Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RETNO Maruti selalu menarik bila melukiskan adegan kematian. Lihatlah bagaimana detik-detik terakhir Bisma di Kurusetra. Puluhan panah dari samping panggung di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menghujani para penari yang berperan sebagai kurawa. Mereka sempoyongan. Panah-panah itu seolah-olah tertancap pada tubuh mereka. Sedangkan Bisma tetap berdiri. Meski goyah, panah-panah itu sama sekali tak menyentuh tubuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu Srikandi menghunus busurnya. Pada saat bersamaan, di belakang mereka, di set tritisan yang agak menurun, melangkah seorang perempuan. Itulah roh Amba. Perempuan yang cintanya ditolak Bisma. Roh itu menitis ke dalam Srikandi. Dan panah Srikandi melesat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan terakhir menyuguhkan suasana muram yang mengena. Di tengah mayat-mayat bergelimpangan, Bisma beranjak pelan mendekati Amba. Srikandi merunduk. Hanya Bisma dan Amba yang berdiri. Amba menyongsong kekasih tercintanya. Ia menjemput roh Bisma ke surga.
Dewabrata pernah dipentaskan oleh Retno Maruti pada 1997. Dewabrata adalah nama remaja Bisma. Retno menceritakan riwayat Bisma dengan pendekatan linier dan kronologis. Ia berhenti pada saat roh Amba menjemput Bisma. Sebuah pilihan puitis. Ia tak meneruskan pada adegan ketika Bisma sesungguhnya dalam kondisi sekarat masih menyaksikan jalannya sisa perang Bharatayudha. Tubuhnya ditopang ratusan panah sampai darahnya habis. Yang begini mungkin terlalu fisikal bagi Retno.
Pertunjukan dibuka dengan adegan Dewi Durgandini dengan para dayang. Adegan menggambarkan bagaimana Dewi Durgandini bersiap-siap dijemput ke Hastinapura untuk dipinang penguasa Hastinapura, Prabu Sentanu, yang merupakan ayah Dewabrata. Bagian ini langsung menampilkan kekhasan Retno Maruti: formasi formasi bedhayan. Sembilan penari dalam blocking sering dipecah-pecah menjadi tiga-tiga-tiga atau enam-tiga.
Adegan menjadi hidup tatkala masuk pada bagian para kesatria mengikuti sayembara negeri Kasipura untuk meminang tiga putri: Amba, Ambika, dan Ambalika. Para kesatria harus bertanding melawan dua raksasa, Wahmuka dan Arimuka. Para kesatria yang kalah tanding bergelimpang lantaran dihajar Wahmuka dan Arimuka. Sebaliknya, Bisma mampu menekuk lutut para raksasa itu dengan cukup energetik.
Ambika dan Ambalika, yang dibawa ke Hastina, bersedia dikawinkan dengan adik-adik Bisma, yaitu Citragada dan Citrawirya. Bisma sendiri sesungguhnya jatuh hati kepada Amba. Sebaliknya, Amba terpesona oleh Bisma. Namun Bisma menguatkan diri agar tidak terseret asmara karena telah berikrar untuk tak menikah. Pada titik ini, percakapan cinta antara Bisma dan Amba menjadi percakapan yang terus menggulirkan adegan secara lancar sampai klimaks.
Yayi dhahat kawruhana nora pisan
Sumedya gawe runtik ewuh aya jroning kalbu
Lamun sun sajarwo duk ing nguni pun kakang prasetya
Sampun sineksenan jagad raya wadat tan nedya akrami
(Ketahuilah, adikku, sama sekali bukan maksudku membuatmu sedih. Memang sulit bagiku mengungkapkannya. Aku telah bersumpah disaksikan dunia hidup selibat tak menikah selamanya.)
Bisma adalah tragedi cinta. Putra Sentanu, penguasa Hastinapura, itu sebelumnya bersumpah untuk membujang alias hidup selibat agar tak memiliki keturunan yang mewarisi Kerajaan Hastinapura. Tatkala ia menjemput Dewi Durgandini untuk diboyong ke Hastinapura menemui ayahnya, Durgandini mengajukan syarat. Ia mau menjadi permaisuri Raden Sentanu hanya apabila yang akan jadi raja kelak adalah anak-anaknya, bukan anak-anak Bisma. Bisma, yang tak memiliki ambisi kekuasaan, menyanggupi. Ia bersumpah tak menikah.
Tapi, tatkala ia melihat Amba, sesungguhnya ia jatuh hati. Asmara Amba pun berkobar kepada Bisma. Namun Bisma tetap ingin menjaga sumpahnya. Ia berupaya kuat agar tak terseret kepada gelegak cinta. Tatkala Amba mendekat, menginginkan kasih sayang, Bisma menakut-nakuti Amba. Dan secara tak sengaja panahnya melesat.
Dalam tragedi Yunani, para tokoh seperti Oedipus umumnya tak menyadari perbuatan fatal mereka yang menyebabkan mereka nanti akan bernasib nahas. Aristoteles menyebut kesalahan yang tak disadari ini sebagai hamartia atau tragic flaw. Konsekuensi dari hamartia ini adalah perjalanan nasib sang tokoh akan berubah seratus persen. Nasib selanjutnya akan berakhir buruk. Pembalikan nasib 180 derajat ini disebut Aristoteles sebagai peripeteia. Namun, mungkin, dalam kisah Mahabharata yang penuh konsep penitisan, reinkarnasi, dan sebagainya, tidak ada konsep hamartia atau peripeteia. Konsekuensi tindakan fatal yang dilakukan seorang bisa jadi diprediksi buah akibatnya di kemudian hari. Apalagi pada mereka yang memiliki kualitas begawan.
Tatkala tanpa sengaja Amba terbunuh oleh panah Bisma, tentulah Bisma menyadari konsekuensi teologisnya. Pastilah Bisma sepanjang hidupnya menyadari bahwa pembalasan itu akan datang. Maka, ketika ia melihat Srikandi menjadi panglima pandawa di medan laga, firasatnya bisa jadi muncul. Firasat bahwa hari kematiannya akan datang. Srikandi adalah isyarat kudus. Retno Maruti memberi porsi percakapan antara Bisma dan Srikandi sebelum peperangan.
Nini Srikandi putri pinji
Angsahmu mligi netepi mosik kang suci
Aja tidha-tidha mundhak ngribeti rasa
(Srikandi, anakku, engkau putri pilihan. Tindakanmu berangkat dari niat suci. Jangan ragu. Itu hanya membuatmu gundah.)
Meski sesungguhnya Bisma sangat bisa menaklukkan Srikandi, ia menyerah. Ia melihat ada sesuatu yang suci pada Srikandi. Ia tahu Amba ada di sana.
Bisma dimainkan secara bergantian oleh Wasi Bantolo dan Wahyu Santosa Prabowo pada dua hari pertunjukan 27-28 April lalu. Retno Maruti sendiri menjadi Amba, sedangkan putrinya, koreografer Rury Nostalgia, menjadi Srikandi. Tontonan Retno selalu mengundang penonton untuk melatih rasa yang subtil. Tontonannya senantiasa mengajak penonton peka menangkap momen-momen halus tragedi seorang kesatria.
Pada Bisma, kita melihat kerinduan bersatu dengan kekasih ada pada jalan kematian. Tatkala roh Amba melangkah turun dan Bisma menghadapkan tubuhnya ke roh itu, kita tahu kemangkatan Bisma merupakan momen perjumpaan dua roh yang saling menyayangi.
Seno Joko Suyono
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo