Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Arsip-arsip, Surat-surat Pram

Dia.Lo.Gue menggelar pameran tentang arsip-arsip Pramoedya Ananta Toer yang belum pernah dipublikasikan.

6 Mei 2018 | 00.00 WIB

Arsip-arsip, Surat-surat Pram
Perbesar
Arsip-arsip, Surat-surat Pram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KARTU pos itu terlihat kusam. Warnanya cokelat layaknya sebuah kertas yang bertahun-tahun tersimpan di gudang. Bertanggal 16 Februari 1971, kartu pos tersebut berisi pesan dari Maemunah Thamrin kepada suaminya, Pramoedya Ananta Toer, yang ketika itu tengah menjalani masa tahanan di Pulau Buru, Maluku. "Dengan surat ini, aku menyampaikan bahwa aku sekeluarga sehat-sehat saja. Aku harap kau begitu juga," tulis Maemunah, mengawali pesannya dalam surat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tak banyak kalimat yang tertulis dalam surat yang dikirimkan Maemunah dari Jakarta itu. Selain menanyakan kabar dan mendoakan agar Pramoedya selalu sehat di Pulau Buru, Maemunah hanya mengabarkan bahwa anak-anak mereka sudah beranjak besar. Dia pun kemudian menutup pesan dalam surat berprangko Rp 4 itu: "Sekianlah dahulu Pram. Peluk cium untuk kau dari keluarga di Jakarta."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pada 17 April-20 Mei 2018, kartu pos itu dipajang di Dia.Lo.Gue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Ia menjadi salah satu arsip yang ditampilkan dalam pameran tentang penulis Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) bertajuk "Namaku Pram: Catatan dan Arsip". Pameran itu khusus menyuguhkan sejumlah catatan dan arsip Pramsapaan Pramoedyayang belum pernah dipublikasikan, termasuk surat-surat yang dikirimkan keluarga selama Pram ditahan di Pulau Buru. Tanpa proses pengadilan, Pram dipenjara di sana selama 10 tahun (1969-1979) lantaran pemerintah Soeharto menuduhnya pro-komunis.

Total ada lima surat dari Maemunah kepada Pram yang dipajang dalam pameran tersebut. Kelimanya dikirimkan pada 1971-1976. Selain itu, setidaknya ada 17 surat lain yang dikirimkan pada 1971-1977 oleh anak-anak Pram, yakni Astuti Ananta Toer, Ariana Ananta Toer, dan Ananda Rita Yudistira. Sama seperti surat dari Maemunah, surat-surat itu berisi pertanyaan tentang kabar Pram dan informasi mengenai kejadian yang dialami keluarga Pram di Jakarta.

Astuti Ananta Toer mengatakan surat dari anak-anak itu tak lepas dari saran sang ibu, Maemunah Thamrin, yang selalu menganjurkan agar mereka menulis surat buat Pram. "Surat itu diharapkan menjadi semacam obat kerinduan untuk Bapak yang jauh di sana," ujar Astuti, Senin dua pekan lalu. Menurut dia, sang ibu juga meminta anak-anaknya tak memikirkan berbalas atau tidaknya surat-surat tersebut. "Suratnya sih selalu dibalas, tapi terkadang balasannya baru kami terima satu tahun kemudian."

Untuk catatan Pram, pameran itu menampilkan sejumlah naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia yang belum sempat dipublikasikan. Naskah yang dibuat di Pulau Buru itu antara lain ditulis tangan oleh Pram pada enam lembar kertas semen ukuran A5 dan diketik di 11 kertas semen. Ada juga bundelan kertas bertulisan "Ensiklopedi Citrawi Indonesia, Konsep Naskah Belum Sempurna" dan catatan kesediaan teman-teman Pram di Pulau Buru untuk berkontribusi memasukkan materi di Ensiklopedi Citrawi Indonesia. Catatan itu dituliskan dan diedarkan dari barak ke barak oleh teman-teman Pram.

Sejumlah arsip lain yang dipamerkan di antaranya dua buku tentang kehidupan di Pulau Buru yang ditulis tangan oleh Pram dan teman-temannya sebelum mereka meninggalkan pulau tersebut. Selain itu, ada beberapa naskah Ensiklopedi Geografi Indonesia, sebuah ensiklopedia yang digagas Pram setelah ia bebas dari Pulau Buru. Melalui ensiklopedia tersebut, Pram berusaha mendata Indonesia dari ruang hidup yang paling kecil, yakni desa. Salah satu naskah yang dimuat Kompas edisi Rabu, 21 Maret 1982, bercerita tentang beberapa tempat di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, yang masih rawan banjir lantaran sistem riol dan got tidak mampu menampung curah hujan.

n n n

RENCANA menggelar pameran "Namaku Pram: Catatan dan Arsip" muncul pada 2016. Ini tak lepas dari kesuksesan pementasan teater Bunga Penutup Abad, sebuah lakon adaptasi dari novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Usulnya berasal dari pemain sekaligus produser pementasan, Happy Salma, yang memang bernazar membuat pameran tentang Pram jika pementasan itu sukses. Happy lantas menggandeng Engel Tanzil, pendiri Dia.Lo.Gue Artspace, untuk mewujudkan rencana tersebut. "Engel menyambut dengan antusias," kata Happy. "Dia punya semangat dan energi yang sama dengan saya."

Dari situ, Happy dan Engel mulai berdiskusi untuk mencari fokus pameran. Walhasil, mereka memutuskan menampilkan arsip-arsip Pram yang belum pernah dipublikasikan. Pada akhir 2017, Engelyang kemudian menjadi kurator pameran tersebutmulai melakukan berbagai riset untuk pameran tentang Pram itu. Salah satunya dengan mewawancarai anak-anak Pram. Selain itu, Engel mewawancarai anak-anak muda yang kerap berkunjung ke Dia.Lo.Gue Artspace untuk mengetahui sosok Pram di mata mereka. "Ini semua untuk mencari gambaran umum tentang Pram," ujar Engel.

Berdasarkan riset itu, Engel kemudian merancang pameran yang tidak hanya menampilkan Pram sebagai seorang penulis, tapi juga seorang ayah yang sangat sayang kepada keluarganya. Ini dilakukan dengan menyajikan sejumlah surat dari keluarga kepada Pram selama ia ditahan di Pulau Buru. Beruntung, keluarga Pram bersedia meminjamkan surat-surat itu sekaligus sejumlah foto Pram bersama keluarga untuk ditampilkan dalam pameran tersebut. "Saya ingin menghidupkan Pram dari sisi yang lain, yakni dia sebagai seorang manusia yang didampingi istri dan anak-anak yang kuat dan tegar," ucap Engel.

Di sisi lain, Engel berupaya memperkenalkan Pram kepada anak-anak muda yang belum terlalu mengenal sosok penulis legendaris itu. Ini dicoba diwujudkan Engel dengan menampilkan perjalanan hidup Pram sejak 1925 hingga 2006 di dinding-dinding ruang pameran. Tak cuma di Dia.Lo.Gue Artspace, perjalanan hidup Pram juga ditampilkan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, yang menjadi lokasi mini pameran "Namaku Pram: Catatan dan Arsip" sepanjang 17 April-2 Mei 2018. "Saya memang sengaja bikin timeline yang storytelling," ucap Engel. "Tanpa timeline kan pengunjung enggak bisa dapat soul-nya Pram."

Untuk makin memperkenalkan sosok Pram kepada generasi milenial, Engel mencoba menghadirkan ruang video dalam pameran. Di situ, pengunjung bisa menonton rekaman wawancara keluarga tentang kehidupan sehari-hari Pram serta wawancara sejumlah tokoh yang mengenal dan terinspirasi oleh Pram. Selain itu, Engel menampilkan replika ruang kerja Pram serta sejumlah novel karangan Pram. Semuanya dihadirkan di ruang pameran bernuansa merah muda yang terkesan pop dan ringan, ditambah iringan musik piano yang sedikit mendayu-dayu. "Saya ingin mengakrabkan Pram kepada mereka yang tidak mengenalnya," ujar Engel. "Itulah sebabnya judul pameran ini 'Namaku Pram'."

Prihandoko

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus