Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesan Para Sahabat Tentang Widjojo Nitisastro Editor: Moh. Arsjad Anwar, Aris Ananta, dan Ari Kuncoro Penerbit: PT Kompas Media Nusantara, 2007 Tebal: xiv + 526 halaman
SATU ketika sastrawan V.S. Naipaul menulis: pada fiksi kebenaran hidup sang penulis muncul, pada biografi justru kebohongannya yang tampil ke permukaan. Buku Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro yang beredar bulan lalu jelas bukan sebuah karya fiksi, dan ”untungnya” juga bukan biografi.
Lebih dari 500 halaman buku ini adalah serpihan ingatan dan kesan dari 55 orang tentang Bung Wi, panggilan dari sahabat-sahabatnya tentang salah seorang pemikir dan konseptor pembangunan ekonomi terpenting yang dimiliki Indonesia. Selama 16 tahun (1967-1983), ia menjadi Ketua Bappenas, di mana 10 tahun terakhir dari periode itu dirangkapnya juga jabatan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Maka pelbagai kenangan meluncur deras dari segala era, tentang kiprah anak Malang yang diangkat sebagai guru besar Fakultas Ekonomi UI saat berumur 34 tahun, pada 1962.
Mantan Menteri Keuangan Ali Wardhana, yang akrab dengan Bung Wi lebih dari 45 tahun, ingat satu peristiwa saat mereka sama-sama masih menjadi mahasiswa di Universitas California, Berkeley. Satu hari sebelum tenggat penyerahan makalah sebuah tugas kuliah, Bung Wi masih juga belum menyerahkan tugas itu. ”Belum pernah saya membuat paper sesulit itu,” tutur Ali Wardhana, yang sampai pukul 11 malam itu melihat Bung Wi masih berada di perpustakaan kampus. Namun, begitu nilai tugas diumumkan beberapa saat kemudian, Ali terkejut luar biasa karena sang profesor bertanya di depan kelas, ”Apakah Saudara Widjojo Nitisastro keberatan kalau paper miliknya dimuat salah satu majalah ekonomi Amerika?”
Bekas Menteri Pertambangan Moh Sadli menyebut rekannya itu bertabiat ”seperti seekor bull dog atau terrier yang never let go.” (hlm. 26) jika sudah menyangkut sebuah tujuan yang dianggapnya penting. Adapun Subroto, yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal OPEC (1988-1994), menyamakannya dengan Begawan Abiyasa, seorang resi yang lebih mengutamakan penerapan ilmu dengan cara yang tidak konfrontatif, tetapi gigih dan tidak lekas menyerah. Seorang ilmuwan yang lebih senang bekerja dalam suasana tenang tanpa publisitas yang rame-rame.
Ketiga penyunting buku ini bekerja dengan cermat sehingga semakin jauh halaman disibak, semakin dalam pembaca mengetahui laku sehari-hari sang Begawan yang sangat teratur me-rencanakan seluruh aspek hidupnya secara terperinci, termasuk untuk selalu membawa buku setebal bantal tentang jadwal penerbangan pesawat di seluruh dunia, ketika sistem reservasi penerbangan belum mengenal komputerisasi (diceritakan dengan menarik oleh F. Rezy Almatsier di hlm. 511).
Uniknya, buku ini memiliki ”saudara kembar” dalam versi bahasa Inggris yang diberi judul Tributes for Widjojo Nitisastro by Friends from 27 Foreign Countries, yang di-edarkan secara bersamaan. Di antara 71 komentar dari tokoh-tokoh internasional itu tercantum pendapat Perdana Menteri India Dr. Manmohan Singh, yang menyebutnya ”sebagai figur legendaris di Asia”. Sedangkan mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere menyatakan, ”Saya berharap ada lebih banyak Widjojo di Selatan.”
Semula kumpulan komentar itu diterbitkan pada 1997, berkaitan dengan ulang tahun ke-70 Sang Begawan yang jatuh pada 23 September. Keterlambatan penerbitan sampai 10 tahun ini menyebabkan 14 dari 55 penulis dalam versi bahasa Indonesia sudah meninggal dunia. Soal lain, karena yang menulis adalah teman-teman baik, tentu saja kita tak melihat sebuah kalimat pun—apalagi separagraf—sentilan atau pertanyaan tentang keputusan-keputusan hidupnya. Jika kita menengok ke belakang, kita tentu masih bertanya mengapa sang Begawan tak lagi menjabat menteri pada saat-saat yang masih sangat produktif.
Untunglah, pilihan Widjojo untuk tidak memaparkan kisah hidupnya dalam format biografi—belakangan menjadi kegemaran baru sejumlah figur publik di negeri ini—memang membuat buku ini terbebas dari klise yang dikhawatirkan Naipaul. Namun, harus diakui, masih ada yang tak lengkap menulis sang Begawan (yang juga manusia) dari segala sisi. Maklum, yang menulis kesan adalah para sahabat.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo