Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu 24 Maret lalu menjadi ujian pertama bagi Indonesia. Hari itu Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan sesuatu yang besar: nasib pengembangan (pengayaan uranium) nuklir Iran. Melalui voting, resolusi 1747 disetujui—15 anggota Dewan setuju, ter-masuk Indonesia.
Tentu saja Iran kecewa karena sejak Mei tahun lalu mereka sudah getol melobi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mulai dari Presiden Ahmadinejad, Menteri Luar Negeri Manoucher Mottaki, dan pejabat tinggi Iran yang lain datang ke Jakarta meminta dukungan bagi pengembangan teknologi nuklir Iran yang diakuinya untuk tujuan damai.
Di dalam negeri, kekecewaan juga mengemuka. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan hak interpelasi—bagi kita, itulah interpelasi pertama menyangkut masalah internasional. Senin pekan lalu, Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda menerima Faisal Assegaf, Akmal Nasery Basral, dan fotografer Santirta dari Tempo di ruang kerjanya, Gedung Pancasila, Jalan Pejambon 6, Jakarta Pusat.
Ia tampak santai dengan kemeja panjang abu-abu dipadu celana, sepatu, dan kaus kaki hitam. Berikut petikan wawancaranya:
Ada tudingan, dukungan Indonesia terhadap resolusi 1747 melanggar konstitusi. Bagaimana pendapat Anda?
Bukan tuduhan baru, sebab ketika saya rapat kerja dengan Komisi I (bidang pertahanan dan luar negeri) Jumat malam, juga dilontarkan. Jawaban saya, justru mempertanyakan kembali bagi-an mana dari Undang-Undang Dasar (yang dilanggar).
Ternyata dalam perdebatan dan diskusi di Komisi I tidak ada yang menjawab. Pelanggaran yang dimaksud, rekaan saya, adalah alinea keempat pembukaan UUD yang berbunyi ”ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Rumusan yang sangat umum. Saya kira pidato Presiden dalam peringatan Maulid (Nabi Muhammad) sangat jelas menunjukkan konsistensi kita terhadap upaya-upaya ikut serta menciptakan ketertiban dunia. Ini yang kita lakukan dalam kaitan dengan Libanon, Palestina, dan Irak. Rujukan umum bisa saja, tapi harus disertai argumen yang jelas. Memang, saya dengar dari Pak Abdillah Toha juga dalam foreign policy breakfast, Selasa pekan lalu, ia menyebut pelanggaran itu berdasarkan Pasal 28c berkaitan dengan hak asasi manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, mengembangkan teknologi, dan sebagainya. Perlu diingat, pasal itu berkaitan dengan hak asasi manusia Indonesia dan sebagai konstitusi tidak berlaku terhadap Iran.
Kalau kita ambil posisi abstain, apa risikonya?
Dalam memilih posisi, tentu, dengan berbagai kalkulasi. Satu hal adalah penilaian terhadap resolusi itu sendiri. Banyak orang mengatakan resolusi 1747 mengenai sanksi, tapi sebagian lain dalam konteks keseluruhan resolusi berbicara tentang keutamaan pada proses damai. Upaya perlunya penyelesaian masalah nuklir Iran ini melalui perundingan, se-suatu yang kita tidak bisa abstain. Kepada Iran pun sebagai negara sahabat kita katakan lebih baik tarik. Tidak ada prasyarat. Justru dalam resolusi sangat jelas: kalau Anda menangguhkan pengayaan uranium besok, maka Dewan Keamanan PBB juga akan menangguhkan diskusi mengenai Iran di Dewan Keamanan (principle of suspend to suspend). Jika Anda menghentikan pengayaan uranium lusa, lusa itu pula segala efek resolusi Dewan akan berhenti (principle of terminate to terminate).
Kita mendukung lantaran empat poin usulan amendemen kita diterima?
Antara lain. Dengan usulan amendemen yang kita ajukan, kita berupaya membuat resolusi lebih berimbang. Tidak mudah membuat empat usulan kita diterima, termasuk mengenai zona bebas nuklir. Mereka bertahan sampai menit-menit terakhir pada Jumat sore. Suatu perjuangan yang ternyata berhasil. Ditambah elemen pokok resolusi yang berkaitan dengan upaya damai itu sendiri. Ada elemen sanksi yang oleh Afrika Selatan dikecilkan sedemikian rupa agar hanya terfokus dan tidak melebar ke mana-mana. Sanksi yang ditujukan kepada entitas, badan, atau perorangan yang terkait dengan isu nuklir.
Mungkin Iran merasa tidak adil karena zona bebas nuklir itu tidak menyebut Israel secara eksplisit?
Sebetulnya semua pihak tahu. Yang menghendaki lebih eksplisit adalah Qatar yang menginginkan zona bebas nuklir di Timur Tengah itu mencakup Israel. Tapi, tanpa disebut pun, negara Arab menyalami kita dan mengucapkan terima kasih, karena dalam jargon secara keseluruhan di Timur Tengah, itu (Israel) yang dimaksudkan.
Tapi di dalam negeri, jumlah pendukung interpelasi bertambah setelah Anda memberi penjelasan?
Jangan lupa, Komisi I yang hadir mungkin 30 dari sekitar 500 anggota DPR. Dengan kata lain, penjelasannya terbatas pada Komisi I. Tidak semua anggota Komisi I hadir; yang mendukung pemerintah tidak hadir. Tidak betul juga saya menjelaskan kepada semua anggota DPR. Dan yang sudah punya prekonsepsi tentang masalah ini, tampaknya mau dijelaskan. Seratus kali juga mereka tetap pada pikirannya. Saya sangat terbuka mendiskusikan masalah ini lebih mendalam. Ketika saya diberikan 20 menit untuk merespons pertanyaan 24 anggota yang mereka habis kan tiga jam, saya menuntut tiga jam juga. Saya gunakan tiga jam atau tidak itu urusan saya, tergantung keperluannya. Bahkan saya katakan saya siap berdiskusi sampai jam lima pagi.
Sebetulnya apa yang terjadi dalam pertemuan Afrika Selatan-Iran-Inggris?
Detailnya sudah mulai kita dengar saat Presiden berbicara dengan Presiden Afrika Selatan Tabo Mbeki melalui telepon, bahwa akan ada sikap positif dari Iran untuk mencegah pembahasan nuklir Iran di Dewan Keamanan. Ditafsirkan sebagai kemungkinan keputusan Iran menangguhkan pengayaan uranium. Kalau itu yang terjadi, kita sambut baik. Karena itu, Presiden Mbeki mengatakan, Dubes Afrika Selatan di PBB yang notabene Ketua Sidang Dewan Keamanan selama bulan ini akan memanggil Iran. Tapi, ternyata tidak....
Selama kunjungan para pejabat tinggi Iran, Indonesia kan selalu mendukung program nuklir damai Iran?
Saya tidak di Jakarta ketika menyatakan hal itu. Ketika saya berkunjung ke Iran, Februari tahun lalu, saya katakan bahwa kita sepenuhnya mendukung pengembangan teknologi nuklir Iran untuk tujuan damai. Bahkan saya mengatakan bukan seratus persen, 150 persen kalau perlu. Karena itu, hak kita juga, hak negara-negara anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT). Apa yang salah dalam pernyataan kita itu. Bahkan dalam NPT juga disebutkan hak mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai adalah hak yang tidak bisa dikesampingkan, hak dasar. Justru dalam resolusi 1747 itu kita ingin tegaskan hak Iran untuk tujuan damai. Untuk itu harus ada proses yang transparan.
Seperti apa, misalnya?
Kerja sama dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) secara terbuka sehingga laporan itu diteliti, diinspeksi, dan sebagainya. Transparansi ini yang tidak ada. Yang dipersoalkan selama ini, menurut laporan IAEA pada November tahun lalu, kegiatan nuklir Iran selama 20 tahun tidak transparan. Karena itu menimbulkan kecurigaan. Itu bukan soal Amerika atau siapa pun; 188 negara terikat pada NPT. Ketika Ahmadinejad datang ke Jakarta, Mei tahun lalu, Presiden Yudhoyono mengatakan, kalau Anda mengatakan kepada kita dan negara lain bahwa kegiatan nuklir Anda untuk tujuan damai, saran kita: kerja sama dengan IAEA. Apa sih kesulitannya?
Mungkin Iran takut jika tim inspeksi IAEA dikasih izin masuk datanya bisa dimanipulasi seperti kasus Irak?
Bisa jadi ada, tapi kalau program nuklir itu untuk tujuan damai, apa sih yang perlu dirahasiakan?
Karena Iran menjadi sasaran Amerika, jadi mereka meragukan IAEA?
Kalau kita mau bicara tentang skenario lain, bisa 1001 skenario. Tapi kita harus berfokus pada masalah pokoknya dan cara menyelesaikan masalah dengan efektif. Itu tidak hanya berlaku dengan Iran.
Dari tiga opsi yang tersedia, kenapa kita memilih mendukung resolusi?
Pilihan itu bukan soal perjudian. Kita mempelajari dengan sangat cermat soal keseluruhan resolusi utama dan lampirannya. Kita melihat resolusi itu memberi keutamaan pada jalan damai. Masak, kita mau menolak itu. Kita justru melihat solusi kasus Iran ini satu-satunya dengan jalan damai. Dengan cara itu kita ingin menyampaikan pesan kepada Iran bahwa dengan mendukung resolusi kita ingin Anda menyelesaikan ini secara damai. Ada jangka waktu dan kerangka damai yang diberikan. Jadi, maksimalkan itu.
Artinya, pendukung interpelasi tidak paham soal resolusi?
Saya bisa mengerti dalam artian saya tidak menyalahkan mereka. Bahkan Departemen Luar Negeri yang punya segudang diplomat juga belum tentu mengerti kalau tidak mengikuti proses dan nuansa penanganan masalah di lapangan. Untuk berdebat secara obyektif kita harus ada takaran yang sama. Yang paling utama adalah resolusi itu sendiri. Kalau dibawa ke skenario-skenario lain, perdebatannya jadi tidak terukur.
Langkah apa yang akan dilakukan Indonesia agar Israel mematuhi zona bebas nuklir?
Sebagai gagasan itu bukan sama seka-li baru. Dari 1995, itu isu yang didesakkan negara-negara Arab. Karena itu, dalam resolusi 1747, kita meminta kewajiban-kewajiban negara terhadap NPT dilaksanakan secara utuh, termasuk mereka yang memiliki senjata nuklir bersedia melaksanakan perlucutan senjata nuklir. Jangan dilihat peluang untuk damai itu tertutup. Ketika kita lihat isi resolusi yang memberi keutamaan solusi damai, berarti itu bisa terjadi. Contoh yang paling besar Korea Utara.
Untuk memastikan Iran menempuh jalan damai dalam dua bulan ke depan, apa yang akan dilakukan Indonesia?
Saya ingin publik kita mendapat kesan bahwa dengan mendukung resolusi itu, sebagai kawan kita mungkin mengatakan sesuatu yang tidak enak bagi Iran. Tapi itulah cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah Iran. Sebagai kawan, kita tidak hanya cerita yang baik-baik saja kepada Iran, tapi kita tidak juga ngomong di belakang. Ketika ada keperluan kita membantu Iran, itu kita lakukan. Iran mengharapkan kerja sama itu bisa dilanjutkan. Kita tidak tawuran ala anak kampung.
Apakah sudah ada kontak dengan pejabat Iran setelah keluarnya resolusi?
Belum.
Apakah pemerintah perlu menjelaskan posisi kita kepada Iran?
Tidak. Kepala perwakilan kita di Teheran dipanggil untuk memberi penje-lasan seperti yang saya jelaskan. Dengan kata lain ada kontak-kontak, ada banyak cara untuk kontak.
Ada tudingan kita tidak solider terhadap kepentingan negara Islam?
Lihat kegiatan diplomasi kita secara keseluruhan, jangan dipilih satu kemudian disimpulkan kita tidak aspiratif. Kalau kita egois, kita jauh dari Timur Tengah—ngapain dipikirin, jauh-jauh? Tapi kita tidak pernah egois dan amanat konstitusi kita juga harus aktif. Seperti yang kita lakukan sore ini (pertemuan Sunni-Syiah di Istana Bogor pada 3–4 April). Kita tidak berpretensi dengan 1–2 gagasan bisa menyelesaikan satu masalah, seperti Irak yang begitu kompleks. Sekecil apa pun yang bisa kita lakukan dalam memberi kontribusi penyelesaian masalah, kita akan terus lakukan. Buat kita ini ironi, perih menyaksikan kawasan Timur Tengah yang tidak pernah berhenti berkonflik. Bandingkan dengan kawasan Asia Tenggara yang menikmati kondisi aman selama 40 tahun, tidak ada perang di antara kita. Itu tidak datang dari langit.
Hasyim Muzadi kecewa dengan sikap pemerintah terhadap resolusi Iran….
Saya sudah tahu sikap Pak Hasyim dari koran, tapi (dia) sebagai orang yang saya kenal baik, kita tidak kesulitan untuk mendiskusikan apa dan mengapa dari pernyataan Pak Hasyim. Keputusan kita mendukung resolusi mungkin mempengaruhi pelaksanaan konferensi Sunni-Syiah ada benarnya.
Jika solusi damai dalam 60 hari gagal, apa langkah Indonesia untuk mencegah konflik terbuka?
Kita belum tahu. Saya berharap Iran bersama lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, Cina) dan Jerman serius memanfaatkan waktu 60 hari itu untuk mencapai kesepakatan. Dalam resolusi memang disebutkan tindakan berikutnya bisa jadi diterapkan. Kita belum tahu, tunggu saja. Mungkin masih dalam batasan skala sanksi yang diperberat.
Jika sanksi diperberat, kita tetap mendukung resolusi terhadap Iran?
Kita tidak bisa apriori resolusi dari jauh-jauh hari. Kita lihat bunyi resolusinya.
Tapi yang pasti Indonesia akan menolak resolusi yang menyerukan serangan militer terhadap Iran?
Secara prinsip, iya. Sepanjang masih ada cara mendorong masing-masing pihak menyelesaikan secara damai, bahkan tahun lalu ketika masalah Iran dibawa ke IAEA, kita sudah mewanti-wanti dari jauh hari jangan sampai dibawa ke Dewan Keamanan.
Menurut Anda, apakah dalam 60 hari Iran akan berubah sikap?
Kita harapkan Iran mempertimbangkan secara serius untuk mematuhi resolusi 1747 dan serius mencari solusi damai. Tapi saya tidak mau berspekulasi. Saya punya harapan baik.
Untuk memastikan Israel mematuhi zona bebas nuklir di Timur Tengah, apa yang akan pemerintah lakukan?
Tanggung jawab utama ada pada negara-negara Timur Tengah itu sendiri. Menurut saya, mereka bisa langsung menindaklanjuti dengan berembuk di antara mereka dan membuat perjanjian bahwa kawasan mereka adalah zona bebas nuklir. Ini suatu proses.
Kenapa Amerika akhirnya jadi menerima zona bebas nuklir di Timur Tengah?
Saya tidak tahu. Mungkin sukar bagi Amerika berargumentasi karena pada hari Selasa usulan kita diterima lima anggota tetap dan Jerman.
Soal interpelasi, apakah Anda merasa menjadi sasaran tembak DPR untuk mengalihkan isu?
Saya tidak mau berkomentar terhadap masalah yang bukan menjadi tugas saya.
Dr Nur Hassan Wirajuda
Tempat/tanggal lahir: Tangerang, 9 Juli 1948
Pendidikan:
- Doctor of Juridical Science in International Law, Virginia School of Law Charlottesville, Virginia, AS (1987)
- Harvard School of Law, Cambridge, Massachusetts, AS (1985)
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1971)
Pekerjaan:
- Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004–2009)
- Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Gotong-royong (2001–2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo