Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sepuluh Arang Mengguncang Harmoni

Perupa yang taat asas ini tiba-tiba meledak dan melepaskan segala belenggu teknis yang dihayatinya. Lahirlah lukisan tragedi kebakaran hutan.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABOEL adalah keindahan. Dari display sejumlah gambarnya di ruang depan hingga ruang belakang Galeri Utama Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang disuguhkan adalah suatu pameran teknik tingkat tinggi, terutama pada karya grafisnya yang cermat dan segar. Itulah pameran retrospektif Kaboel Suadi, 65 tahun, dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, 14-23 Oktober lalu, yang lebih menampilkan karya grafis.

Semua karya grafis Kaboel seolah terencana. Efek-efek grafis yang lahir dari kerja cukil-mencukil kayu, misalnya. Seperti tak secuil serat kayu pun terlepas dari kontrolnya. Padahal, ia baru bisa tahu persis apa yang sebenarnya ia lakukan setelah kayu yang ia cukil dicetakkan ke kertas.

Lihat umpamanya Ikan Biru, yang memang biru, juga air pun biru. Bila hanya itu, tentu saja sang ikan belum akan kelihatan. Karena itu, sisik, sebagian besar kepala ikan, dan sebagian air diwarnai biru tua. Sampai di sini, tetap akan terkesan datar. Nah, di sinilah kepekaan Kaboel: ia bubuhkan sebaran merah di tiga tempat, di dua ekor ikan, lalu satu cleret garis merah sebagai air. Jadilah karya bertarikh 1990 ini sebuah "ruang dalam bidang dua dimensional" yang "harmonis."

Harmonisasi dan suatu kesan ruang, itulah agaknya keindahan Kaboel. Karya cukil kayu hitam-putihnya dengan sangat tepat menerjemahkan harmoni dan keruangan itu. Pada Di Antara Tanaman, sekadar contoh, wajah dan kaki wanita itu, lalu rambutnya, kemudian bajunya terasa berbeda karakter—dan, karena itu, menimbulkan kesan meruang. Ditambah batang-batang dan daun perdu di depannya, yang menutup sebagian tubuh perempuan tersebut, kesan ruang itu makin kuat. Maka, sampai ke tengah ruang pameran, yang terasa adalah kedamaian.

Seperti ditulis di awal tulisan ini, Kaboel memang mengejar "keindahan" yang "meruang" yang "harmonis" lewat disiplin teknik yang tinggi. Ia mempertahankan "ideologi" ini juga untuk keperluan mengajarnya, agar tak setengah-setengah—mungkin maksudnya agar karyanya layak sebagai "bahan" pelajaran mahasiswanya.

Di situlah persoalannya bila Kaboel terasa berkembang pelan dibandingkan dengan beberapa rekan sesama dosen, misalnya Srihadi Soedarsono. Ketika Srihadi mengguncangkan dunia seni rupa dengan keluar dari kenikmatan sapuan lebar dan pelototan yang ekspresif yang sukses dan ganti menghadirkan karya simbolis (misalnya Raden Saleh) pada 1971, Kaboel masih menikmati dan meningkatkan "harmoni" yang meruang yang terasa kuno.

Tapi bagaimana seorang seniman bisa bertahan ketika sentuhan yang sulit ditolaknya mengharuskan ia keluar dari kedamaian itu, dan ia merasa mampu? Penciptaan, bukankah ini "huru-hara", suatu penjungkirbalikan nilai-nilai yang ada?

Pada 1997, lahirlah 10 lukisan arang di kertas. Sepenuh kertas adalah hitam-putih kaya nuansa tapi cenderung hitam. Dua atau tiga karya arang ini memunculkan bentuk-bentuk putih mirip tulang dan tengkorak. Ini sebuah tragedi. Berbeda dengan Kaboel yang "teknis", serasa pada 10 hitam arang ini ia melepas bebas "belenggu" yang selama ini dengan sukarela—dan karena itu berharga—ia kenakan. Gerak usapan arang demikan lepas, ekspresif, menekan.

Mula-mula, saya kira lukisan arang ini bertemakan Aceh: penggalian kuburan massal setelah daerah operasi militer atau DOM dicabut, 1998. Ternyata ini "dukacita" Kaboel mendengar habisnya hutan karena terbakar di Bukit Soeharto di Kalimantan. Tentu bukan karena "Soeharto" bila karya ini menyentuhkan sesuatu yang mengerikan terjadi. Tapi hilangnya hutan bisa menjadi awal musnahnya hidup.

Kesepuluh karya arang itu digantung rapat menjadi satu, dipasang di tembok akhir ruang pameran. Saya kira ini disengaja. Setelah pengunjung berdialog dengan keindahan yang harmonis tentang tetumbuhan, ikan, laut, perahu, dan wanita, pengunjung akan tersentak oleh kontras yang demikian telak. Saya tak tahu, adakah 10 karya arang ini masih akan punya sambungannya. Sungguh menarik menunggu sambungan itu, bila ada.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus