Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu kebijakan yang bertujuan baik memang harus dipastikan pelaksanaannya, bahkan eksekusinya tak boleh ditunda. Tapi upaya untuk itu tak bisa serta-merta menjadi pembenaran atas pilihan langkah yang terkesan memaksakan kehendak, khususnya bila aturan atau prasarana penunjangnya belum siap.
Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah kepada 27 juta keluarga miskin dan rentan tidak hanya bertujuan baik, tapi juga niscaya untuk melonggarkan beban hidup yang mengimpit. Yang perlu dilakukan adalah menghindari kebocoran, salah sasaran, dan ketidakefektifan. Dalam hal ini, harus diakui, keinginan Presiden Joko Widodo agar mulai tahun depan bantuan yang meliputi aneka macam program itu disalurkan secara nontunai dan melibatkan sistem perbankan sangat masuk akal.
Jumlah uang yang dianggarkan untuk berbagai program bantuan sosial itu memang besar. Nilainya mencapai puluhan triliun rupiah. Program Beras Sejahtera saja, yang meliputi 15,5 juta keluarga, bernilai Rp 21 triliun. Selama ini bantuan itu dibayarkan tunai lewat kantor pos. Cara begini sangat membuka peluang bagi penggunaan yang meleset dari harapan—yakni di luar untuk keperluan belanja dan pembayaran kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan. Pengawasan penggunaannya pun sungguh musykil.
Penggunaan kartu pintar dan e-voucher, yang menghindarkan pencairan bantuan secara tunai, memang lebih menjanjikan ketertiban. Ada peluang pula untuk menyebarkan kebiasaan memiliki rekening tabungan. Tapi sistem antarbank yang berbeda-beda dan belum adanya ketentuan yang memungkinkan sistem itu bisa saling terhubung membuat hal-hal yang sudah baik di atas kertas sulit diwujudkan.
Semestinya peraturan mengenai hal itu sudah siap lebih dulu sebelum kartu atau e-voucher dalam penyaluran bantuan sosial diadopsi. Peraturan ini akan memungkinkan penyedia jaringan perbankan untuk pembayaran elektronik atau yang biasa disebut perusahaan switching beroperasi dalam ”bahasa” yang sama. Masalahnya, upaya untuk menerbitkan peraturan itu sudah tertunda-tunda sejak 2012. Bank Indonesia, yang berwenang membuatnya, berjanji merampungkannya pada akhir tahun ini.
Bagaimanapun, tetap muncul keraguan terhadap janji itu mengingat adanya kecenderungan tak akur antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan. Yang hendak diatur BI sebenarnya adalah semua hal yang berkaitan dengan sistem pembayaran. Tapi, jika urusannya menyangkut kartu yang menyerupai kartu debit, yang penggunaannya memerlukan rekening tabungan, di situ ada OJK. Kewenangan pengawasan yang tak sepenuhnya berada di tangannya inilah yang membuat BI terkesan mengulur-ulur waktu.
Satu-satunya upaya yang bisa dilakukan demi merealisasi keinginan Presiden Jokowi perihal penyaluran bantuan sosial secara nontunai hanyalah mendesak BI agar segera merampungkan tugasnya itu. Kerja sama BI dan OJK tentu saja jadi tak terhindarkan. Berdasarkan pengalaman, hal ini bukan sesuatu yang mengawang-awang, dan bukan tak pernah ada. Barangkali waktunya saja yang tak banyak tersedia—kalau targetnya akhir tahun ini.
Walhasil, jika tenggat peraturan itu terlihat bakal terlampaui, sebaiknya memang segera diputuskan tindakan cadangannya: menunda penggunaan kartu untuk menyalurkan bantuan sosial. Memaksakan pelaksanaannya, apalagi dengan melibatkan perusahaan asing, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo