PENGGUNAAN Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) berlaku secara resmi sejak 17 Agustus 1972. Selama ini media massa merasa, penggunaan EYD itu sudah benar. Tapi ternyata, berdasarkan penelitian Drs Sarwadi dkk dari FKSS (Fakultas Keguruan Sastra dan Seni) IKIP Yogyakarta, kebanyakan surat kabar belum sepenuhnya mengikuti ketentuan itu. Dengan mengambil sampel penerbitan Kompas, Suara Karya (keduanya terbit di Jakarta), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Surabaya Post (Surabaya), Pedoman Rakyat (Ujungpandang) dan Sinar Indonesia Baru (Medan), Sarwadi dkk meneliti pelaksanaan EYD itu dalam dunia persuratkabaran di berbagai wilayah Indonesia. Tim peneliti berlangganan semua koran itu selama dua bulan. Dengan biaya Rp 1 juta dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (DPPM), Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen P dan K, proyek penelitian ini bekerja setahun penuh sejak Juli 1980. Hasilnya? Koran-koran itu masih menulis EYD secara salah. Misalnya ada koran menulis: Jerusalem, doeloe. Seharusnya ditulis Yerusalem, dulu. Atau menggunakan tanda "&" untuk mengganti kata dan. Misalnya: bahan bakar & pelumas, kucing & anjing, gembira & bangga. Itu seharusnya ditulis: bahan bakar dan pelumas, kucing dan anjing, gembira dan bangga. Ada pula penulisan unsur serapan yang kurang tepat, misalnya: Nopember, ex Trikora, tehnik. Seharusnya: November, eks Trikora, teknik. Atau koran misalnya, menulis Ir. AR Soehoed, Solichin GP, padahal seharusnya Ir. A. R. Soehoed, Solichin G.P. Juga banyak yang menulis lambang bilangan yang menyatakan ribuan tanpa tanda titik. Misalnya: 7000 orang, 1990 pucuk pistol, 2646 mahasiswa. Seharusnya: 7.000 orang, 1.990 pucuk pistol, 2.646 mahasiswa. Kesalahan itu dikelompokkan tim peneliti jadi 31 kategori sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sejak huruf sampai dengan apostrop. Sedang ragam isi yang diteliti, yang terdapat di enam surat kabar itu, yakni: tajuk, berita, artikel, pojok dan pikiran pembaca. Jadi tak semua berita diteliti, agar tak ada perbedaan antara satu surat kabar dengan yang lain. Tapi halaman satu seluruhnya diteliti. Oleh karena Suara Karya tak punya pojok, maka diteliti teks pada kartun "Mat Karyo". Akhirnya terungkap frekuensi terbesar dari kategori kesalahan ialah pada penggunaan Tanda Titik (6.075), sedang yang terkecil kesalahan ialah pada penggunaan Tanda Kurung Biasa (7). Secara umum dari 31 kategori tadi, kesalahan yang menonjol ialah pada Tanda Titik tadi, menyusul Kata Ulang (4.210), Angka dan Lambang Bilangan (3.732), dan kesalahan Huruf Kapital (3.344). Drs. Sarwadi, Ketua Tim Penelitian itu, mengatakan bahwa bila tata tulis oleh surat kabar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masyarakat akan lebih memahami ketentuan-ketentuan yang ada. Dengan begitu, katanya, "akan ada keseragaman penafsiran." Itu berarti "memudahkan komunikasi dan tidak menimbulkan salah pengertian atau salah paham." Memang koran agak semberono, misalnya, menulis Nyonya Soeharno SH. Menurut ketentuan, antara nama diri dan gelar harus diberi tanda koma. Sedang bila bukan gelar, tak perlu koma. Nah, bila ditulis tanpa koma padahal maksudnya gelar, itu mungkin menimbulkan salah paham. Menurut tim peneliti, SH itu bisa diartikan Sastro Hadimodjo. Tapi apa sebab terjadi kesalahan? " Ada beberapa faktor," begitu kesimpulan tim. Sedikitnya dua faktor ditonjolkan: adanya kekurangpahaman para pemakai bahasa tulis/para penulis terhadap ketentuan tata tulis seperti tercantum dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. adanya prinsip ekonomisasi penulisan dalam dunia persuratkabaran yang kadang-kadang atau bahkan sering mengorbankan ketentuan-ketentuan tata tulis yang benar. "Kami mengharapkan agar semua aparatur persuratkabaran benar-benar memahami dan mengamalkan ketentuan tata tulis yang ada," kata Sarwadi. Khusus mengenai prinsip ekonomisasi penulisan, timnya menyarankan, "hendaknya tidak terlalu kaku. Kalau ekonomisasi ternyata bertentangan dengan ketentuan tata tulis, hendaknya dipertimbangkan masak-masak atau kalau mungkin dihindari." Bagaimana komentar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa? "Terus terang kami belum mendengarnya," tutur A. Latief, Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Pembinaan Bahasa, Dep. P dan K. Tapi dia menyatakan penghargaan atas setiap usaha penelitian mengenai EYD, "siapa pun yang melakukannya." Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan Pusat Pengembangan dan Penelitian Bahasa (P3B). Bahkan, kata Latief cakupannya lebih luas, karena mengenai pemakaian bahasa yang tak semata-mata penggunaan ejaan. Itu berlangsung tahun 1977 dengan sampel sejumlah surat kabar dan majalah di Indonesia. "Tapi sampelnya hanya surat kabar beroplah besar saja," katanya. Sayang laporan hasil penelitian itu kini tak tentu rimbanya. "Bahkan di perpustakaan P3B juga tak ada," kata Latief.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini