Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Koperasi Tenaga Bongkar Muat Pelabuhan Belawan, Medan, mendadak ramai pada Senin pekan terakhir Oktober lalu. Lima puluhan polisi mengepung kantor yang berada di luar area bandar ini. Seratusan buruh pelabuhan pun berhenti bekerja untuk menonton penggerebekan itu.
Siang itu, tim Satuan Tugas Khusus Merah Putih Kepolisian RI menggerebek kantor koperasi tersebut. Polisi mencari beberapa pengurus teras koperasi yang diduga memeras pengusaha dengan kedok ongkos bongkar-muat kapal. "Pengusaha yang menolak, kapal miliknya dilarang bersandar," kata Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal Rycko Amelza, Rabu dua pekan lalu.
Polisi menduga pemerasan itu melibatkan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Belawan. Indikasinya, menurut Rycko, Otoritas Pelabuhan terkesan membiarkan pungutan liar yang terjadi bertahun-tahun itu. Gara-gara pungutan liar, waktu tunggu (dwelling time) di Belawan terbilang lama, bisa mencapai tujuh hari. "Pengurus koperasi mendahulukan mereka yang mau bayar," ujar Rycko.
Sejauh ini, Rycko menerangkan, sudah empat pengusaha yang buka-bukaan kepada polisi soal pungutan liar itu. Total kerugian mereka setahun terakhir saja sekitar Rp 61 miliar. Padahal ada 68 perusahaan bongkar-muat yang kapalnya setiap hari bersandar di Pelabuhan Belawan.
Dalam penggerebekan siang itu, tim gabungan menangkap Frans Holmes Sitanggang, bendahara koperasi. Ia ketahuan menerima duit "panjer" dari seorang pengusaha. Ketika menggeledah ruang kerja Frans, polisi menemukan uang Rp 390 juta di meja dia.
Malam harinya, polisi mencokok Sabam Manalu, Sekretaris Koperasi Tenaga Bongkar Muat Pelabuhan Belawan, di Hotel Cherry Green, Medan. "Ia bersembunyi," kata seorang anggota tim gabungan. Siang itu Sabam semestinya masuk kantor, tapi ia banting setir ke arah hotel karena mendengar ada penggerebekan.
Keesokan harinya, polisi menangkap Sabiran Ansar, yang merupakan bekas pegawai negeri di Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Belawan. Sabiran sebenarnya sudah dimutasi ke Pelabuhan Ambon sejak dua bulan lalu. Namun, berdasarkan pantauan Satgas Merah Putih, Sabiran masih "ngantor" di Belawan.
Setelah menangkap tiga orang itu, polisi bersiap-siap memburu Mahrizal, Kepala Koperasi Pelabuhan Belawan. Namun Mahrizal menyerahkan diri ke kantor Polda Sumatera Utara pada 7 November lalu. "Dia berharap mendapat keringanan hukuman," ujar seorang anggota Satgas Merah Putih.
Kini keempat orang itu sudah berstatus tersangka. Mereka mendekam di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Depok, Jawa Barat. Polisi membidik Mahrizal, Frans, dan Sabam dengan pasal pemerasan. Sedangkan Sabiran dijerat pasal korupsi.
MARKAS Besar Polri membentuk Satuan Tugas Khusus Merah Putih sehari setelah Presiden Joko Widodo mengungkapkan kegusaran dia atas lamanya waktu tunggu bongkar-muat di sejumlah pelabuhan. Presiden menyatakan kejengkelan dia ketika meresmikan Pelabuhan New Priok Container Terminal, Jakarta Utara, pada 13 September lalu. Dia lantas memerintahkan polisi mengurai benang kusut di pelabuhan tersebut.
Dua pekan menyigi Pelabuhan Belawan, Satgas Merah Putih menemukan target. Pada 3 Oktober lalu, tim tersebut bersama Polda Sumatera Utara menangkap Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia Cabang Sumatera Utara Herbin Polin Marpaung. Herbin ditangkap ketika menerima uang Rp 140 juta dari seorang pengusaha batu bara.
Kepada polisi, Herbin beralasan bahwa uang itu untuk upah buruh di koperasi bongkar-muat. Tapi, menurut seorang penyidik, ketika meminta uang itu, Herbin mengancam si pengusaha: jika tak mau membayar, kapalnya akan dilarang melakukan bongkar-muat di Pelabuhan Belawan. Hingga akhir pekan lalu, Herbin masih ditahan di Polda Sumatera Utara.
Yang membuat beberapa anggota Satgas Merah Putih geram, penangkapan Herbin sama sekali tak mengurangi praktek pungutan liar di Pelabuhan Belawan. "Hampir saban hari mereka meminta uang kepada pengusaha dengan dalih upah bongkar-muat," kata seorang anggota tim yang ikut penggerebekan. Radar tim Merah Putih pun segera mengarah ke Koperasi Tenaga Bongkar Muat Pelabuhan Belawan.
Bongkar-muat barang di pelabuhan memang ada ongkosnya. Tapi tarifnya sudah diatur Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2007. Menurut aturan tersebut, pengusaha hanya membayar berdasarkan jumlah riil buruh bongkar-muat yang bekerja. Adapun jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan setiap kali bongkar-muat ditentukan berdasarkan kesepakatan pemilik barang dan koperasi sebagai penyedia buruh.
Masalahnya, menurut Inspektur Jenderal Rycko Amelza, Koperasi Tenaga Bongkar Muat Belawan melanggar aturan tersebut. Mereka secara sepihak menentukan jumlah buruh dalam bongkar-muat satu kapal. Rycko menuding koperasi kerap memanipulasi jumlah buruh yang bekerja. Misalnya, pengusaha harus membayar tenaga 100 orang. Padahal, kenyataannya, hanya 20 buruh bongkar-muat yang bekerja.
Seorang pengusaha impor mobil bercerita, sekali mendatangkan barang melalui Belawan, ia bisa "ditembak" Rp 200-250 juta. Koperasi memasang tarif Rp 145 ribu per buruh, lalu dikalikan jumlah mobil yang turun dari kapal. Sekali bersandar, satu kapal biasanya membawa 1.200 unit kendaraan. Padahal, menurut si pengusaha, buruh dari koperasi yang diperlukan untuk membongkar muatan satu kapal hanya 24 orang. Soalnya, perusahaan mobil yang dia wakili sudah menyiapkan tenaga bongkar-muat sendiri.
Menurut Rycko, koperasi juga memungut kutipan untuk jenis barang yang sebenarnya tak membutuhkan jasa bongkar-muat. Misalnya kapal pengangkut minyak kelapa sawit mentah. Perusahaan kelapa sawit biasanya sudah menyiapkan pipa di pelabuhan untuk mengalirkan produk olahan mereka ke truk pengangkut.
Aturan soal bebas biaya buruh bagi kapal pengangkut komoditas tertentu ada dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Industri Pelayaran Nasional. "Prinsipnya no service, no pay," ujar Rycko.
Seorang pengusaha yang beberapa kali mengirimkan minyak kelapa sawit mentah melalui Belawan mengaku pernah "dipalak" sampai Rp 300 juta sekali merapat. Koperasi menetapkan ongkos satu buruh dikalikan jumlah meter kubik atau ton minyak. "Jika mengacu pada Instruksi Presiden, seharusnya kami tidak membayar," kata si pengusaha.
Modus pemerasan lain, menurut Rycko, pengurus koperasi menggelembungkan tarif sewa per buruh. Ongkos buruh tiap pelabuhan berbeda. Untuk menentukan angkanya, otoritas pelabuhan biasanya membentuk tim pengupahan. Pembahasannya seharusnya melibatkan koperasi buruh, pengusaha atau pemilik barang, dan asosiasi pengusaha bongkar-muat. Hasilnya akan dituangkan dalam surat keputusan bersama.
Seorang anggota tim Satgas Merah Putih bercerita, sebenarnya Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Belawan sudah membentuk tim pengupahan pada awal 2016. Tim pengupahan itu sudah kelar menghitung tarif baru bersama asosiasi, koperasi, dan pengusaha. Namun rancangan surat keputusan bersama itu tak pernah diajukan ke Otoritas Pelabuhan untuk disahkan.
Yang terjadi, Koperasi dan Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Sumatera Utara malah mengajukan surat keputusan bersama versi mereka. Keputusan "bersama" itu disusun oleh Herbin sebagai ketua asosiasi, Mahrizal sebagai ketua koperasi, dan dua pegawai otoritas pelabuhan—salah satunya Sabiran Ansar. Surat keputusan "bersama" ini kemudian diteken Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Belawan saat itu, Gajah Rooseno, pada 22 Maret 2016.
Ada perbedaan mencolok antara surat keputusan bersama versi Herbin dan kawan-kawan dan rancangan surat keputusan bersama yang asli. Bongkar-muat mobil, misalnya. Dalam surat versi koperasi, ongkosnya Rp 145 ribu per buruh. Sedangkan dalam rancangan surat yang hilang, ongkosnya Rp 137 ribu. Contoh lain, ongkos bongkar kayu Rp 40 ribu berbanding Rp 30 ribu. Adapun ongkos bongkar pasir curah Rp 31 ribu berbanding Rp 20 ribu.
Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Belawan yang baru, Haekal Dahlan, menyerahkan urusan ini kepada polisi. Sedangkan Gajah Rooseno—yang menjabat Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, sejak Juli lalu—belum bisa dimintai konfirmasi. Pesan pendek dan surat elektronik tak dia balas.
Meski sudah menangkap empat orang, menurut Rycko, polisi masih bekerja untuk membongkar komplotan pemeras di Pelabuhan Belawan. "Penyidikan juga mulai mengarah ke otoritas pelabuhan." Polisi, kata Rycko, juga bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, "Untuk mengetahui ke mana saja uang disetor."
Syailendra Persada (Jakarta), Iil Askar, Sahat Simatupang (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo