Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang pengunjung pameran tampak tak bisa menahan hasrat untuk menjamah Love Me Do, patung berukuran kecil karya Iriantine Karnaya. Ia mengabaikan larangan yang tertempel di ruang pamer untuk tidak menyentuhnya.
Love Me Do, yang berukuran 27 x 27 x 27 sentimeter, adalah salah satu patung dari 73 karya pematung Indonesia yang dipajang dalam pameran Small Works di Taman Budaya Yogyakarta selama 10 hari sejak 17 Februari lalu, yang diselenggarakan Asosiasi Pematung Indonesia.
Memang, karya patung yang menampilkan bentuk ”jantung”, dengan lekukan memanjang di bagian tengah dan terbuat dari perunggu, itu cukup- mengundang hasrat pengunjung untuk- menyentuhnya. Barangkali sekadar ingin merasakan permukaannya yang tampak halus mengkilat. Barangkali juga bukan.
Tapi memang kecenderungan menyentuh, meraba, terhadap karya seni tiga dimensi seperti patung—apa-lagi ditampilkan dalam ukuran kecil—merupakan hal yang jamak. Tengoklah karya Ali Umar, Rumah Gempa (21 x 15,5 x 26 sentimeter), yang berdiri di atas empat pegas, mengundang niat untuk menggoyangkannya.
Lain lagi dengan Singgasana (13 x 8 x 45 sentimeter). Patung kayu yang dikombinasikan dengan kuning-an ini adalah karya Ahmad Syahbandi yang menampilkan bentuk kursi goyang dengan sandaran tubuh tinggi. Sepintas mengingatkan pada pipa cangklong yang dipajang di sebuah duduk-an. Penggarapan detailnya menggugah untuk pengamatan yang lebih dekat.
Pengamat seni Hardiman mengatakan, beberapa patung memang memberikan sinyal tertentu untuk disentuh, diraba, diputar, digoyangkan, atau diintip. Hal ini, menurut Hardiman, untuk mendekatkan patung dengan penikmatnya.
Pameran patung memang sangat langka. Apalagi pameran patung de-ngan sejumlah persyaratan. Penyeleng-gara pameran kali ini memang ha-nya memberi satu batasan, yaitu skala ukuran, yang tiap sisinya tak lebih dari ukuran penggaris. Tepatnya 27 x 27 x 27 sentimeter. ”Ini memang tidak mudah. Buktinya, tidak semua pematung melakukannya dengan baik,” kata G. Sidharta Soegijo, Ketua Umum Asosiasi Pematung Indonesia.
Karya Arlan Akmal yang berjudul Jago Tarung, misalnya, meng-ambil ruang 25 x 28 x 30 sentimeter. Begitu juga karya I Ketut Selamet, Introspeksi I (28 x 20 x 55 sentimeter).
Kecilnya ukuran karya yang ditentukan membuat perupa yang terbiasa mengerjakan patung berskala besar dan monumental beringsut menyiasati karya seninya agar tetap tak kehilangan karakter- mereka. ”Cara berpikir membuat patung de-ngan skala besar dan patung skala kecil itu berbeda. Patung besar harus mempertimbangkan faktor eksternal,” kata Anusapati, yang memajang karya Shopping the Dream (9 x 4,5 x 25 sentimeter).
Menurut Anusapati, hal terpenting yang mesti diperhatikan sebelum membuat patung mini adalah konsep yang kuat. Berikutnya, menjaga kualitas material yang tetap mempertahankan karakter pematung. Ketiga, perupa harus mengetahui bahwa karya kecil bersifat lebih personal. ”Karya kecil itu lebih intim. Hubungan akrab antara pematung dan penikmatnya mesti dipikirkan sejak karya itu berada di pelukan pembuatnya,” kata dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
Pematung Win Dwi Laksono menyikapi ukuran mini dengan cara berbeda. Lewat Pantomim 27, Win membuat kerangka besi berbentuk bujur sangkar tepat berukuran 27 x 27 x 27 sentimeter. Di dalamnya ada figur orang membungkuk, kedua tangannya menyangga dua sisi atas ruang itu. Sosok itu terkesan menyangga beban yang sangat berat. Itulah sikap Win atas ruang sempit itu.
Dalam sejarah perkembangan seni, kualitas sebuah karya memang tak ditentukan oleh besar-kecilnya ukuran. Dan ia bisa lahir dari kebebasan, pun dari keterbatasan.
L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo