Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bangunan Busana Auguste

Fashion designer Auguste Soesastro menggelar ekshibisi tunggal perdana yang menggabungkan fashion, arsitektur, dan seni.

3 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AUGUSTE Soesastro berpikir sedikit lebih lama saat ditanya apa yang harus ada dalam setiap busana rancangannya. "Kejujuran," jawabnya kemudian. "Saya ingin jujur mendesain apa yang benar-benar saya inginkan, bukan untuk kepentingan jualan."

Tak mudah mencapai kejujuran itu. Auguste, yang ditemui pada Rabu sore pekan lalu di salah satu pusat belanja di Senayan, Jakarta, menyadari dia tak bisa semaunya membuat apa pun yang ia inginkan. Tetap harus ada jalan tengah yang mempertimbangkan faktor komersial. Dua labelnya, Kraton (adibusana) dan Kromo (ready to wear), tetap dibuat dengan memperhatikan apakah produknya akan terjual atau tidak.

Auguste akhirnya berhasil menikmati idealisme sepenuhnya lewat pameran tunggal Architecture of Cloth di Dia.Lo.Gue, Jakarta, dua pekan lalu. Tak hanya menciptakan busana ideal menurut dia. Dalam ekshibisi itu, Auguste juga menggali kembali bidang ilmu yang pernah ia tekuni: arsitektur. Pameran yang direncanakan sejak tahun lalu itu menghadirkan 15 pakaian dan 2 artwork yang khusus dirancang Auguste untuk momen tersebut. Karya-karya itu dibagi dalam tiga bagian: Formation, Fragmentation, dan Reduction. Bagian pertama adalah yang paling dekat dengan arsitektur, jurusan Auguste saat berkuliah di University of Sydney, Australia.

Seperti dalam rancang bangunan, pada bagian pertama ekshibisinya Auguste membongkar fondasi dari produk fashion-nya. Setiap karya dilengkapi denah pola yang menjabarkan bagaimana busana itu dibuat, mencakup proporsi dan komposisinya. Ibarat cetak biru dalam arsitektur. Di sini Auguste memperlihatkan bahwa ia tidak bekerja dengan suatu pola dasar. Pada bagian Fragmentation, ia bermain dengan pola yang terinspirasi dari berbagai hal, dari binatang hingga furnitur. Pola itu dipecah menjadi sejumlah fragmen berupa panel-panel yang kemudian disusun menjadi pakaian. Metode konstruksi seperti ini ia pelajari saat menjadi asisten pembuat pola untuk Ralph Rucci di Amerika Serikat.

Bagian paling menarik adalah Reduction, di mana ia mengedepankan minimalisme. Auguste sudah lama bergulat dengan konsep minimalis yang sering disalahpahami. "Minimalisme tak sekadar pengurangan, tapi menyisakan apa yang esensial. Bentuk seni yang paling kompleks," kata pria 35 tahun itu.

Pada bagian terakhir ini, Auguste menunjukkan sebuah pakaian sebisa mungkin dapat dibuat dengan mempertahankan esensi dari material kain tanpa membuang berlebihan. Ia mengolah bahan tanpa memotongnya. Polanya pun khusus dengan jahitan minimal. Bila dibongkar, akan terlihat bahwa busana itu hanya dibuat dari satu lembar kain. Sebuah teknik yang tentu membutuhkan presisi tinggi tapi menghasilkan pakaian yang minimalis. "Ini adalah eksperimen yang paling susah," ujarnya.

Sempat belajar arsitektur dan film, Auguste memutuskan menekuni fashion dengan mengambil jurusan rancang busana di satu-satunya sekolah haute couture di dunia, Chambre Syndicale de la Couture, Paris. Lulus dari sana, ia bekerja di rumah mode besar di Paris, lalu bekerja dengan desainer couture Ralph Rucci di New York, Amerika. Pengalaman itu mengantarnya dua kali mengikuti Pekan Mode New York (2009 dan 2010).

Kraton, label haute couture Auguste, diluncurkan pada Februari 2009 di New York. Tiga tahun kemudian, Auguste meluncurkan label baju siap pakai bernama Kromo pada perhelatan hari pertama Indonesia Fashion Week 2012. Nama-nama Jawa ia pilih karena ibunya adalah keturunan Keraton Cirebon. Auguste pun mengaku sangat lekat dengan kebudayaan Jawa meski tak pernah lama tinggal di Indonesia.

Pindah ke Tanah Air setelah berkarier di New York karena meninggalnya sang ayah, ekonom Hadi Soesastro, sempat menghadapkan Auguste pada krisis. Ia menyebutkan Indonesia tak memiliki industri fashion kontemporer. Jaringan manufaktur, suplai material, dan distribusi produk pun tak memadai. "Sisi positifnya, di sini saya bisa bersentuhan langsung dengan kebudayaan Indonesia. Semua tersedia di depan mata," katanya. MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus