Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kilatan petir membelah lalu-lintas malam hari Jakarta. Da-ri balik kaca yang basah oleh hu-jan, Cut Memey tampak s-e-dang mengetik catatan harian s-ambil ber-urai air mata. Memey sedang berakting sebagai Maya, artis yang meng-ala-mi perlakuan buruk dari suami-nya, Johnny, dalam sinetron Seleb Juga Manusia.
Pada episode lain, model sampul majalah Playboy, Andhara Early, juga sedang mencurahkan perasaan lewat komputer, mengisahkan di-ri-nya sebagai korban keretakan rumah tangga orang tuanya yang perlahan me-niti karier menjadi model. Di babak lain, ada cerita anak Cina-Belanda bernama Angel Lelga yang kemudian menjadi model terkenal dan bercerai dari Bang Haji.
Wajah enam selebriti itu—Angel, Early, Memey, Anisa Bahar, Ria Irawan, dan Jane Shalimar, pada dua ming-gu lalu—telah meng-isi layar Trans TV setiap Ming-gu malam, sejak 4 Juni lalu. Tayangan ini, terutama pa-da tiga episode awal acara Seleb Juga Manusia, telah mengoleksi rating 3,8 per-sen, dengan share penonton dari sembilan kota mencapai 11,3. Sebuah angka lumayan.
Namun, melihat tayangan itu, penonton akan dengan gampang menyamakannya dengan pemberitaan para artis itu sebelumnya pada puluhan infotainment yang sedang menjamur di semua stasiun televisi. Hanya, ini dalam kemasan berbeda: sinetron, dan berkisah dari sisi sang artis.
Pengemasan ke dalam bentuk sinetron, kata Shanker R.S. dari Indi-ka Entertainment, produser acara ini, jus-tru untuk memberi pilihan kepa-da artis yang sering hilang selera meng-hadapi infotainment. ”Ini lebih ha-lus dari kisah infotainment,” kata Shanker.
Tapi, begitu halusnya sampai pe-nu-lis skenario sulit menajamkan cerita. Ia justru tampak bertoleransi pada ke-mauan sang artis sehingga penceritaan menjadi satu sisi. Sudah begitu, kemasan ini tampak ”besar di judul” tapi miskin dalam penyajian. Dialog bertele-tele dan membosankan; gambar yang disajikan tidak berbeda dengan sinetron lain, dan satu lagi: hampir setiap adegan penuh dengan urusan air mata.
Shanker mengatakan kisah dalam sinetron itu didapat sepenuhnya dari artis. ”Terserah mereka mau memberi cerita seperti apa. Kenapa setengah fiksi dan setengah nyata, biarkan penonton berasumsi,” ucapnya.
Deddy Kurniadi, SH, MH, advokat yang biasa menangani masalah hukum di dunia hiburan, menilai siasat produser untuk memfiktifkan kisah pribadi itu bisa mengundang masalah hukum bila dilakukan tak sem-purna. ”Bila masih menyisakan petunjuk bah-wa itu kisah nyata, tayangan itu punya potensi digugat,” ujarnya.
Melibatkan nama lain juga rawan dengan pencemaran nama baik jika tak dilakukan dengan hati-hati. Me-nurut Shanker, bila ada tuntutan dari karakter yang dilibatkan, beban itu tak berada di tangan produser. ”Ibarat percetakan, kami tidak bertanggung jawab. Kan itu versi mereka sendiri,” ujar Shanker santai.
Pernyataan itu mengundang kepri-hatinan Deddy. Menurut dia, izin da-ri selebriti atau pihak ketiga yang disebut bagaimanapun tetap dibu-tuh-kan se-belum kisahnya dieksploitasi da-lam sinetron atau film. ”Selebriti atau karak-ter lain yang terlibat ha-rus mendapat perlindungan privasi. Ia berhak tahu detail cerita lewat skenario agar pro-duser tidak mendramati-sasi,” ucapnya.
Ria Irawan, yang menjadi penulis skenario dan sutradara kisahnya sen-diri, mengaku tetap meminta izin orang lain yang dibawa dalam sinetron itu. ”Saya tidak mau dituduh mengkomersialkan aib sendiri,” ujar Ria. Sementara itu, A-ngel yakin, kisah cintanya dengan Rhoma Irama bukan sebuah aib.
Komersialisasi kisah pri-badi ke dalam sinetron pernah terjadi pada 2004. Erwin, mantan personel grup Dewa, mengajukan keberatan atas penggam-bar-an dirinya dalam sebuah sinetron Dewa yang dita-yangkan di Trans TV. Erwin menilai penggambaran pri-badi-nya itu—gemar memajang gambar porno dan diusir ibunya dari rumah—telah merusak reputasinya.
Deddy menyebut, sebenarnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia telah mengatur soal itu. Pada pasal 6, misalnya, disebutkan isi siaran harus memberi rasa hormat kepada hal priba-di. Dalam pasal 19 dikatakan, lembaga penyiaran wajib menghormati hak privasi, yakni hak atas kehidupan pribadi dan ruang pribadi. Namun, kata Deddy, sanksi hukum atas aturan itu tak cukup jelas.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo