Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertarungan pasukan kera Ha-numan dengan bala raksasa- Rahwana tak terhindarkan. Tapi, jangan bayangkan adegan pertempuran itu bak sebuah sendratari yang disuguhkan dengan gerak gemulai. Yang terjadi adalah gabungan antara koreografi tari kontemporer dan aksi akrobatik. Kostum pemain pun melenceng total dari pakem. Tubuh pa-ra raksasa, misalnya, dihiasi body painting bermotif daun dan bunga.
Bukan hanya soal penampilan.- Ka-dek Suardana, yang menjadi sutradara, juga menggeser fokus cerita kisah klasik ciptaan Walmiki itu. Ia memilih menonjolkan karakter Hanuman dan mengambil tiga babak Ramayana ha-nya sebagai latar cerita. ”Intinya tentang kesetiaan Hanuman,” ujarnya.
Penampilan Arti Foundation de-ngan lakon Satyasih Hanuman, Senin pekan lalu, itu mengakhiri Festival Ra-mayana Internasional, yang digelar di Art Centre, Denpasar, sejak akhir- Juni lalu. Pentas yang menjadi bagian dari Pesta Kesenian Bali ke-28 ini diikuti enam negara: Indonesia, India, Thailand, Kamboja, Singapura, Amerika- Serikat. Indonesia diwakili oleh Pro-vinsi Bali dan Jawa Timur.
Kelompok Singapore Apsara Asia juga mengambil salah satu karakter Ra-mayana hanya untuk menekankan- pesan yang berbeda dalam pentas Seetha Daharam. Adegan yang domi-nan adalah saat Sinta akhirnya memilih terjun ke dalam api karena Ra-ma menolak kehadirannya kembali. Saat itu Rama mempertanyakan ke-sucian Sinta setelah diculik Rahwana.
Pertunjukan Sukesi Swargo dari Ja-wa Timur menjadi cerita paling ber-beda. Alih-alih mengambil kisah cinta Ra-ma dan Sinta itu, sendratari ini menampilkan kisah saat Begawan Wis-ro-wo dan Dewi Sukesi terjebak oleh nafsu berahi yang akhirnya mengha-silkan keturunan bernama Rahwana. Sang anak bersikeras meminang Dewi Sri Widowati yang menjelma di dunia menjadi Sinta dan kemudian menculiknya. Begawan Wisrowo dan Dewi Su-kesi pun- memilih mengasingkan di-ri karena sangat malu atas perbuatan anaknya.
”Lakon ini termasuk lakon carang-an- yang tak ada dalam cerita asli,” ka-ta Prof Dr I Wayan Dibia, pakar tari da-ri Institut Seni Indonesia Denpasar.
Dibia mengatakan, Jawa dan Bali ka-ya dengan berbagai variasi cerita Ra-mayana. Ini berbeda dengan India, yang masih memperlakukan kisah k-las-ik itu sebagai cerita sakral. ”Di sa-na Hanuman adalah seorang Dewa se-hingga gerakan-gerakan ala monyet- yang lincah dan energik harus diku-rangi,” kata Dibia, yang pernah me-narikan Hanuman di India pada 1969.
Penampilan kelompok Chinmaya Yuwak Kendra dari India membenar-kan pernyataan ini. Dalam pentas hampir- dua jam, mereka nyaris hanya memin-dahkan teks Ramayana ke atas panggung. Naskah drama yang ditulis oleh Kamba, seorang penyair Ta-mil, pada abad ke-12, menurut Swami Mitrananda, yang menjadi sutradara, hanya mengandung sedikit perbedaan dengan karya Walmiki. Rahwana pada versi Kamba, misalnya, sama sekali tak menyentuh Sinta. ”Itu keyakinan kami di Tamil untuk menjaga kesucian Sinta. Ini berbeda dengan daerah lain di India,” ucap Swami. Selebihnya, semuanya sama dengan pakem.
Pentas Sruti Youth Ensemble dari Amerika pun berusaha menceritakan- Ramayana secara utuh. Bedanya, ke-lom-pok yang terdiri atas warga India yang tinggal di Amerika itu mengan-dal-kan pembacaan cerita. Tarian yang ditampilkan hanya untuk memberi te-kanan pada cerita yang disampaikan.
Dibia menyayangkan bahwa tak seluruh peserta tampil maksimal. Musik, gerak tari, maupun permainan teater mereka banyak yang kedodoran. Dibia mencontohkan pementasan kelompok dari India, yang terlalu panjang, tanpa fokus, dan lemah dalam dramaturgi. Pertanyaannya, kata Dibia, ”Apakah festival ini sudah menggunakan standar kurasi yang benar?”
Penonton yang hadir pun tak be-nar-be-nar berniat memberikan apre-siasi.- Banyak yang sekadar lewat, dan anak-anak bebas membunyikan main-an.- Se-niman yang pentas juga tak men-dapat kesempatan untuk bertukar pi-kiran. ”Seniman sekadar dipersilakan num-pang pentas,” kata Kadek Suardana.
Kepala Dinas Kebudayaan Bali, N-yoman Nikenaya, koordinator fes-ti-val, me-ngatakan mereka mencari kelompok itu- dengan cara menebarkan in-formasi ke sejumlah negara yang me-miliki tradisi Ramayana melalui kon-sulat mere-ka di Bali dan Jakarta.- Namun, ia me-nga-ku tak menggelar- se-leksi khusus. Tim yang dikirim di-percayakan kepa-da setiap negara pe-serta- bersangkut-an.- ”Maklum, ini ba-ru pertama kali,” ucap Ni-kenaya. Yang harus diingat, ke-lang-sungan sebuah acara besar selalu ber-gan-tung pada suk-sesnya acara perdana.
Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo