Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesakit-sakitnya hati Athirah, bila suaminya mengucapkan salam saat ke luar rumah, dia tetap saja menjawab, "Wa’alaikum salam...." Walau suaranya pelan, walau matanya merenung. Salam yang meluncur dari bibir Athirah sarat kepedihan tapi tetap mengandung doa keselamatan bagi Puang Ajji, sang suami yang menikah kembali.
Pergulatan perasaan Athirah menghadapi prahara keluarganya disajikan dengan subtil tapi mendalam oleh sutradara Riri Riza. Athirah tidak marah, tidak sekali pun meninggikan suara, bahkan tidak pernah mempertanyakan mengapa suaminya mengambil madu. Ia menelan tangis, tetap berdandan cantik untuk suaminya, merelakan diri hamil kembali, semua demi keutuhan rumah tangganya. Justru karena itu kisah Athirah terasa lebih memilin hati.
Cut Mini, yang berperan sebagai Athirah, mampu menampilkan emosi-emosi rumit terpendam itu dengan meyakinkan. Logat Makassarnya tak canggung. Ditambah detail-detail visual Makassar tahun 1950-an, sejarah perkembangan kota, dan adat-istiadat lokal yang direkonstruksi dengan baik, film ini terasa sekali digarap oleh orang yang mengenal betul kota itu.
Riri Riza memang sudah lama kepingin membuat film tentang daerah kelahirannya itu. Ketika akhirnya kesempatan itu datang, antusiasme Riri untuk memamerkan budaya Makassar tak terbendung. Film dibuka dengan potongan seremoni adat Makassar. Sepanjang film, ada adegan pernikahan Makassar, penyanyi Makassar, dan beragam kain dengan pola khas Bugis. Yang paling mencolok, adegan makan dimasukkan belasan kali, bahkan dalam slow motion. Ikan palumara, barongko, dan berbagai menu khas Makassar lain yang sungguh menggugah selera disorot Riri dari berbagai sudut. "Saya ingin ada pengalaman otentik ketika menonton film ini," Âkata Riri.
Film ini berangkat dari novel berjudul sama yang ditulis Alberthiene Endah pada 2013. Athirah tak lain adalah ibunda Jusuf Kalla. Athirah lahir di Kampung Bukaka, Bone, pada 1924, dan meninggal 58 tahun kemudian. Ia menikah dengan Puang Ajji pada usia 13 tahun. Dalam film, cerita Athirah dimulai saat ia mendampingi Puang Ajji pindah dari Bone ke Makassar pada 1950-an. Di daerah baru, mereka memulai usaha yang kemudian berkembang menjadi bisnis pribumi paling kuat di Sulawesi Selatan, NV Hadji Kalla.
Sejak diterbitkan, kisah Athirah sudah digadang-gadang keluarga Jusuf Kalla akan dijadikan film. "JK mau yang membuat film ibunya harus orang Bugis Makassar. Dia langsung meminta Riri Riza," kata produser Mira Lesmana. Riri dan Mira mengungkapkan tak ingin film ini menjadi kendaraan politik JK, yang mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada 2014. Produksi film pun diulur hingga 2015. JK dan keluarga yang turut mendanai film ini sepakat. Pengambilan gambar dilakukan selama 20 hari di Makassar, Sengkang, Parepare, dan Maros pada Mei-Juni tahun lalu.
JK remaja (diperankan Christoffer Nelwan) dipanggil dengan nama Ucu saja dan begitu terus sampai akhir film. Ucu digambarkan sebagai anak lelaki pendiam (padahal semua tahu betapa cerewetnya JK) yang malu-malu mengejar Ida (Indah Permata Sari), perempuan idamannya.
Riri juga mencukupkan film ini tanpa memberikan akhir yang bermegah-megah tentang kesuksesan Athirah. Setelah bangkit dari pahitnya dimadu, Athirah menjadi pengusaha kain sutra dan turut mendirikan yayasan yang menaungi Sekolah Islam Athirah yang ternama di Makassar. Seperti dikatakan Riri, ini bukanlah film biopik seperti Rudy Habibie (2016), Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015), atau Gie (2005), yang serba epik. Fokus cerita adalah Athirah dan bagaimana ia harus bersabar menahankan pengkhianatan suaminya agar keluarga tak runtuh. Sebuah cerita yang dekat dengan banyak perempuan di negeri yang masih menganggap sudah sepantasnya bila perempuan mengalah.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Athirah
Sutradara: Riri Riza
Produksi: Miles Films
Produser: Mira Lesmana
Skenario: Riri Riza dan Salman Aristo
Pemain: Cut Mini, Christoffer Nelwan, Jajang C. Noer, Tika Bravani, Indah Permata Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo