Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pemuda Indonesia terjebak dalam penjara seram di Kairo, Mesir. Tuduhannya sa-ngat serius: memperkosa seorang gadis. Banyak yang tak percaya, lantaran Fahri, pemuda itu, adalah mahasiswa S2 di Universitas Al-Az-har, Kairo. Ia dikenal saleh dan murid Syaikh Utsman, ulama besar Mesir yang tak sembarangan menentukan siapa yang akan menjadi muridnya.
Selama di dalam tahanan, Fahri mengalami penyiksaan dan penistaan seksual. Apalagi, Aisha, sang istri—berdarah campuran Jerman, Turki, dan Palestina—yan-g tengah berbadan dua, nyaris diperkosa polisi yang hendak menyelidiki perkaranya.
Ulama Mesir, pejabat kedutaan In-do-nesia, teman-temannya, dan Mari-a pun berusaha membantunya. Maria- adalah tetangga flatnya, seorang Kris-ten- Koptik yang diam-diam mencin-tainya. M-a-ria, yang sekarat dan ak-hirnya di-ni-ka-hi Fahri, kemudian membebaskan-nya dari tiang gantung-an.
Habiburrahman El Shirazy, 30 tahun, menuliskan kisah itu dalam no-vel Ayat-ayat Cinta. El Shirazy adalah pengarang Semarang yang pernah menimba ilmu di Al-Azhar. Seluruh cerita berlatar kota-kota di Mesir de-ngan penggambaran yang detail. Kepada pembaca, disajikan penjelas-an pa-nasnya tanah Afrika, nik-matnya me-ne-guk tamar hindi, air asam pena-war suhu udara yang mencapai 41 derajat Celsius, hingga pelbagai arsitektur di Mesir.
Namun, cerita yang sudah diba-ngun dengan susah payah itu berakhir de-ngan penyederhanaan masalah. Maria meninggal agar terhindar dari konflik dua istri. Aisha antipoligami. Ia terpaksa mengizinkan suaminya menikah lagi dengan perempuan yang bisa melepaskan suaminya dari tali gantungan. Pasti lebih menarik jika Ma-ria tidak perlu mati dan konflik kehidup-an kisah cinta segi tiga menimbulkan tanda tanya.
Apa pun penyelesaiannya, Ayat-ayat Cinta, yang semula dimuat bersambung di harian Republika, ternyata terjual lebih dari 120 ribu buku. Ini tentu menyenangkan Awod Said, Ma-najer PT Pustaka Abdi Bangsa, penerbit novel El Shirazy. ”Ini novel yang paling membawa berkah,” katanya.
Berkat Ayat-ayat Cinta pula, pe-ner-bit ini lalu mencetak ulang dua ju-dul buku El Shirazy yang sudah p-er-nah diterbitkan Yayasan Basmala: Pudarnya Pesona Cleopatra dan Di Atas Sajadah Cinta. Pudarnya Pesona Cleopatra, yang ditulis sebelum Ayat-ayat Cinta, kini memasuki cetakan kelima. Adapun Di Atas Sajadah Cinta, yang berisi hikayat cerita Nabi Muhammad dan cerita pendek El Shirazy, terjual 26 ribu eksemplar. Trans TV tiap pekan menayangkan cerita ini.
Menurut El Shirazy, inspirasi Ayat-ayat Cinta muncul dari pemaha-m-an Surat Zuhruf ayat 67 bahwa orang yang saling mencintai pada hari a-khir nan-ti akan saling bermusuhan kecuali jika dilandasi takwa. ”Saya i-ngin pembaca mengakrabi cinta yang b-ertanggung jawab di dunia dan a-khirat,” katanya.
Ia tak menduga bukunya bakal men-dulang sukses besar. Semula, El Shirazy hanya berniat menulis untuk para santri dan mahasiswa Indonesia di Mesir. ”Saya berniat menampilkan Islam yang indah,” ucapnya. Dalam komentarnya di novel, sastrawan Ahmad Tohari menyebut novel yang bercerita tentang santri salaf metropolis itu sebagai ”novel pembangun jiwa”.
Novel-novel El Shirazy ini di-nilai memberi alternatif buat pem-baca m-uslim yang mulai bosan dengan chicklit atau teenlit, yang membanjir dalam tiga tahun terakhir. Sebagai pengimbang chicklit dan teenlit itu, misalnya, penerbit Mizan mencetak ulang no-vel Perempuan Impian dan Dalam K-asih Putih karya Motinggo Busye, juga Tak Seindah Mimpi karya pengarang M-alaysia, Syarifah Abu Halim.
Tapi, apakah benar novel El Shiraz-y membangun jiwa? Kritikus sastra da-ri Universitas Indonesia, Ibnu Wah-yu-di, mengatakan pembangun jiwa bi-sa h-adir di semua karya sastra, tak terkecua-li di Ayat-ayat Cinta. ”Itu ha-nya pe-nanda agar dibaca,” katanya.
Kekuatan Ayat-ayat Cinta, kata Ib-nu, terletak pada latarnya yang kuat sehingga pembaca begitu akrab de-ngan daerah itu sekalipun belum pernah ke sana, dan penyajian yang enak dibaca. Ini berbeda dengan novel bernuansa Islami kebanyakan, yang cenderung mengungkapkan dakwah de-ngan bahasa verbal. Hanya, kata Ibnu, ”Pengarang masih terjebak pada cara bertutur yang konvensional.”
Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo