Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DATANGLAH ke kantor Tempo. Anda akan melihat sesuatu yang unik. Sudut-sudut ruang redaksi dan dinding-dinding di belakang meja-meja wartawan disulap menjadi ruang pameran. Juga pembatas ruang, dinding kaca, kotak telepon wawancara, pilar beton, dan lantai balkon. Semua ditempeli karya visual.
Kepekaan artistik dalam mengemas berita di sebuah penerbitan adalah sesuatu yang penting. Pada 1994, majalah ini membikin "Pameran Seni Rupa dalam Kulit Muka Majalah Tempo" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sampul muka majalah adalah gagasan visual, bukan sekadar ilustrasi berita. Saya melihat koleksi kulit muka majalah ini menunjukkan ragam visualisasi grafis yang kaya, sangat "seni rupa". Sudjojono, misalnya, pernah memuji sampul Tempo sebagai bertemunya kepiawaian menggambar dan ketajaman gagasan. Ketajaman memilih kata sama pentingnya dengan tuntutan kepekaan pada segi rupa.
Pada edisi "10 Tahun Tempo Kembali (1998-2008)", majalah ini pernah menyajikan karikatur suasana kerja di Tempo yang sangat kocak. Inilah sebuah dunia kecil dengan kesibukan yang berputar "360o": dari soal pahlawan palsu sampai artis video porno.
Dan kini bukan hanya desain majalahnya yang penuh gambar artistik, tapi juga dinding-dinding ruang kerja para wartawannya. Sepanjang November ini, sejumlah karya visual bertebaran di ruang kerja majalah Tempo di Jalan Palmerah Barat Nomor 8, Jakarta. Tempo mempersilakan Kreavi, komunitas perancang di dunia maya yang anggotanya sudah puluhan ribu, melakukan "eksperimen" di ruang redaksinya.
Pameran ini disebut "pameran grafis". Tidak dibedakan antara karya rancangan, desain, dan seni. Grafis adalah rupa yang berhubungan dengan pelbagai jenis rancangan aksara dan simbol, ilustrasi gambar, atau foto untuk mengomunikasikan suatu pesan tercetak. Tajuk pameran ini—karena menyambut Hari Pahlawan—adalah "Boeng, Ajo Boeng". Para perupa-perancang disebut "pedjoeang visoeal".
Di depan pintu masuk lantai 1 Gedung Tempo, Anda mesti mengingat-ingat wajah seorang muda dengan sebuah kutipan: "Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan". Kendati rambut orang muda itu kurang jabrik, kita mengenali sosok yang terapung di gumpalan awan: Soe Hok-gie. Mengapa karya yang bentuknya mirip kain rentang itu berada di atas kita? Ungkapan yang makin jauh dari kenyataan? Itu karya Thalia Wijaya.
Di lantai ini, kita juga bersua dengan Sukarno dan Bung Tomo. Si Bung yang menuding dikeroyok oleh berbagai kutipan pidatonya. Citra Bung Tomo realistis, lebih berwarna dibanding foto jadul-nya selama ini. Karya grafis Olvyanda Ariesta mengubah suasana perang dengan langit yang ringan dipenuhi capung. Sekelompok pemuda-pejuang berunding atau melakukan rapat. Gaya gambarnya mengingatkan pada komik Tintin dan bola-bola lampu itu tentunya citraan bergaya posmo. Karya Walid Rusdianto ini menempel pada dinding kaca lebar, mencolok mata dari kejauhan dengan latar warna merah yang mengingatkan pada Tempo.
Sebuah karya grafis Rosiana Ayu bertajuk Ajo Boeng, Berdjoeang menghadang di depan pintu lift lantai 3. Citra Jenderal Soedirman dikelilingi para pejuang digambar dengan warna tipis, tampak pucat. Di lantai ini, kita bersua dengan cetakan berukuran besar. Dua dinding lebar di pojok menampilkan sosok pejuang yang hilang dan mati: penyair Wiji Thukul dan pejuang hak asasi Munir. Keduanya berhadapan, balon percakapan kosong melompong. Gambar karya Dinan Hadyan ini dikerjakan dengan teknik cat air sebelum dicetak dengan ukuran besar.
Sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Joko Widodo, dan Rhoma Irama menyapa di dinding boks telepon yang biasa digunakan wartawan Tempo untuk mewawancarai narasumber. Itu grafis Olvyanda Ariesta dan Weldy Rhadiska. Kutipan "begadang" Rhoma mengingatkan pada "deadline" dan Jokowi menyerukan "kerja". Weldy juga mencetak karya foto hitam-putih; tatapan mata-mata perempuan yang menempel pada tiang di depan meja bundar. Di dinding ruang kelas Tempo Institute ini muncul wajah grafis Goenawan Mohamad—pendiri Tempo—berwarna sepia, terpecah-pecah seperti cat terkelupas. Latarnya adalah tahun peristiwa ketika majalah ini dibredel pada masa Orde Baru, 1982 dan 1994.
Di dalam ruang pustaka, muncul kutipan dari Bung Hatta, "Dengan buku aku merasa bebas". Lantai selasar untuk area merokok tidak luput menjadi tempat pameran. Walid Rusdianto menutupi lantai balkon dengan gambar laki-laki tiduran merokok berwarna cerah dan bergaya art-deco.
Sejak beberapa tahun lalu, Tempo mengubah logotype-nya dengan jenis huruf Baeur Bodoni. Di langit-langit lantai paling atas, kita melihat aksara "T" berwarna merah selebar plafon, menempel atau tergantung. Beberapa pegrafis menciptakan bermacam konfigurasi iconotypographic di area dekat tangga, lantai 3 dan 4 (Dinan Hadyan, Rizky Rizaldy, Novita Fahmi, Thalia W., Azis Wicaksono, Weldy Rhadiska, Solechan, Herry Sucahya, dan Olvyanda Ariesta). Kritikus Bambang Bujono, mantan orang dalam Tempo, berujar kesenian sama pentingnya dengan politik dan olahraga. Dan, di Tempo, keputusan memakai jenis huruf tertentu sama bobotnya dengan diskusi mengenai Laporan Utama.
Untuk menonton pameran grafis ini, Anda mesti blusukan di ruang kerja awak Tempo. Dinding-dinding kaca yang disekat-sekat pada ruang kerja menjadi semacam bingkai karya. Kita bersua dengan ragam ilustratif-grafis yang lebih bebas, mengingatkan kita pada sampul buku fiksi-sains, novel remaja, komik-grafis, atau cerita anak-anak. Djayanti Aprilia merespons tiang beton di lantai 4 dengan citra Sutan Sjahrir di tengah semesta. Dengan warna-warna pastel dan ringan kegemaran anak muda, citra intelektual Sjahrir muncul dengan buku-buku, di antara gunung, laut, hutan, dan malam berbintang yang terasa pop.
Sebuah infografis komplet tentang perjalanan Tan Malaka karya Candra Permata Dewa menghadang di depan pintu lift lantai 5. "Bapak Republik yang Dilupakan" ini—istilah Tempo—mengenakan baju kuning cerah. Tubuhnya condong ke kiri, berlatar peta dunia yang datar dan gelap. Infografis—adonan gambar, angka, dan informasi yang ringkas-padat—adalah tren grafis yang antara lain dipelopori oleh majalah Tempo sejak terbit kembali pada 1998.
Di sebuah dinding lebar di ruang redaksi muncul kutipan grafis yang menggetarkan dari Chairil Anwar, "Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam", tapi gambarnya adalah sepasang remaja yang kedinginan yang berpesiar melanglang buana. Ini karya Rizky Rizaldy. Bukankah, dalam arti tertentu, penampilan seperti ini yang konon selalu dibayangkan oleh Tempo, yakni "lebih dalam, makin muda"?
Para "pedjoeang visoeal" ini memang rata-rata berusia muda, di bawah 30 tahun. Mereka memiliki latar belakang beragam: ilustrator, fotografer, perancang grafis, dan perupa digital. Beberapa di antaranya malah baru lulus kuliah. Jadi apa gambaran mengenai "pahlawan" ala 17 perancang yang tergabung dalam program Kreavi 17 ini?
Jika di pameran ini kita menyaksikan gambaran mengenai orang biasa terselip di antara sosok atau tokoh besar, kiranya kita boleh mengutip kritikus seni Sanento Yuliman: "Pahlawan adalah orang mati yang telah direvisi dan diedit.… Yang saya bayangkan sesungguhnya bukan apa-apa. Saya ingin melihat orang-orang mengerjakan hal-hal yang nyata, terbatas, dan barangkali sangat sederhana—mengusut korupsi, membuat bendungan, atau menulis sajak—dengan tidak mengira yang bukan-bukan." (Dalam Bayangan Sang Pahlawan, 1968).
Hendro Wiyanto, Kurator dan Penulis Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo