DUA belas baliho terpampang di dinding yang mengapit pintu masuk ke ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta. Sebelas di antaranya berisi lukisan potret 11 tokoh yang belakangan ini disebut-sebut sebagai calon presiden. Satu baliho lainnya dibiarkan kosong. Ada potret Megawati, Amien Rais, Akbar Tandjung, Hamzah Haz, Surya Paloh, dan lainnya. Semua karya pelukis poster Muhajirin, semua terkesan resmi dengan tampilan jas, dasi, kopiah, dan Bendera Merah Putih.
Biennale Yogyakarta VII yang dibuka Jumat dua pekan lalu di Taman Budaya itu rupanya menyimpan parodi. Sekitar tujuh meter dari karya ini ada tumpukan sampah di dekat dinding yang menebar bau busuk. Di dinding terbentang proyeksi tayangan video yang merekam secara langsung keramaian pasar sayur Sriwedani yang letaknya persis di depan gedung Taman Budaya itu. Penonton seolah dibawa dalam pengalaman visual di pasar, lengkap dengan aroma bau sampahnya. Jejeran potret calon presiden itu berjudul Surat Cinta untuk Calon Presiden, menyertakan harapan banyak orang terhadap tokoh yang ada di baliho. Tapi di seberangnya ada kehidupan nyata di tengah pasar, berbau busuk. Karya kelompok perupa Slilit Gabah ini bertajuk Seniman Wong Biasa Wae. Pengunjung pun bebas memberikan makna.
Soal makna personal maupun makna kolektif inilah yang membungkus karya 31 perupa dalam Biennale Yogyakarta VII, yang kali ini menyandang judul "Countrybution". Perupa asal Belanda yang lama menetap di Yogya, Mella Jaarsma, rela selama dua jam berbaring di atas lantai berselimut pakaian yang ia buat dari jalinan lempengan tanduk kerbau.
Di sudut lain perupa S. Teddy D. sangat kuat memunculkan makna tentang fenomena global berlakon "perang terhadap terorisme" lewat karya instalasinya bertajuk Demokrasi: Jangan Disentuh Tak Terkecuali Seniman. Karya ini tak cuma secara fisik membangun makna lewat citraan tembok yang membatasi secara tegas sikap yang berhadapan secara konfrontatif. Tapi juga membangun ilusi visual penonton ketika tembok yang terbuat dari materi kaleng aspal ini seolah menembus dinding ruang pamer.
Perupa yang sudah punya kelas, semacam Anusapati, Heri Dono, Agus Suwage, tetap berkutat dengan mengolah material dan bahasa ungkap yang selama ini mereka geluti. Anusapati, yang biasa menggunakan material kayu berbentuk benda fungsional dalam masyarakat tradisi, dalam pameran ini menjalin potongan pendek kayu bakar dengan tali tambang membentuk roda raksasa. Atau Heri Dono yang tak habis-habisnya mengolah pernik elemen elektronik untuk menimbulkan citra bergerak pada karyanya, Sumur Art. Sedangkan Agus Suwage tetap mempertontonkan keterampilannya menggambar lewat karya Moral Skin Fables, tapi kali ini ia bereksperimen dengan kulit kambing.
Perupa yang lebih muda, Hanura Hosea, yang kini bermukim di Jerman, masih berkutat dengan idiom berupa figur bertubuh tambun. Cuma kali ini ia bereksperimen dengan film animasi untuk memberikan makna tentang cara berkisah secara filmis. Karya film animasinya berjudul Movement hanya berdurasi 55 detik yang diputar berulang ulang. Sedangkan Bunga Jeruk kembali menyajikan kebiasaannya mengangkat kegenitan budaya konsumerisme yang menyedot perhatian dengan warna serba merah pada karya instalasinya, Sitting Pretty.
Di tengah karya perupa yang sudah begitu dikenal karakter bahasa ungkapnya, perupa Ugo Untoro mengejutkan dengan karya yang selalu menghasilkan ekspresi yang berbeda. Kali ini ia mengungkap makna personal hubungan berjarak antara ayah dan anaknya lewat bentuk mobil berbadan lebar dari bahan resin.
Yang menarik pada pameran ini kurator menyertakan kelompok perupa, yang menggejala dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta. Sejumlah perupa di Yogyakarta membuat kelompok berdasarkan etnisitas, ideologi berkesenian, dan belakangan berdasarkan kecenderungan bahasa ungkap. Setelah muncul Apotik Komik dan Taring Padi pada akhir tahun 90-an, kini muncul kelompok komik Daging Tumbuh yang melahirkan tokohnya, Eko Nugroho. Kelompok Daging Tumbuh menggarap komik dengan cara bercerita yang tidak konvensional. Dalam bienial ini mereka menampilkan karya film animasi dengan idiom komik.
Dalam konsep kuratorialnya, Hendro Wiyanto menjabarkan label "Countrybution" sebagai kerangka untuk memberikan konteks sosial mutakhir dalam membaca praktek seni rupa dan peran seniman yang majemuk di Yogyakarta belakangan ini. Bagi Hendro, kata countrybution, pelesetan dari kata contribution, bukan kumpulan praktek seni rupa yang memberikan kontribusi pada masyarakat. "Justru countrybution ibarat karpet tempat seniman berdiri dan merasakan kegoyahan peran mereka di masyarakat," kata Hendro, yang juga dikenal sebagai penulis seni rupa.
Penonton pun terkecoh dengan label itu, yang dianggap hanya gagah-gagahan. Seniman lain yang tak terjaring oleh tim seleksi pun berteriak tentang kriteria penjaringan peserta. "Pemilihan, seleksi, atau kurasi Hendro Wiyanto tak bijaksana," tulis pelukis Yuswantoro Adi dalam buletin Berita Countrybution, yang sengaja diterbitkan untuk bienial ini. Yuswantoro, pemenang hadiah utama Philip Morris Art Award, mempertanyakan munculnya nama perupa yang belum dikenal bersanding dengan nama besar semacam Heri Dono dan Dadang Christanto dalam bienial ini.
Pertanyaan yang lebih mendasar juga muncul karena konsep kuratorial tak jelas maunya. "Apa yang membedakan bienial ini dengan pameran lain yang juga menggunakan kurasi?" ujar Saut Situmorang, seorang penyair, dalam diskusi yang berlangsung pada 18 Oktober lalu. Hendro Wiyanto tak memberikan jawaban yang jelas. "Memang sering apa yang dipikirkan kurator dengan apa yang ada dalam ruang pameran berjarak," tuturnya.
Lepas dari konsep kuratorial yang kabur, Biennale Yogyakarta VII pantas memperoleh apresiasi. Inilah satu-satunya pameran berkala di Indonesia yang masih bernapas. Biennale Jakarta sudah lama tak terdengar sejak Biennale XI Jakarta pada 1998. Bali hanya sempat menyelenggarakan sekali Triennale I Seni Lukis Indonesia pada 16 Desember 1987. Setelah itu senyap. Di Bandung sempat muncul Biennale Seni Rupa dalam Bandung Art Event pada Agustus 2001, tapi hingga sekarang juga tak terdengar.
Biennale Yogyakarta bukan tak bermasalah. Pameran ini seharusnya berlangsung pada 2001 setelah penyelenggaraan Biennale Yogyakarta VI yang dikurasi oleh Asmujo Jono Irianto, dosen seni rupa ITB, pada Februari 1999. Tapi, karena Taman Budaya Yogyakarta, penyelenggara resmi Biennale Yogyakarta, kesulitan dana, penyelenggaraannya molor hingga 2003. Maklum, Taman Budaya Yogyakarta hanya bisa menganggarkan dana Rp 10 juta, yang tentu tak mampu menutup biaya penyelenggaraan.
Bienial kali ini bisa berlangsung setelah Taman Budaya Yogyakarta bekerja sama dengan Antena Project, organisasi kesenian nirlaba yang dikelola perupa Entang Wiharso. "Prioritas pemerintah kan memang tidak pada dunia kesenian," kata Entang.
Maka, Entang bersama kelompok kecil Antena Project melakukan restrukturisasi bienial dengan memperbarui manajemen dan mencarikan dana dari pihak ketiga. Walhasil, Antena Project mampu menggalang dana dari sponsor sekitar Rp 100 juta, termasuk dana dari Taman Budaya Yogyakarta. "Kami berharap dengan cara ini ada jaminan bienial berikutnya bisa berlangsung," katanya.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini