Ketika film Balas Dendam sedang dikerjakan di Bali bulan
Oktober tahun silam, sejumlah wartawan Jakarta diundang untuk
ikut menyaksikannya. Wartawan TEMPO, Syarif Hidayat, salah
seorang yang ikut ke Bali. Berikut ini adalah laporannya:
MELAKUKAN kerja sama dengan pihak asing dalam pembuatan film,
memang tidak mudah. Kata Direktur Pembinaan Film H.
Djohardin:"Untuk sebuah joint production diperlukan tenggang
rasa dari kedua belah pihak. Karena cara kerja yang berbeda dari
dua bangsa". Dan ucapan Djohardin memang tidak meleset, terbukti
dari pengalaman pahit pembuatan Adventure in Bali maupun Virgin
in Bali yang mengalami banyak kericuhan. Kedua film itu
terkatung-katung. Nasib Adventure in Bali sampai sekarang tidak
terdengar lagi, sedangkan Virgin in Bali baru beberapa minggu
yang lalu beredar di Indonesia.
Balas Dendam juga tidak luput dari persoalan itu. Cerita diambil
dari karya Usman Efendi yang berjudul "Pengkhianat". Setelah
ditimbang-timbang oleh para produser, judul itu diganti menjadi
"Balas Dendam". Lokasi cerita aslinya mesti di tanah Toraja.
Pihak Hongkong setuju, pihak Indonesia keberatan. "Daerah itu
belum ada aliran listrik dan pengangkutan sulit", kata
Yusnandar salah seorang produser. Persoalan ini cepat bisa
diatasi. Kedua belah pihak sepakat untuk bekerja ke Bali. "Bali
cukup komersiil", kata salah seorang produser dari Elang Perkasa
Film. Rachmat Hidayat, Rahayu Efendi, Tuti Kirana, Soekarno M.
Noer dan semua orang Indonesia yang mendukung film Balas Dendam
merasa kebingungan ketika sampai di Bali. "Sampai sekarang saya
belum tahu peran yang bagaimana yang akan saya pegang", kata
Rachmat dan Rahayu Efendi waktu itu. Rupanya skenario yang
digarap oleh Narto Erawan masih harus dikirim ke Hongkong
lebih dahulu. Dan kembalinya mengalami banyak perubahan,
sehingga setelah 4 hari berada di Bali para bintang masih juga
nganggur dalam ketakpastian. Sementara di Sanur Hotel, produser
pelaksananya siang malam sibuk menterjemahkan skenario dari
Bahasa Mandarin ke Indonesia. "Wah saya jadi kerja lembur''
kata Yunandar.
Kalau pihak produser masih kalang kabut menterjemah sembari
mengurusi peralatan yang didatangkan dari Hongkong, bintang
film Indonesia mengeluh karea mengalami banyak perubahan peran.
"Kalau begini peran saya tidak ada artinya dong", kata Rachmat
yang akhirnya mundur teratur. Ketika Herman Masduki seorang
pendatang baru dalam Kawin lari hadir di Bali dan dikira akan
diikut-sertakan mendukung Balas Dendam, keadaan makin tegang.
"Wah, wah, bisa peran kita tambah kecil lagi", kata Malino
Jmaidi. Tapi sementara itu aktor-aktor Hongkong kelihatan
tenang-tenang saja. Mereka dengan rajin berlatih Kung Fu. Atau
kalau tidak latihan, mereka bercanda atau jalan-jalan melihat
keindahan Bali. "Kalau tidak ada perobahan skenario saya kira
tidak terjadi kelambatan yang begini", kata Usman Efendi. Dan
Usman, yang juga Sekjen Parfi itu, mendapal kabar pasti bahwa
perubahan skenario itu dilakukan karena shooting di Hongkong
sudah selesai. "Untuk melanjutkan shooting di Bali harus
disesuaikan dengan yang di Hongkong" kata Usman. Masih banyak
lagi hal-hal yang mestinya menimbulkan kericuhan. Tapi pihak
Elang Perkasa memilih sikap mengalah, dan pembuatan film Balas
Dendam tidak banyak mengalami hambatan. "Daripada rugi banyak
lebih baik mengalah saja", kata mereka. Walhasil biaya yang 100
juta tidak tambah lagi. Tapi hasilnya tidak lebih sebuah film
Hongkong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini