Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lembar dokumen Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Tenggara menebalkan keyakinan Ombudsman RI bahwa PT Virtue Dragon Nickel Industry pernah memakai tenaga kerja asing ilegal. Dalam dokumen itu disebutkan, pada 25 April 2017, PT Virtue Dragon meminta Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memberikan diskresi untuk mempekerjakan 1.750 orang asing sambil menunggu izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA) terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dokumen ini kami peroleh dari Dinas Tenaga Kerja di sana," kata Laode Ida, komisioner Ombudsman, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Laode, sebelum dokumen tersebut keluar, Dinas Tenaga Kerja dua kali mendapati PT Virtue Dragon, perusahaan tambang nikel di Konawe, Sulawesi Tenggara, mempekerjakan 758 orang asing tak berizin. Dinas Tenaga Kerja turun ke lapangan pada Januari dan Maret tahun lalu. Dinas Tenaga Kerja kemudian meminta perusahaan yang menginduk pada De Long Nickel Co Ltd, yang beralamat di Jiangsu, Cina, ini mengeluarkan mereka dari area kerja.
Bukannya memenuhi permintaan Dinas, PT Virtue Dragon justru bersurat kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan menembuskannya kepada Dinas Tenaga Kerja pada 25 April 2017. Lima bulan berselang, Dinas Tenaga Kerja kembali ke Virtue Dragon dan menemukan angka pekerja asing ilegal di sana masih relatif banyak, yakni 210 orang. Meski menemukan tiga kali pelanggaran, Dinas hanya meminta Virtue Dragon mengeluarkan pekerja ilegal dari lokasi kerja.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Sulawesi Tenggara Saemu Alwi mengatakan lembaganya beberapa kali mengecek Virtue Dragon pada tahun lalu. Tapi ia lupa jumlah pekerja asing ilegal di perusahaan tersebut. "Saya kurang ingat angkanya, tapi seingat saya mereka akhirnya menindaklanjuti temuan kami," ujarnya.
Menurut Saemu, Dinas Tenaga Kerja terakhir kali memeriksa PT Virtue Dragon pada 6 April lalu. Hasilnya, tak ditemukan pekerja asing ilegal di sana. Menurut data yang diperoleh dari perseroan, dari sejumlah 632 tenaga kerja asing di sana-total sekitar 1.830 pekerja-semuanya berizin.
Walau begitu, Saemu memperoleh informasi bahwa jumlah pekerja asing ilegal di Sulawesi Tenggara masih banyak. Karena itu, ia memerintahkan anak buahnya kembali mendatangi perusahaan pemakai tenaga kerja asing pada pekan depan. "Kami berfokus pada perusahaan yang banyak menggunakan pekerja asing" tuturnya.
Manajer Sumber Daya Manusia PT Virtue Dragon, Arys Nirwana, menyangkal tudingan bahwa perusahaannya menggunakan pekerja asing ilegal. Menurut Arys, angka 1.750 pekerja asing yang disebut Ombudsman berasal dari presentasi perusahaannya tentang rencana penggunaan tenaga kerja asing di Kementerian Ketenagakerjaan pada awal 2017. "Realisasinya sekitar 600 orang," ujarnya.
Ia membenarkan, perusahaannya meminta diskresi kepada BKPM dan Kementerian Ketenagakerjaan. "BKPM memberikan diskresi untuk 734 orang, tapi disetujui Kementerian sekitar 600 orang," katanya.
Ombudsman berkukuh surat PT Virtue Dragon itu memperlihatkan ada pembiaran terhadap pekerja asing ilegal oleh pemerintah. Padahal, ketika menemukan buruh asing tak berizin, seharusnya pemerintah segera mendeportasinya.
Selain menelisik dokumen, Ombudsman terjun langsung ke pusat smelter Virtue Dragon di Morosi, Kecamatan Bondoala, Konawe. Laode menyebutkan, di sana, tim Ombudsman menemukan banyak pekerja asing mengenakan helm pekerja berwarna kuning, yang menandakan buruh kasar. Tapi tim Ombudsman sulit memastikan pekerja asing tersebut ilegal atau resmi karena perseroan menutup rapat-rapat informasi itu. Yang jelas, kata Laode, telah terjadi pelanggaran karena pekerja asing tersebut menjadi buruh kasar-menurut aturan, mereka seharusnya tenaga kerja terampil.
Bekas anggota Dewan Perwakilan Daerah itu menduga membanjirnya pekerja ilegal dari luar negeri berawal dari kebijakan pelonggaran masuknya orang asing ke Indonesia. Kebijakan yang dimaksud adalah peraturan presiden mengenai bebas visa masuk bagi 45 negara pada 2015, yang kemudian ditambah menjadi 169 negara pada 2 Maret 2016.
Karena kebijakan tersebut, kata Laode, orang asing berbondong-bondong datang dengan dalih berwisata. Sesampai di sini, mereka menyusup ke perusahaan untuk bekerja. "Ada potensi penyalahgunaan bebas visa kunjungan. Awalnya bertujuan untuk wisata, tapi pada praktiknya bekerja secara ilegal," ujarnya.
Laode juga menyoroti Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing, yang diteken Presiden Joko Widodo pada 26 Maret lalu. Menurut Laode, aturan itu berpotensi membuat pekerja asing membeludak. Syarat seperti IMTA dihapus, lalu diganti dengan visa tinggal terbatas atau visa kunjungan untuk bekerja bagi pekerja asing. Sebelum peraturan ini terbit, penggunaan pekerja asing diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang diubah menjadi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 35 Tahun 2015.
Selain di Sulawesi Tenggara, Ombudsman mendapati berbagai pelanggaran di sembilan provinsi pada tahun lalu. Investigasi Ombudsman menemukan IMTA sejumlah pekerja asing kedaluwarsa. Fakta itu diperoleh di lima perusahaan di Gresik, Jawa Timur. Di sana, ada 487 pekerja asing yang sudah berakhir izinnya pada tahun lalu.
Tepergok juga orang asing yang bekerja sebagai buruh kasar seperti di PT Virtue Dragon. Ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang mensyaratkan tenaga kerja asing hanya untuk posisi tenaga ahli dan profesional. Dalam temuan Ombudsman, dari 83 ribu tenaga kerja asing yang dilaporkan kepada pemerintah, hanya 21 ribu yang bekerja sebagai ahli seperti teknisi, konsultan, pengawas, komisaris, dan pemimpin perusahaan. Sisanya pekerja kasar seperti sopir, tukang las, dan buruh panggul.
Di sebuah perusahaan tambang di Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya, Ombudsman menemukan perseroan mempekerjakan 200 orang asing sebagai sopir. "Masak, orang kita enggak ada yang bisa menjadi sopir?" ujar Laode.
Di parlemen, isu membeludaknya buruh asing disambar politikus oposisi. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera berencana menggulirkan hak angket tenaga kerja asing. Dari Gerindra ada Fadli Zon, Muhammad Syafii, Heri Gunawan, dan Sutan Adil. Adapun dari PKS antara lain Jazuli Juwaini dan Fahri Hamzah. Fadli menyebutkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 membuka keran pekerja asing ke Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan tak ada pembengkakan jumlah tenaga kerja asing sebagai buruh kasar seperti yang dituduhkan Ombudsman. Ia mengatakan kementeriannya memiliki data akurat mengenai persebaran buruh asing. Dalam catatan Kementerian Ketenagakerjaan, saat ini ada 126 ribu tenaga kerja dari negara lain, yang semuanya pekerja terampil-meningkat sekitar 40 persen dari dua tahun lalu. Menurut Hanif, jika ditemukan pelanggaran, Kementerian tak ragu menindaknya.
Hanif menyebutkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 hanya meringkas birokrasi perizinan, bukan melonggarkan syarat-syaratnya. Lewat aturan tersebut, pengawasan terhadap tenaga kerja asing juga diperkuat. "Yang dulunya pekerja kasar dilarang masuk, hari ini juga masih dilarang masuk," ujarnya.
Rusman Paraqbueq, M. Julnis Firmansyah, Chitra Paramaesti
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo