Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asosiasi ganda: payudara mengandung citra menara, tangan, atau benda apa saja. Begitu juga kelamin, kaki, tangan, dan kepala pada karya I Gusti Ayu Kadek Murniasih yang lain yang terpajang di Galeri Nadi, Jakarta, dari tanggal 13 hingga akhir pekan silam. Organ-organ yang mestinya serius itu ditanganinya dengan sikap main-main yang polos, nyaris kekanak-kanakan. Murnibegitu panggilannya"mencatat" fantasi dan pengalaman seksualnya sendiri dengan rajin, hampir otomatis. Judul-judulnya lucu, misalnya Mengertilah About Me atau Enjoy di Angkasa. Dan itu masih dibubuhinya dengan komentar tercetak, misalnya "saya sedang action bugil" (Murni Exien), atau "hidupku terasa tidak komplet tanpa masturbasi" (Menikmati Sendiri).
Murni begitu tanpa beban dalam membuka dirinya. Ia mengejek egonya sendiri, tak seperti pelukis perempuan lain, misalnya Frida Kahlo atau Lucia Hartini, yang memberat dengan keseriusan, dengan semacam psikoanalisis atau mistik.
Pada Action, misalnya, seorang perempuan telanjang terjongkok di atas meja. Ia seperti berada di tengah panggung, di depan tirai yang setengah membuka. Sesosok makhluk panjang mirip kadal mengili-ngili farji atau anusnya dari belakang. Ada farji yang membuka terus terang ke arah kita, seperti pose dalam majalah Penthouse, yang lebih terlihat lucu ketimbang merangsang karena pahanya menggelembung dan torsonya menjelma semacam bintang (Antara Benci dan Rindu dan Hati yang Sepi 2). Ada juga pelbagai adegan masturbasi yang aneh, seperti menjilat payudara atau farji sendiri (Bikin Kesenangan, dan Hati yang Sepi 1).
Sementara itu, tubuh tanpa kepala mengundang pelbagai asosiasi. Ia tampak seperti zakar yang berkaki. Ia boleh jadi meledek intelektualisme. Tapi ia juga menyiratkan trauma yang sedang diatasi: lihat, payudaranya mengucurkan tangis (Saya Sangat Susah), atau punggungnya yang papak nyaris termakan sebilah gunting (My Sepatu).
Sejumlah sosok ciptaan perempuan kelahiran Ubud, 1966, ini memang mirip kartun. Lelaki telanjang yang siap bersetubuh dalam Bermimpi 2 berwajah seperti Bart Simpson. Potret dirinya dalam Murni Exien bagaikan boneka plastik setengah kempis.
Ciri lukisan Bali yang tersisa pada Murni adalah blabar yang hitam tegas dengan impitan siluet abu-abu atau warna gelap. Seperti I Dewa Putu Mokoh, gurunya, seorang pelukis yang menyimpang dari "aliran" Pengosekan, Murni membalurkan akrilik berwarna terang nyaris transparan pada figur dan latar: biru, hijau, jambon, dan oker. Dibandingkan dengan lukisan Bali yang riuh, berfokus banyak, yang motif dan pokoknya berulang tanpa batas, kanvas Murni (juga Mokoh) hening, kosong, demi menonjolkan sebuah fokus utama. Keduanya juga membebaskan diri dari tema-tema umum seperti pemandangan alam, mitologi, upacara, flora dan fauna, demi mendedahkan "apa saja yang kita suka".
Kekosongan itu lebih terasa lagi bila kita cermati bahwa sosok Murni seperti melayang atau mengambang, sekurangnya menjejak tanpa perspektif. Itu menegaskan makna "diri sendiri", lepas ikatan dari tradisi, meskipun humor dan olok-oloknya lebih menonjolkan sikap menggoda yang kurang ajar ketimbang perlawanan heroikterhadap patriarki, misalnya. Lihat perempuan yang beronani dengan ujung kakinya (Menikmati Sendiri), atau sepucuk badik bergerigi menyodok celah paha montok (Trauma 2).
Erotisisme, bahkan sadomasokisme, bukan hal baru dalam khazanah lukisan Bali. Kita teringat pada, misalnya, I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Ketut Sunia, I Made Budi, juga Mokoh, yang menampilkan perkelaminan, bahkan orgi. Namun, sementara para pelukis lelaki itu mengerjakannya sembunyi-sembunyi, Murni sebaliknya. Si bungsu dari 10 bersaudara keluarga petani yang hanya sempat mengecap SD ini jelas mencorong dengan pokok berahinya, menohok rasa kesopanan kaum priayi dan borjuis.
Dan jika "lautan" berahi Murni terasa mengimpit, masih ada celah untuk bernapas. Beberapa kali Murni melukis sepatu bertumit tinggi, sedangkan betis yang mengenakannya berubah jadi, misalnya, tiang penyangga layar tancap (Saya Bahagia Sekali Hari itu) atau batang pisang berpayudara (Tragedi 11 Maret). Dilukisnya juga kucing murka, bangau puas diri, rumah mengambang di udara, kodok bersarung, dan kepiting menyeret topengapa yang mungkin menandakan bahwa erotika tak selamanya berarti dan membebaskan. Seratus lukisan Murni bertahun 1994-2000 di pameran ini memang agak terasa monoton, tapi di situ kita telanjur belajar bahwa tubuh tak perlu terikat pada anatomi, psikologi, dan gaya berat bumi. Juga, terutama, pada dosa.
Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo