Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSEUM itu bukan bangunan kuno. Museum Art Retreat mirip kantor: jendela kaca, tiang beton yang kukuh, pintu otomatis di lobi. Tadinya gedung di Ubi Industrial Estate, Singapura, ini berfungsi sebagai gudang. Tapi pengusaha properti Cahyadi Kumala, 51 tahun, menyulapnya menjadi museum seni lukis.
Inilah pertama kalinya seorang kolektor seni lukis mendirikan museum pribadi di Singapura, museum yang dibuka 12 Oktober lalu. Menteri Perhubungan, Pos, dan Telekomunikasi, Agum Gumelar, dengan suka hati terbang dari Jakarta untuk meresmikannya. Ia datang sebagai teman dekat Cahyadi. "Saya bangga, yang memiliki (museum ini) orang kita, Pak Cahyadi," katanya.
Cahyadi memilih pelukis kondang asal Cina, Wu Guanzhong, 84 tahun, sebagai acara pembuka museumnya. Wu menyumbangkan dua karya lukisnya untuk museum milik Cahyadi, yang dilelang sehari sebelum pembukaan museum oleh balai lelang Sotheby's Singapore. Itulah karya Guanzhong termahal: masing-masing S$ 350.400 (Rp 1,5 miliar).
Ada 27 karya Guanzhong dengan teknik tinta di atas kertas di ruang pamer di lantai satu seluas 600 meter persegi itu. Sebagian bercorak abstrak, sebagian impresionis, menggambarkan lanskap di Eropa dan di Cina. Di lantai lima di ruang seluas 300 meter persegi, Cahyadi memajang 39 karya cat minyak Guanzhong. Sebagian besar koleksi pribadi. Karya Wu Guanzhong sengaja dipilih karena dia terkenal di Singapura, Hong Kong, Jepang, dan Indonesia.
Cahyadi, biasa disapa dengan Kwee Swie Teng, bukanlah kolektor kemarin sore. Ia mulai mengoleksi lukisan sejak 15 tahun silam. Pada 1985, saat menanti giliran potong rambut, ia iseng masuk ke Galeri Shanti di pusat pertokoan Duta Merlin, Jakarta. Ia tertarik dan membeli enam lukisan masing-masing seharga Rp 80 juta. Saat itu Cahyadi masih buta dalam soal lukisan.
Kini, dalam setahun ia bisa belanja sampai sekitar 100 lukisan dari galeri dan balai lelang di Singapura, Hong Kong, maupun di Eropa. Saat ini ia memiliki sekitar 1.500 karya lukis Cina, karya seniman Asia Tenggara, dan karya pelukis terkenal Eropa pada abad ke-19. Ada Amedeo Modiglani, Jean Baptiste Corot, Karrel Appel, atau maestro Indonesia semisal Raden Saleh Berburu Harimau, karya lukis Affandi, Basuki Abdullah, juga karya pelukis Eropa yang menetap di Bali semacam Walter Spies, Le Mayeur, dan Rudolf Bonet.
Ia cukup kerepotan merawat koleksinya yang tersebar di rumahnya di Jakarta dan Singapura. Tapi setahun silam seorang pejabat Singapore Art Museum menyodorkan jalan keluar. Ia minta Cahyadi membuka museum. Tak cuma itu, mereka juga bersedia membantu Cahyadi menyiapkan sistem pengelolaan museum.
Cahyadi setuju. Ia merenovasi empat unit gudang seharga S$ 200 ribu (sekitar Rp 860 juta) di Ubi Industrial Estate, yang semula dibeli untuk menyimpan karya lukis hasil lelang di Singapura, Hong Kong, dan Eropa. Kamera monitor dipasang di setiap sudut ruang pamer, kunci elektronik dengan nomor kombinasi di depan pintu, bahkan?sebentar lagi?alarm di belakang setiap lukisan yang dihubungkan dengan kantor polisi Singapura.
Kerja sama diteken. Singapore Art Museum menciptakan sistem, melatih enam staf Museum Art Retreat. Enam bulan pertama Singapore Art Museum membantu membiayai pameran, sedangkan Singapore Tourist Board membantu mencetak brosur. Sasarannya turis asing. Berkat Singapore Art Museum pula Cahyadi bisa mempekerjakan enam warga negara Indonesia dan hanya dua warga Singapura di museumnya. Padahal Singapura mewajibkan orang asing yang membuka usaha harus mempekerjakan 70 persen warga Singapura.
Art Retreat diperkirakan akan menghabiskan dana operasional S$ 20 ribu (sekitar Rp 86 juta) per bulan. Menurut Cahyadi, berdasarkan kalkulasi Singapore Art Museum, dalam dua tahun ia bisa lepas tangan. Art Retreat bisa berjalan dari penjualan tiket masuk dan sponsor. Setelah itu tibalah waktunya Cahyadi membuka museum kedua di Bali.
Dukungan pemerintah Singapura lewat Singapore Art Museum mengundang pujian Amir Sidharta, kurator dan pengamat seni rupa. "Hal ini menunjukkan pemerintah Singapura menghadapi upaya swasta secara positif, karena mereka tahu kepentingan swasta merupakan kepentingan negara juga," ujar Amir. Sebaliknya, menurut Amir, di Indonesia upaya swasta mengembangkan seni dan budaya sering menghadapi kecurigaan pemerintah dan swasta lain.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo