Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bali sebagai tema

Peresmian museum neka di ubud, bali, koleksi khusus lukisan bertemakan alam kebudayaan bali. ada lukisan affandi, srihadi, rusli, walter spies, bonnet dan smith. (sr)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BALI ialah ilham. Bagi banyak pelukis, pulau dewata itu seperti tak pernah menjemukan. Ada saja yang memberikan inspirasi -- orang-orangnya, pasarnya, upacaranya, pantainya -- untuk lahirnya sebuah lukisan. Dan kini di Ubud, pusat seni lukis Bali sekarang, berdiri sebuah museum yang khusus memamerkan lukisan bertemakan alam dan kebudayaan Bali. Berangkat dengan hampir 100 lukisan, 7 Juli yang lalu Museum Neka, demikian dinamakan, diresmikan. Menempati tanah sekitar 7.700 m2 di tebing Sungai Campuan, tiga dari lima bangunan bergaya Bali yang ada, dipajangi lukisan-lukisan. Terbagi dalam ruangan berukuran 6 x 6 m, diisi rata-rata 10 lukisan berbagai ukuran. Di bangunan I dipamerkan karya-karya pelukis Bali dan luar Bali (termasuk pelukis asing) yang bermukim di Bali: Agus Djaya Soeminta, Dullah, Antonio Blanco, Han Snel, Theo Meier dan beberapa pelukis muda dari Bali maupun dari luar Bali. Di Bangunan II khusus dipajang karya tiga pelukis asing yang pernah bermukim di Bali dan yang erat hubungannya dengan perkembangan seni lukis Bali: Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Arie Smith. Di Bangunan III dipamerkan karya-karya pelukis Indonesia yang sering melukis di Bali. Di ruang inilah berbagai perhatian dan kesan dari para pelukis Indonesia seperti Affandi, Srihadi, Rusli, Sudjojono, Popo Iskandar terhadap alam dan kebudayaan Bali, bisa dilihat. Affandi yang terkenal dengan lukisan adu ayamnya, Rusli dengan upacara tradisional dan pura-puranya, Srihadi dengan pantai Balinya. Maka Museum Neka yang diselenggarakan oleh Pande Wayan Sutedja Neka, 43 tahun -- seorang pelukis yangkemudian lebih suka menjadi kolektor -- melengkapi Museum Ratna Warta yang sudah duluan ada di Ubud. Yang tersebut terakhir ini, berdiri 1954 khusus mengumpulkan lukisan Bali. Ratna Warta, diprakarsai Bonnet, pelukis Belanda yang lama bermukim di Bali, konon memang dimaksudkan merekam semangat Pita Maha. Perkumpulan pelukis dan pematung Bali yang didirikan Walter Spies, Bonnet, dan Cokorde Gde Agung Sukawati pada 1935 ini menandai lahirnya seni lukis Bali baru. Sebab sejak sekitar pertengahan tahun 1940-an itulah para pelukis Bali merekam kehidupan sehari-hari -- tak hanya melukiskan dunia wayang dan cerita rakyat. Dengan kalimat lain, Museum Neka rupanya lebih teruntukkan bagi mereka yang ingin melihat bagaimana pelukis luar Bali menangkap dan mengungkapkan Bali ke dalam lukisan. Karena di dalam katalogus tak terbaca nama-nama seperti Lempad, Ida Bagus Made, Mangkumura, Sobrat, atau Kobot -- beberapa pelukis Bali yang punya nama besar. TANPA usaha penyeleksian yang ketat, tema kehidupan Bali yang menyatukan koleksi Museum Neka, bisa terasa hambar, tidak penting. Sebuah lukisan wanita telanjang dada menjunjung seonggok padi di kepalanya, misalnya, masuk dalam museum ini, tentulah hanya karena itu wanita Bali. Tapi apakah karena ia telanjang dada, hingga disebut wanita Bali? Kriteria rupanya belum jelas benar. Untunglah ada Bangunan II yang memamerkan karya tiga pelukis asing yang erat kaitannya dengan perkembangan seni lukis Bali. Di ruang inilah bisa disaksikan, seberapa jauh pelukis Bali mendapat ilham dari orang lain. Bagaimana karya-karya Bonnet kemudian mempengaruhi Anak Agung Gde Sobrat, misalnya. Sobrat, pelukis Ubud yang lahir pada 1911, dengan berani melepaskan figur manusia dari alam. Sifat dekoratif lukisan tradisional Bali disisihkannya, tanpa harus kehilangan napas Bali. Adapun pengaruh Walter Spies, memang tak nyata dalam bentuk. Pelukis berdarah Jerman yang mendapat pendidikan di Rusia ini, lebih mempengaruhi pelukis Bali dalam bersikap terhadap alam. Dialah orang pertama yang mengajak seniman Bali melihat ke lingkungan hidupnya, dan bukan ke dunia ritus dan doa-doa saja. Sayang, di Museum Neka karya Walter Spies hanya terpajang sebiji, melukiskan satu pemandangan Bali. Museum baru ini diurus oleh Yayasan Dharma Seni yang diketuai oleh Sutedja sendiri. Pelindungnya Daoed Joesoef, Menteri P&K yang meresmikan dan memberikan sambutan pada pembukaannya yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus