Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari disertasi yang digugat itu

Somasi probosutejo yang ketiga, setelah tempo dan christianto wibisono. diharapkan buku bisnis dan politik ditarik dari peredaran. yahya dan lp3es siap menghadapi. pendapat lucian w.pye.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengacara Mulya Lubis menganggap somasi Probosutedjo terhadap buku Bisnis dan Politik menghina masyarakat akademis. Namun, Yahya Muhaimin, pengarangnya, mau minta maaf. Penerbit LP3ES pantang mundur, agar hukum kita teruji. INILAH prestasi luar biasa yang pernah dicapai dalam riwayat penjualan buku ilmiah di Indonesia. Buku Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 karya Yahya A. Muhaimin sejak pekan lalu ludes. Diedarkan Februari lalu, buku yang berasal dari disertasi untuk meraih gelar Ph.D. di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, AS itu dicetak 5.000 eksemplar oleh penerbitnya LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), Jakarta. Buku yang judul aslinya Indonesia Economic Policy, 1950-1980: the Politics of Client Businessmen (1982), menguraikan kebijaksanaan politik ekonomi pemerintah sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Baru. Pemerintah selalu membina pengusaha pribumi yang berkembang dan berubah dalam tiga periode: zaman Demokrasi Parlementer (1950-1957), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Orde Baru (1967-1980). "Walaupun ketiga periode itu melahirkan kebijaksanaan yang berbeda-beda, katanya, kesemuanya menghasilkan gejala yang sama, yaitu tumbuhnya kelompok pengusaha klien. Yang dimaksud adalah individu dan pengusaha yang bergantung pada penguasa untuk dapat melakukan kegiatan bisnis," tulis M. Dawam Rahardjo (lihat Resensi I). Baru beredar tiga bulan, buku berharga Rp 6.500 ini sejak dua pekan lalu mendadak jadi rebutan. Beberapa toko buku di Jakarta kehabisan persediaan. Bahkan ada yang memesan langsung ke penerbitnya dengan kontan, tak secara kredit atau konsinyasi seperti biasanya. Banyak juga peminat yang langsung datang ke kantor penerbitnya, karena di toko buku kabarnya habis. Mulai dari kaum intelektual, karyawan, sampai anggota ABRI. Para peminat agaknya tak perlu khawatir. LP3ES kini tengah mempersiapkan cetak ulang 20.000 eksemplar, yang akan dilempar ke pasaran bulan ini. Tapi kenapa buku ilmiah karangan staf pengajar di Fisipol UGM Yogyakarta ini mendadak laku keras? Yang paling berjasa meningkatkan minat baca dan melariskan buku Bisnis dan Politik ini tiada lain Haji Probosutedjo. Akhir bulan lalu, pengusaha besar ini, melalui R.O. Tambunan, pengacaranya, melancarkan somasi alias teguran terhadap Yahya Muhaimin dan LP3ES, penyusun dan penerbit buku tersebut. Adik tiri Presiden Soeharto itu rupanya tersinggung atas istilah "monopoli" dalam kalimat di halaman 252. Menurut R.O. Tambunan, hal itu "bukan saja tidak sesuai dengan kenyataan dan keadaan yang sebenarnya, tapi juga telah amat mencemarkan nama baik beliau, baik selaku pribadi maupun sebagai pengusaha". Kalimat selengkapnya: Pada 1967, Probosutedjo mendirikan PT Mercu Buana, dan tahun itu juga ia dan keluarganya pindah dari Medan ke Jakarta. Pada 1968, perusahaan impor ini memperoleh monopoli atas impor cengkeh yang sangat menguntungkan dari Menteri Perdagangan yang baru, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, tidak lama setelah ia (Sumitro), di luar dugaan banyak kalangan, diberi jabatan itu oleh Presiden Soeharto. Dalam somasi I itu, Tambunan menegaskan bahwa penunjukan Menteri Perdagangan atas PT Mercu Buana untuk mengimpor cengkeh tidak dapat disebut monopoli, tapi penugasan untuk mencari dana nonbujeter untuk membiayai proyek Banpres (Bantuan Presiden) dalam berbagai sektor. Mercu Buana hanya menerima komisi 2% dari seluruh keuntungan yang diserahkan ke Sekretariat Negara. Menganggap hal-hal tersebut tidak benar, bahkan menurut somasi itu "bersifat fitnah", Tambunan minta agar Bisnis dan Politik ditarik dari peredaran, selambat-lambatnya 24 Mei 1991, 30 hari sejak tanggal somasi. Selain itu, Yahya Muhaimin dan LP3ES diminta menyatakan penyesalan dan meminta maaf kepada Probosutedjo. Ini adalah ketiga kalinya pengusaha beken itu malancarkan gugatan. Setelah menggugat TEMPO, persis setahun lalu Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, juga kena gugat. Yang lebih seru, Kamis lalu Tambunan mempersiapkan somasi II untuk menegur kekeliruan lain dalam buku itu. Menurut Tambunan, kalimat-kalimat di halaman 251 Bisnis dan Politik "sangat tendensius". Bunyi selengkapnya: Ia baru benar-benar aktif dalam bisnis pada tahun 1963, ketika menjadi importir bersama PT Irian Jaya, sebuah perusahaan yang disponsori Kostrad dan mendapat monopoli atas perdagangan di Irian Barat (Irian Jaya). Ketika itu Soeharto menjabat Panglima Komando Operasi Mandala yang merupakan bagian penting dari Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat.... Menurut Tambunan, kliennya tak punya hubungan dengan PT Irian Jaya. "Dia tidak pernah tahu PT itu punya siapa. Dia juga tidak pernah mendapat monopoli dalam perdagangan di Irian Jaya. Apalagi, pada saat Pak Harto sebagai Panglima Operasi Mandala, klien saya belum aktif di dunia bisnis," kata Tambunan. Katanya, kalau buku tersebut tidak ditarik dari peredaran setelah batas waktu 30 hari dari tanggal somasi I, ia akan menuntut ke pengadilan. Somasi itu dilancarkan, katanya, karena sebelumnya sudah ada keputusan pengadilan bahwa Probo tidak mendapat hak monopoli impor cengkeh. "Kalau putusan dimentahkan lagi, berarti ada unsur kesengajaan," ujar Tambunan. Yang dimaksud ialah keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat April tahun lalu. Ketika itu Probo, juga melalui pengacara R.O. Tambunan, menggugat Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia, Christianto Wibisono. Dalam diskusi panel di Universitas Tarumanagara tahun lalu, Chris antara lain menyatakan Probo "ngebut dengan dana duopoli cengkeh", bersama pengusaha Liem Sioe Liong. Menghadapi gugatan itu, Chris akhirnya minta maaf. Ketika itu Probo menjelaskan duduk soalnya kepada TEMPO. Pada 1972, Mercu Buana ditugasi Menteri Perdagangan mengimpor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar, untuk menstabilkan harga dalam negeri. Sedang PT Mega milik Liem langsung ditunjuk oleh Presiden. Tapi ia hanya menerima komisi 2% dari total keuntungan yang disetorkan ke Sekretariat Negara, yang digunakan Presiden sebagai Banpres untuk kegiatan partai politik, pertanian dan peternakan, dan membantu pembangunan Rumah Sakit TNI AD Gatot Subroto. Dengan 2% itu, kata Probo, tak mungkin Mercu Buana ngebut dan jadi kaya. Lagi pula, ia sudah berbisnis sejak 1963, berkembang pada 1964, dan berpuncak pada usaha bidang otomotif dengan PT Garmak Motor sebagai tulang punggungnya. Menghadapi gebrakan Probo lewat Tambunan itu, LP3ES melimpahkan kuasanya kepada Dr. T. Mulya Lubis, S.H., L.L.M. Pengacara ini, 41 tahun, selain dikenal sebagai pembela hak asasi manusia, juga doktor hukum dari University of California, Berkeley (AS). Senin kemarin dua kali ia menemui Yahya Muhaimin di Yogya, didampingi Arselan Harahap dan Maruto, M.D. dari LP3ES. Menurut Mulya, somasi itu bukan hanya menghina Yahya Muhaimin, tapi juga masyarakat akademis di Indonesia. "Ini soal masa depan kebebasan mimbar, masa depan penelitian di Indonesia," katanya sebelum bertolak ke Yogya. "Pada prinsipnya LP3ES dan Yahya sepakat untuk secara terhormat mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan akademik," ujarnya usai menemui Yahya. Mereka siap menghadapi penyelesaian secara hukum. Tapi kalau bisa diselesaikan di luar pengadilan, harus secara terhormat pula. "Kalau bisa diselesaikan di luar pengadilan dengan terhormat, kami senang sekali. Tapi kalau sampai ke pengadilan, kami pun siap. Bagi saya, kebebasan akademis harus dipertahankan. Kalau tidak, tidak ada dasar yang kuat untuk mempertahankan eksistensi universitas," katanya. Mulya pantang mundur. Sementara itu, minggu lalu para mahasiswa Yogya berdemonstrasi mendukungnya. Ia menegaskan tekadnya di depan para peserta diskusi hak asasi manusia di Fisipol UGM, Yogya, dan mengajak para peserta diskusi berdiri mengheningkan cipta selama 30 detik sambil memanjatkan doa keprihatinan atas somasi Probosutedjo. "Saya berjanji akan memperjuangkan kebebasan akademis tanpa mundur sesenti pun," katanya mengakhiri doa. "Saya menghargai hak Probosutedjo mengajukan gugatan. Tapi suatu karya akademis mestinya dibantah secara akademis pula. Kalau tidak, akan menjadi preseden jelek buat kehidupan akademis, hingga orang tidak bisa melakukan kegiatan akademis dan penerbit tidak bisa pula menerbitkan karya ilmiah. Padahal, dalam karya akademis itu kebenaran diungkapkan, dites, dikaji ulang," katanya lagi. Sebelum batas waktu yang disodorkan oleh Tambunan, Mulya akan segera membalas somasi. Ia yakin betul mewakili pihak yang benar. Sebab, katanya, dalam karya ilmiah tidak ada maksud tertentu untuk mencemarkan nama baik seseorang. Lagi pula, semua data atau bukti, misalnya mengenai Probosutedjo, sudah diketahui umum karena sudah banyak ditulis orang. Pendapat senada diungkapkan oleh Prof. Lucian W. Pye, pembimbing Yahya di MIT, Cambridge. Katanya, somasi itu merupakan penghinaan terhadap Yahya sebagai salah seorang tokoh dalam dunia ilmu di Indonesia yang terhormat. Mengenai sumber-sumber yang dipakai Yahya, katanya, sejauh sumber itu sudah dipublikasikan, maka Yahya aman. "Kalaupun ada keberatan, seharusnya yang diprotes sumbernya, sebab Yahya hanya mengutip," kata Pye. Profesor yang sudah mengajar di MIT sejak 1956 itu memuji Yahya. "Dokumentasi dan sumbernya sangat solid. Dia ilmuwan yang hati-hati, banyak berpikir, serius," katanya. "Tulisan Yahya bukan kritik secara individual. Dia membuat analisis hubungan politik, sosial, dan ekonomi secara mendasar." Namun, Yahya Muhaimin, sang ilmuwan, terperangah juga setelah bukunya kena somasi. Ia berpendapat, sebaiknya disertasinya itu diedit sebelum diterbitkan sebagai buku untuk masyarakat luas. Sebab, banyak nama, yang ia kenal dan hormati, tercantum. "Saya nggak enak terhadap mereka. Sebagai orang Jawa, rasanya seperti ada klungsu mengganjal di leher," katanya. "Karena itu, saya pikir sudah saatnya saya minta maaf kepada semua pihak yang tersinggung secara tak sengaja," tambahnya. Tapi sikap ini, menurut Nono Anwar Makarim, konsultan hukum dari kantor pengacara Makarim & Taira, tak baik. "Saya mengharapkan kasus ini dibawa ke pengadilan, agar hukum kita teruji, kebebasan ide dan intelektualitas kita terbela. Juga sebagai patokan di hari depan mengenai apa yang disebut penghinaan dalam karya ilmiah," katanya. "Biar kalah, nggak apa-apa. Tapi dengan begitu LP3ES memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan kita," ujar Nono. Doktor ilmu hukum dari Harvard University, Cambridge, ini melihat kelemahan somasi Probosutedjo. Ia menunjuk catatan kaki yang merupakan rujukan atas kalimat yang membuat Probo tersinggung, yang dikutip dari majalah Eksekutif terbitan 1979. "Ketika wawancara Eksekutif dengan Probo diterbitkan, dan tidak dituntut dalam jangka waktu setahun, itu dianggap kedaluwarsa," katanya lagi. Artinya, wawancara yang dijadikan sumber oleh Yahya itu dianggap benar karena tidak dibantah oleh Probo. Dan kalaupun Probo, yang diwawancarai, menggugat, gugatan itu sudah kedaluwarsa. Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori, Liston P. Siregar, Ardian T. Gesuri (Jakarta), Ajie Surya (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus