Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU melihat medium yang akan mereka garap, mereka terkaget-kaget dan langsung dihinggapi rasa cemas. "Terus terang, langsung syok. Kami belum pernah bikin untuk ukuran sebesar ini," ujar Thalia Wijaya, 20 tahun, dan Vicky Saputra, 20 tahun. Kedua mahasiswi desain grafis Universitas Bunda Mulia ini adalah sebagian dari anggota Kreavi 17 yang terlibat dalam pameran grafis di Gedung Tempo, Jakarta. Jika Anda melihat grafis di boks telepon bergambar Bob Dylan dan Ebiet G. Ade di lantai 4, itulah karya Vicky.
Selama ini anak-anak muda tersebut menggarap proyek grafis dan ilustrasi dalam medium berukuran kecil, tak lebih besar dari A0. Mereka khawatir, begitu karya dicetak di kertas atau kertas dinding akan pecah sehingga mempengaruhi hasil kreasi mereka. Ratri Respati Sudjarwo, Vicky Saputra, Weldy Rhadiska Putra, Djayanti Aprilia, dan Thalia Wijaya, adalah mereka yang masuk program inkubasi selama setahun oleh komunitas Kreavi.
Komunitas ini didirikan oleh Benny Fajarai pada 2011. Saat ini tak kurang dari 38 ribu pengguna atau kreator bergabung di Kreavi, umumnya adalah orang muda. Kreavi 17 dipilih dari 38 ribu pengguna atau kreator dari seluruh Indonesia, dikerucutkan menjadi 1.000, lalu 100, dan dipilih 17 orang oleh kurator yang terdiri atas beberapa akademikus dan praktisi. Mereka disiapkan untuk menjadi seniman atau pekerja kreatif yang lebih matang dalam setahun. "Mereka diutamakan jika ada penawaran proyek," ujar Manajer Komunikasi Kreavi Bagus Wahyu Ramadhan, 25 tahun.
Ke-17 kreator ini juga punya latar belakang kemampuan kreatif yang berbeda. Ratri, desainer, yang menentukan konsep dan spot-spot di mana karya para kreator ini diletakkan. Djayanti, yang masih berkuliah S-2 di Institut Seni Indonesia (ISI)—biasa menggarap ilustrasi—harus berjibaku dengan grafis dengan kreasi jenis huruf dengan dimensi sekitar 4 x 9 meter. Sedangkan Weldy, videografer dan fotografer, berkreasi dengan foto bergaya fotografi yang gelap atau agak suram.
Kreavi 17 bagian dari komunitas Kreavi yang berada di bawah naungan start-up Kibar Kreasi Indonesia. Di Kreavi, mereka bisa memajang karya masing-masing di dinding laman Kreavi sebagai portofolionya. "Tinggal login saja, bisa masuk kategori kreatif atau perusahaan," ujar Bagus.
Laman ini, kata lulusan ISI Yogyakarta itu, memang menjadi "pasar atau etalase" bagi para kreator untuk menjual portofolio mereka dan menghubungkan mereka dengan para klien yang membutuhkan jasa mereka. "Banyak kreator dari daerah. Karya mereka bagus tapi kurang diketahui orang atau susah dihubungi. Jadi bisa lewat Kreavi ini," ujarnya. Mereka bercerita bergabung dengan Kreavi bisa saling belajar dan memperluas jejaring untuk memperpanjang portofolionya.
Lihat saja di laman mereka, klien bisa memilih spesifikasi jasa yang dibutuhkan: bisa jasa desain grafis, branding, sinematografi, arsitektur, fotografi, mural, grafiti, desain web, seni kuliner, dan masih banyak lagi. Di sana dipampangkan contoh karya dan kontak mereka sehingga pihak yang membutuhkan bisa langsung menghubungi mereka. Kreavi merupakan salah satu start-up di bawah Kibar Kreasi Indonesia, yang juga menaungi komunitas start-up Kratoon, TelusuRI, Gaharu, Kaubisa, Ziliun, dan Labkinetic.
Komunitas sejenis yang secara online menawarkan jasanya adalah Sribu.com. Hanya, start-up ini tidak menampilkan langsung portofolio desainernya. Juga ada komunitas WPAP atau Wedha's Pop Art Portrait (WPAP). Komunitas ini didirikan Wedha Abdul Rasyid, bekas ilustrator majalah Hai. Mereka terkenal menggambar potret dengan gaya pop art warna-warni yang dikembangkan Wedha.
Wedhaism memiliki ciri dan aturan sendiri. Dalam setiap potret, warna yang digunakan harus kontras, saling berbenturan, tidak boleh memakai gradasi warna, tidak boleh menggunakan skintone (warna kulit). Diprakarsai oleh Itok Soekarso, Sungging Priyanto, Gunawan Syarifudin, Walet Mullz, dan beberapa lainnya yang juga murid Wedha, saat ini WPAP Community memiliki lebih dari 35 ribu anggota di seluruh Indonesia, 1.000 orang di antaranya berada di Jakarta.
Selain menggelar pameran, para anggota WPAP sering dimintai jasa profesional. Tatkala digelar peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 di Bandung, dua tahun lalu, komunitas WPAP Bandung, misalnya, mendapat proyek menggambar tokoh-tokoh pemimpin bangsa yang memprakarsai KAA. Mereka memermak sepanjang Jalan Asia-Afrika. Mereka membuat kubus-kubus yang bergambar para negarawan. Wajah para tokoh itu tentu dibuat warna-warni khas gaya Wedha yang segar. Lebih dari seratus profil tokoh mereka buat, dengan ikon utama Sukarno dan Nelson Mandela.
Pada November tahun lalu, komunitas Ruang Rupa berkolaborasi dengan beberapa seniman Jerman untuk menghiasi dinding, tangga, atau penutup toko di Pasar Tebet, Jakarta Selatan. "Pernah juga kami bikin mural di beberapa gedung. Tapi yang masif mural di beberapa flyover dan jalan pada 2001," ujar Ade Darmawan, kurator dan direktur Ruang Rupa.
Tapi memang kantor berhias mural, ilustrasi, dan grafiti yang "nakal-nakal" tak terlalu banyak. Mural, grafis, dan grafiti umumnya ditemukan di kafe, flyover, atau hotel. Indonesian Contemporary Art & Design, misalnya, memiliki pameran tahunan di Grand Kemang Hotel, Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan. Di setiap sudut hotel ini dipamerkan instalasi dari para desainer interior, perupa, pematung, sampai fotografer. Pihak hotel mengizinkan para seniman menggarap halaman depan, lobi, ballroom, hingga lorong-lorong hotel. Tahun ini pameran menginjak tahun ketujuh. Sampai pekan pertama Desember, Anda masih bisa melihat pameran bertema "Seven Scenes".
Saat memasuki lobi hotel, Anda bisa melihat sebuah instalasi seni berupa bangunan segi empat besar berada di tengah lobi yang didominasi warna hitam seperti Ka'bah hasil karya desainer fashion Oscar Lawalata. Oscar memenuhi kubus besar itu dengan gambar-gambar pola tekstil polos, bordiran, sulaman acak, dan saling sambung. Adapun arsitek Budi Pradono menghadirkan instalasi seni berupa susunan kayu yang menempel di langit-langit yang memenuhi lorong dekat ballroom sepanjang hampir 50 meter. Patut dipuji bahwa pihak manajemen hotel memperbolehkan ruangan mereka "diacak-acak" seniman. Mereka agaknya tidak takut hal itu akan mengurangi jumlah tamu yang menginap. Justru pameran itu dianggap memberi nilai plus, yang membuat hotel memiliki selera.
Di luar negeri, kantor redaksi atau kantor multimedia, seperti kantor pusat Facebook di California, Amerika Serikat, pun penuh dengan mural coretan tangan David Choe. Demikian pula di kantor Google di Pittsburgh, di Kota Meksiko, dan di Zurich, Swiss, dihiasi karya kreatif ini di berbagai ruangannya. Sedangkan di Jakarta, kantor PT Aegon, yang bergerak di bidang solusi finansial di kawasan Kuningan, juga dihiasi mural dan ilustrasi yang digarap oleh perusahaan jasa imural.id. Atau di kantor OLX di kawasan Blok M, yang beberapa bagiannya dihiasi mural besutan Motulz dan Warehouse.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo