Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TELANJUR meletakkan Nam June Paik sebagai tolok ukur seni rupa kontemporer Korea (Selatan), pameran lukisan dan patung Asosiasi Perupa Kontemporer Korea di Museum Nasional Jakarta terasa ”ada yang salah”. Pameran 10 hari yang ber-akhir pada Senin pekan ini itu menampilkan 85 karya dari 40 perupa.
Karya para perupa kelahiran 1940-an dan 1950-an itu diatur ber-desak-desak, ka-rena pameran hanya meng-am-bil se-ba-gian -ruang pa-mer. Ini merugikan ka-re-na bebe-rapa karya cukup besar. Bahkan karya lu-kis Kim Young-Woon terpasang keliru. Tiga lukisan yang se-mestinya dua bersambung dan sa-tu ber-diri sen-di-ri itu ke-ti-ga-nya dipa-sang ber-sam-bung. Karya Yoon Jeong-Nyeo, yang semes-tinya di-gandeng hori-zon-tal, dipa-sang bersusun verti-kal. Karya Lee Back, dua kan-vas dipisah atas dan ba-wah, seharusnya di-sambung ho-rizontal. Inilah penje-lasan Kim Youn-Woon, pelu-kis Korea yang hadir pa-da ma-lam pembuka-an.
Terlepas dari ”sa-lah pasang”, dari karya-karya itu sen-diri, kalau kita mau menengok ke tra-disi Korea, pameran ini tak membe-rikan ke-koreaan itu. Bila hendak men-ca-ri yang lebih kurang setara de-ngan kreativitas dan inovasi Nam June Paik, 85 karya yang dipamerkan jauh da-ri karya perupa yang dianggap sebagai pelopor seni ru-pa video ini. Padahal, da-ri segi usia, ke-40 perupa itu lebih muda dari-pada June Paik, yang lahir pada 1932.
Hanya, dari pameran ini, te-rasa bahwa karya-karya patung lebih terseleksi dari karya lukis. Me-mory karya Yang Jae-Keon, mi-salnya, merupakan karya pe-runggu berwujud sebuah meja rias. Tapi tempat cermin dibiarkan tanpa kaca, diisi relief berbentuk tubuh perempuan telanjang dari leher sampai pa-ha. Lalu karya Kim Dong-Ho, The Mental Arche-type, dua bentuk ko-tak masif panjang setinggi 75 cm dari batu granit. Yang satu granit putih dengan coretan-coretan hitam, yang satu sebaliknya, granit hitam bercoret-coret putih. Coretan itu—mirip garis bersambungan hasil rekaman alat pendeteksi gempa atau alat pemeriksa detak jantung—penuh di sekujur bidang kotak masif itu.
Satu lagi, karya patung boneka Lee Byung-Chang, Anak Muda. Seorang figur berbaju, bercelana, dan berpeci merah, mengenakan kaus tangan putih, duduk berkacak pinggang de-ngan wajah ”karikatural”. Alis dan- mata kiri terangkat naik, bibir merahnya cemberut.
Itulah tiga karya paling mena-rik: ide dan teknik menyatu. Memory se-olah merekam kisah pe-milik meja rias itu. The Mental menyuguhkan yin-yang yang di-yakini budaya Timur se-bagai -pe-nen-tu keseimbangan alam. Dan Anak Muda itu, inikah ka-ri-katur anak muda Korea sekarang: suka berga-ya dan santai, jauh dari budaya kerja keras? Kerja ke-ras yang te-lah membuat Korea (Selatan) menja-di ne-g-e-ri industri terbesar ke-tujuh dunia—demikianlah sam-butan pejabat Korea pada malam pembukaan (ironisnya, pa-meran ini sangat kurang mencerminkan prestasi tersebut, baik dari karya maupun penyelenggaraannya).
Pameran ini agaknya lebih merupa-kan kerja sama pemerintah dua ne-gara (ada sambutan Menteri Kebudaya-an dan Pariwisata Indonesia, Duta Besar Korea di Jakarta, dan Duta Besar Indonesia di Seoul dalam katalog). Sejauh saya ketahui, dua kali sudah pameran seni rupa Korea di Indonesia: selain yang di Museum Nasional ini, tahun lalu di Ubud, Bali, pameran lukisan lima pelukis Bali dan lima pelukis Jeju, Korea Selatan. Dan dua-duanya kurang menggambarkan seni rupa Korea masa kini, karya-karya-nya pun terasa kurang terseleksi.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo