BALI ialah ilham. Bagi banyak pelukis, pulau dewata itu seperti
tak pernah menjemukan. Ada saja yang memberikan inspirasi --
orang-orangnya, pasarnya, upacaranya, pantainya -- untuk
lahirnya sebuah lukisan. Dan kini di Ubud, pusat seni lukis Bali
sekarang, berdiri sebuah museum yang khusus memamerkan lukisan
bertemakan alam dan kebudayaan Bali.
Berangkat dengan hampir 100 lukisan, 7 Juli yang lalu Museum
Neka, demikian dinamakan, diresmikan. Menempati tanah sekitar
7.700 m2 di tebing Sungai Campuan, tiga dari lima bangunan bergaya
Bali yang ada, dipajangi lukisan-lukisan. Terbagi dalam ruangan
berukuran 6 x 6 m, diisi rata-rata 10 lukisan berbagai ukuran.
Di bangunan I dipamerkan karya-karya pelukis Bali dan luar Bali
(termasuk pelukis asing) yang bermukim di Bali: Agus Djaya
Soeminta, Dullah, Antonio Blanco, Han Snel, Theo Meier dan
beberapa pelukis muda dari Bali maupun dari luar Bali. Di
Bangunan II khusus dipajang karya tiga pelukis asing yang pernah
bermukim di Bali dan yang erat hubungannya dengan perkembangan
seni lukis Bali: Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Arie Smith.
Di Bangunan III dipamerkan karya-karya pelukis Indonesia yang
sering melukis di Bali. Di ruang inilah berbagai perhatian dan
kesan dari para pelukis Indonesia seperti Affandi, Srihadi,
Rusli, Sudjojono, Popo Iskandar terhadap alam dan kebudayaan
Bali, bisa dilihat. Affandi yang terkenal dengan lukisan adu
ayamnya, Rusli dengan upacara tradisional dan pura-puranya,
Srihadi dengan pantai Balinya.
Maka Museum Neka yang diselenggarakan oleh Pande Wayan Sutedja
Neka, 43 tahun -- seorang pelukis yangkemudian lebih suka
menjadi kolektor -- melengkapi Museum Ratna Warta yang sudah
duluan ada di Ubud. Yang tersebut terakhir ini, berdiri 1954
khusus mengumpulkan lukisan Bali. Ratna Warta, diprakarsai
Bonnet, pelukis Belanda yang lama bermukim di Bali, konon memang
dimaksudkan merekam semangat Pita Maha. Perkumpulan pelukis dan
pematung Bali yang didirikan Walter Spies, Bonnet, dan Cokorde
Gde Agung Sukawati pada 1935 ini menandai lahirnya seni lukis
Bali baru. Sebab sejak sekitar pertengahan tahun 1940-an itulah
para pelukis Bali merekam kehidupan sehari-hari -- tak hanya
melukiskan dunia wayang dan cerita rakyat.
Dengan kalimat lain, Museum Neka rupanya lebih teruntukkan bagi
mereka yang ingin melihat bagaimana pelukis luar Bali menangkap
dan mengungkapkan Bali ke dalam lukisan. Karena di dalam
katalogus tak terbaca nama-nama seperti Lempad, Ida Bagus Made,
Mangkumura, Sobrat, atau Kobot -- beberapa pelukis Bali yang
punya nama besar.
TANPA usaha penyeleksian yang ketat, tema kehidupan Bali yang
menyatukan koleksi Museum Neka, bisa terasa hambar, tidak
penting. Sebuah lukisan wanita telanjang dada menjunjung
seonggok padi di kepalanya, misalnya, masuk dalam museum ini,
tentulah hanya karena itu wanita Bali. Tapi apakah karena ia
telanjang dada, hingga disebut wanita Bali? Kriteria rupanya
belum jelas benar.
Untunglah ada Bangunan II yang memamerkan karya tiga pelukis
asing yang erat kaitannya dengan perkembangan seni lukis Bali.
Di ruang inilah bisa disaksikan, seberapa jauh pelukis Bali
mendapat ilham dari orang lain. Bagaimana karya-karya Bonnet
kemudian mempengaruhi Anak Agung Gde Sobrat, misalnya. Sobrat,
pelukis Ubud yang lahir pada 1911, dengan berani melepaskan
figur manusia dari alam. Sifat dekoratif lukisan tradisional
Bali disisihkannya, tanpa harus kehilangan napas Bali.
Adapun pengaruh Walter Spies, memang tak nyata dalam bentuk.
Pelukis berdarah Jerman yang mendapat pendidikan di Rusia ini,
lebih mempengaruhi pelukis Bali dalam bersikap terhadap alam.
Dialah orang pertama yang mengajak seniman Bali melihat ke
lingkungan hidupnya, dan bukan ke dunia ritus dan doa-doa saja.
Sayang, di Museum Neka karya Walter Spies hanya terpajang
sebiji, melukiskan satu pemandangan Bali.
Museum baru ini diurus oleh Yayasan Dharma Seni yang diketuai
oleh Sutedja sendiri. Pelindungnya Daoed Joesoef, Menteri P&K
yang meresmikan dan memberikan sambutan pada pembukaannya yang
lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini