ADAPUN yang ini adalah grup lulusan Festival Teater Remaja di
Jakarta: Teater Ibukota. Judul yang dibawakannya pada pementasan
pertama di TIM setelah "dibaptis" itu (19 - 21 Mei), yakni Arwah
Binal, mengingatkan pada sandiwara Miss Cicih. Tetapi memang ada
dua hal yang bersatu di sini: kecenderungan grup yang selama ini
suka kepada 'yang ringan-ringan', dan bekal yang diberikan
pengarang aslinya sendiri. Di antara karya-karya Noel Coward
(Inggeris, lahir 1899) barangkali memang hanya sandiwara
kesejarahan Cavalcade yang agak berbeda dan, konon, mencapai
nilai tertinggi. Selebihnya Coward, aktor dan pengarang yang
menonjol dengan jalan cerita dan dialog yang menyenangkan,
dikenal juga antara lain sebagai tukang bikin lakon musikal,
bikin film, bikin revue (tari-nyanyi-lelucon), selain muncul
juga dalam kabaret-kabaret. Singkatnya ia seniman dan penghibur.
Dari orang polos yang cemerlang itulah muncul Blithe Spirit
(1941) yang menokohkan arwah-arwah. Mula-mula cuma ada seorang
(atau sebiji? ) arwah . Yakni arwah punya Elvira. Ini arwah
datang ke rumah bekas suaminya di luar kemauannya sendiri.
Soalnya suami yang pengarang itu (Anton) katanya ingin mendapat
ilham untuk bukunya, dan karena itu ia menyuruh tukang arwah
(Pak Bontot) main jaelangkung. Taunya arwah si bekas isteri yang
nongol -- dan betul-betul hidup (cakep lagi). Sialnya, ini arwah
yang binal bikin keributan dengan isteri Anton yang sekarang: si
arwah diam-diam ingin suaminya mati, sebab dia kesepianlah di
alam baka. Lebih dari itu 'dunia sana' rupanya tak adil: si
suami dan si arwah bisa saling melihat, sedang si isteri tidak.
Maka ia pun tegang. Usaha si arwah untuk mengajak Anton nonton
drama ke TIM (maklum ini cerita saduran), dengan lebih dulu
membikin rem mobilnya 'blong', tidak mengenai sasaran. Sebab
sementara si arwah lagi merayu Anton (untuk dibawa ke 'dunia
sana' secara diam-diam), yang pakai mobil justru si isteri.
Akibatnya: arwah isteri sekarang ketemu arwah Elvira -- dan kini
giliran Anton yang kelojotan karena tak bisa menghindar dari
kerumunan mereka. Cerita ditutup oleh si tukang arwah yang
dengan susah payah berhasil mengembalikan mereka entah ke mana.
Baik. Yang paling penting pementasan ini memunculkan seorang
pemain "terpendam" yang tak diduga-duga: Saliban Sastra (Pak
Bontot). Dialah yang sebagai tukang arwah yang kocak, cekatan
dan jempol, paling bisa dinikmati di samping si arwah binal
(Pipit Sandra) yang main di bawahnya. Tidak berarti yang lain
jelek hanya, dibanding misalnya I Swasta Lisendra (TEMPO 5
Juni), lakon ini -- sebagai tontonan -- tidak diancam oleh
faktor permainan. Beberapa perhitungan memang boleh dibuat.
Abud itu misalnya (Anton). Sikapnya yang gelagapan sesungguhnya
bukan tuntutan peran tapi diduga satu-satunya bekal yang lantas
dikompromikan dengan penafsiran tokoh. Akan hal isterinya (Maria
di Fatima), ia menafsirkan tokoh perempuan yang tertekan dan
gelisah dengan membiarkan seluruh ketegangan dari dalam muncrat
keluar dan menguasai dirinya -- lantas "mengalahkan"nya dengan
memforsir vokal (Agak selamat sedikit dari Abud, ia pun masih
miskin pitch, nada suara). Takarannya adalah sebuah kisah
sangat formil dengan semacam histeria, dan bukan lakon begini.
Masih mendingan Matt Pelor yang jadi pelayan yang bagus dilihat
bukan semata-mata karena ,ukuran tubuhnya yang kebetulan sangat
kecil. Adapun Abdi Wiyono, yang menjadi dokter, juga
"isteri"nya, sama sekali tidak main kecuali bila orang
omong-omong dalam acara penerangan KB di TV itu, mau disebut
main. Baik 'sebagai pemain maupun sutradara. Abdi menghadapi
kerja ini dengan santai. "Sangat santai". Ia barangkali sadar
bahwa cerita itu saja, dengan para pemain yang tidak terlalu
mengganggu, sudah mengikat penonton. "Asal jalan".
Padahal bahwa sutradara menggunakan efek suara guruh dari
belakang panggung misalnya, pada kedatangan arwah, membuktikan
bahwa "hiburan" ini sebenarnya menantang keahlian dan
kesungguhan. Tetapi faktor suspense itulah yang tidak
dikembangkannya. Pentas arena yang luas itu malam itu kelewat
sunyi dan lampu kelewat statis -- untuk sebuah Blithe Spirit
yang bisa memberi lebih banyak warna dan memperkaya ilusi
penonton sampai kadar maksitnal -- layaknya sebagai salah satu
hal yang mungkin dikerjakan oleh 'tangan seni'. Faktor kelucuan
sendiri (belum sepenuhnya dieksploatir, karena penggarapan
dialog terutama pada Abud dan Maria tentunya harus menyatu
dengan ilusi fantastis yang sudah disebut dalam satu konsep yang
mengenal pembagian posisi-posisi pentas dan suasana-suasana
(yang riil, yang gaib maupun yang riil-gaib misalnya). Bahwa
tempo sudah berjalan dengan selamat,ya. Bahwa penonton tertawa
dan menunggu kelanjutan cerita, ya. Tapi masakan cuma itu.
Bagaimana kalau belajar lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini