Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Arwah penghibur

Grup teater ibukota mementaskan sandiwara berjudul arwah binal, di tim. cerita diambil dari karya noel coward, inggris, tentang arwah cantik dengan menggunakan panggilan arwah berupa jelangkung. (ter)

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAPUN yang ini adalah grup lulusan Festival Teater Remaja di Jakarta: Teater Ibukota. Judul yang dibawakannya pada pementasan pertama di TIM setelah "dibaptis" itu (19 - 21 Mei), yakni Arwah Binal, mengingatkan pada sandiwara Miss Cicih. Tetapi memang ada dua hal yang bersatu di sini: kecenderungan grup yang selama ini suka kepada 'yang ringan-ringan', dan bekal yang diberikan pengarang aslinya sendiri. Di antara karya-karya Noel Coward (Inggeris, lahir 1899) barangkali memang hanya sandiwara kesejarahan Cavalcade yang agak berbeda dan, konon, mencapai nilai tertinggi. Selebihnya Coward, aktor dan pengarang yang menonjol dengan jalan cerita dan dialog yang menyenangkan, dikenal juga antara lain sebagai tukang bikin lakon musikal, bikin film, bikin revue (tari-nyanyi-lelucon), selain muncul juga dalam kabaret-kabaret. Singkatnya ia seniman dan penghibur. Dari orang polos yang cemerlang itulah muncul Blithe Spirit (1941) yang menokohkan arwah-arwah. Mula-mula cuma ada seorang (atau sebiji? ) arwah . Yakni arwah punya Elvira. Ini arwah datang ke rumah bekas suaminya di luar kemauannya sendiri. Soalnya suami yang pengarang itu (Anton) katanya ingin mendapat ilham untuk bukunya, dan karena itu ia menyuruh tukang arwah (Pak Bontot) main jaelangkung. Taunya arwah si bekas isteri yang nongol -- dan betul-betul hidup (cakep lagi). Sialnya, ini arwah yang binal bikin keributan dengan isteri Anton yang sekarang: si arwah diam-diam ingin suaminya mati, sebab dia kesepianlah di alam baka. Lebih dari itu 'dunia sana' rupanya tak adil: si suami dan si arwah bisa saling melihat, sedang si isteri tidak. Maka ia pun tegang. Usaha si arwah untuk mengajak Anton nonton drama ke TIM (maklum ini cerita saduran), dengan lebih dulu membikin rem mobilnya 'blong', tidak mengenai sasaran. Sebab sementara si arwah lagi merayu Anton (untuk dibawa ke 'dunia sana' secara diam-diam), yang pakai mobil justru si isteri. Akibatnya: arwah isteri sekarang ketemu arwah Elvira -- dan kini giliran Anton yang kelojotan karena tak bisa menghindar dari kerumunan mereka. Cerita ditutup oleh si tukang arwah yang dengan susah payah berhasil mengembalikan mereka entah ke mana. Baik. Yang paling penting pementasan ini memunculkan seorang pemain "terpendam" yang tak diduga-duga: Saliban Sastra (Pak Bontot). Dialah yang sebagai tukang arwah yang kocak, cekatan dan jempol, paling bisa dinikmati di samping si arwah binal (Pipit Sandra) yang main di bawahnya. Tidak berarti yang lain jelek hanya, dibanding misalnya I Swasta Lisendra (TEMPO 5 Juni), lakon ini -- sebagai tontonan -- tidak diancam oleh faktor permainan. Beberapa perhitungan memang boleh dibuat. Abud itu misalnya (Anton). Sikapnya yang gelagapan sesungguhnya bukan tuntutan peran tapi diduga satu-satunya bekal yang lantas dikompromikan dengan penafsiran tokoh. Akan hal isterinya (Maria di Fatima), ia menafsirkan tokoh perempuan yang tertekan dan gelisah dengan membiarkan seluruh ketegangan dari dalam muncrat keluar dan menguasai dirinya -- lantas "mengalahkan"nya dengan memforsir vokal (Agak selamat sedikit dari Abud, ia pun masih miskin pitch, nada suara). Takarannya adalah sebuah kisah sangat formil dengan semacam histeria, dan bukan lakon begini. Masih mendingan Matt Pelor yang jadi pelayan yang bagus dilihat bukan semata-mata karena ,ukuran tubuhnya yang kebetulan sangat kecil. Adapun Abdi Wiyono, yang menjadi dokter, juga "isteri"nya, sama sekali tidak main kecuali bila orang omong-omong dalam acara penerangan KB di TV itu, mau disebut main. Baik 'sebagai pemain maupun sutradara. Abdi menghadapi kerja ini dengan santai. "Sangat santai". Ia barangkali sadar bahwa cerita itu saja, dengan para pemain yang tidak terlalu mengganggu, sudah mengikat penonton. "Asal jalan". Padahal bahwa sutradara menggunakan efek suara guruh dari belakang panggung misalnya, pada kedatangan arwah, membuktikan bahwa "hiburan" ini sebenarnya menantang keahlian dan kesungguhan. Tetapi faktor suspense itulah yang tidak dikembangkannya. Pentas arena yang luas itu malam itu kelewat sunyi dan lampu kelewat statis -- untuk sebuah Blithe Spirit yang bisa memberi lebih banyak warna dan memperkaya ilusi penonton sampai kadar maksitnal -- layaknya sebagai salah satu hal yang mungkin dikerjakan oleh 'tangan seni'. Faktor kelucuan sendiri (belum sepenuhnya dieksploatir, karena penggarapan dialog terutama pada Abud dan Maria tentunya harus menyatu dengan ilusi fantastis yang sudah disebut dalam satu konsep yang mengenal pembagian posisi-posisi pentas dan suasana-suasana (yang riil, yang gaib maupun yang riil-gaib misalnya). Bahwa tempo sudah berjalan dengan selamat,ya. Bahwa penonton tertawa dan menunggu kelanjutan cerita, ya. Tapi masakan cuma itu. Bagaimana kalau belajar lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus