami. Dengan begitu, publik pun dipaksa mengernyitkan dahi. Di mana sesungguhnya Kompoel ditaruh? Di kemudian hari, disimpulkan bahwa posisi Koempoel memang tidak harus diletakkan di peta setting lokal ataupun nasional karena pelukis ini diam-diam membuat setting kosmologinya sendiri.
Gelora seni rupa Surabaya, seperti yang ditandai dengan perhelatan ARTSUBS, semestinya punya perayaan khusus untuk pelukis ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo