Bisnis Probo, Politik Yahya CENGKEH dan sengketa mungkin akan menjadi dua kata yang selalu berdampingan. Beberapa pekan lalu, diberitakan cengkeh menyebabkan sengketa antara BPPC dan Gappri. Pekan lalu -- juga soal cengkeh -- mengantar sengketa antara Probosutedjo dan Yahya A. Muhaimin. Probo, sekali lagi, mengeluarkan senjatanya berupa somasi. Yang dibidik adalah LP3ES yang menerbitkan buku Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 yang ditulis Yahya Muhaimin. Hal yang menjadi keberatan, tak lain, "soal cengkeh" jua, yang ditulis pada halaman 251-254. Keberatan pengusaha dan saudara Pak Harto itu terutama pada sebaris kalimat: "Pada tahun 1968, perusahaan impor ini memperoleh monopoli atas impor cengkeh yang sangat menguntungkan dari menteri perdagangan yang baru, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, tidak lama setelah ia (Sumitro), di luar dugaan banyak kalangan, diberi jabatan itu oleh Presiden Soeharto". Uraian itu, menurut somasi, tak mengandung kebenaran dan malah menyesatkan. Bagian tulisan dinilainya bukan saja tak sesuai dengan kenyataan, tapi juga telah mencemarkan nama baik pribadi Probo. Akan halnya Yahya Muhaimin, si penulis. Ketika mempersiapkan tulisan untuk disertasi doktor politik di MIT, Cambridge, AS, 1982, bagian itu ia kutip dari hasil wawancara majalah Eksekutif (November 1979), dengan Probo sendiri. Untuk memastikannya, Yahya sempat menanyakannya kepada Sumitro. Ini yang menjadi picu "sengketa cengkeh" kedua pihak. Namun, yang perlu diperhatikan, apa yang ditulis Yahya dalam disertasi yang kemudian dibukukan itu adalah karya ilmiah, yang didasarkan pada pencarian bahan di perpustakaan dan informasi lainnya dengan kaidah-kaidan akademis. Bisa saja terjadi gesekan kepentingan antara seorang ilmuwan dan pihak yang merasa kurang sreg atas fakta yang dipaparkan. Hal itu bisa diselesaikan di forum yang tepat, tanpa harus mengganggu kebebasan dunia ilmu atau privacy seseorang. Terlepas dari soal itu, buku Yahya kiranya perlu dibuka. Penulis masalah Indonesia, seperti George McTurnan Kahin, Herbert Feith, Harold Crouch, atau Benedict R. O'G. Anderson, selama ini lebih banyak menyajikan catatan sejarah politik dan kebudayaan. Yahya mencoba memperkenalkan sisi lain dari yang lain, yakni masalah politik dan ekonomi Indonesia. Selain soal perkembangan setelah somasi Probo, bagian pertama Laporan Utama juga menampilkan sepintas isi catatan bisnis dan politik yang disusun Yahya. Hal penting lainnya ialah keprihatinan para ilmuwan. Bagaimana ilmu pengetahuan bisa berkembang, mencapai kebenaran, bila penulisan, penelitian, dan pengembangan -- sesuai dengan metodenya -- selalu dibayang-bayangi oleh kepentingan (pribadi atau sekelompok orang). Sesuai dengan tema utama buku itu, berbagai kebijaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia selalu menghasilkan sama, yakni pengusaha pribumi yang cuma menjadi klien. Mereka, seperti disajikan pada bagian kedua, tumbuh dengan mengandalkan patronase sebagai cantolan. Apakah penguasa, partai politik, atau sistem birokrasi sendiri. Untuk memberikan gambaran yang jelas, juga diturunkan timbangan buku yang mengundang kontroversi itu, di samping buku serupa Kapitalisme Semu karya Yoshihara Kunio. Yahya sendiri, dengan gaya sebagai ilmuwan Jawa, merasa tak bisa hidup di awang-awang (udara). Ia mencoba menghadapinya sesuai dengan sosio-budaya yang mewarnai hidupnya, tidak mau kontroversi atau menyakitkan hati orang lain. Ia ingin hidup selaras, sebagai dosen, orang Islam, dan orang Jawa. A. Margana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini