BALAI Pustaka antara ada dan tiada. Nama itu selalu disebut bila
orang membicarakan buku-buku sastra sebelum perang (Salah
Asuhan, Siti Nurhaya, Belenggu dan banyak lagi). Tapi cobalah
cari buku baru yang banyak dibicarakan orang -- yang terbitan
Balai Pustaka (BP). Tak ada.
Tepat di hari ulang tahunnya ke-64, 22 September, dicanangkanlah
rencanarencana baru. Diperkenalkan orang baru, serta sejumlah
fasilitas baru. Ini memang usaha pembaruan. Yang bisa dilihat
langsung hari itu ialah peresmian perpustakaaan yang terletak di
Pusat Perdagangan Senen lantai IV (di kompleks Pusat Buku, dan
penglepasan lima mobil untuk digunakan sebagai toko buku
keliling. Juga peresmian percetakan BP unit 11. Semua ini memang
termasuk dalam usaha "menggaet kembali kejayaan lama".
BP, yang didirikan pada 1917, menjalani masa kiprahnya sampai
dengan menjelang kedatangan Jepang. "Buku sastra yang penting
zaman sebelum perang, sebagian besar diterbitkan Balai Pustaka,"
kata kritikus sastra H.B. Jassin dalam wawancaranya dengan TVRI
minggu malam yang lalu.
Tapi sejak zaman Jepang hingga tahun-tahun terakhir, peranan BP
ternyata tidak ketulungan. Dan ini kedengaran seperti sebuah
aib.
Memang zaman berubah, dan masyarakat pun berubah. Boleh dikata
dulu BP, yang didukung pemerintah Belanda itu, merupakan
satu-satunya penerbit yang bisa diandalkan. Praktis tanpa
saingan.
Ketika BP ditentukan status barunya sebagai Perusahaan Negara
Penerbitan Percetakan, dbawah Departemen P&K, 1963, perincian
tugasnya menjadi jelas -- sekaligus sempit. Ialah: "Pada
umumnya berusaha dalam bidang perindustrian dan distribusi
(buku, khusus untuk melayani kebutuhan Departemen P&K dan
instansi lain yang sejenis."
Maka boleh dikata BP hanya melayani pencetakan buku pesanan
Departemen P&K, yang sebagian besar buku pelajaran sekolah. Jadi
sudah berubah.
Kecipratan Rezeki
Itulah sebabnya, segi pemasaran seperti terabaikan. Buku
pelajaran toh tak memerlukan itu, karena memang sudah ditentukan
dari departemen bersangkutan. Akibatnya, buku-buku baru atau
buku-buku lama yang dicetak ulang pun ikut tak tersebar.
Ketika muncul proyek pengadaan buku lewat Inpres 1973, dunia
perbukuan mulai cerah. BP pun tentu saja kecipratan rezeki ini.
Dan menurut Soeradio, Direktur Administrasi dan Keuangan BP,
waktu itulah BP mulai merencanakan untuk hadir kembali ke tengah
dunia percaturan buku yang sebenarnya. Kepastian rencana itu
menjadi bulat ketika 1976 Menteri P&K memberi wewenang kepada
penerbit ini untuk mencetak ulang buku pelajaran sekolah dari SD
sampai SMA.
Dan cetak ulang selalu menguntungkan -- apalagi dalam oplah
besar. BP beroleh keuntungan luar biasa. Di tahun 1981 ini saja,
sampai bulan ini, sudah sekitar 150 judul buku pelajaran yang
dicetak ulang, dan tiap judul paling sedikit 50 ribu eksemplar.
Menurut Soeradio pula, rata-rata per tahun omset BP kini
(termasuk buku pelajaran dan bacaan umum yang diterbitkan BP
sendiri ekitar 20 juta eksemplar buku.
Itulah pada dasarnya yang memberanikan BP (yang sekarang
dipimpin oleh Dir-Ut. Drs. Soetoyo Gondo mengambil langkah
baru. Toko buku keliling, yang diawali dengan lima mobil itu
(untuk daerah Jakarta dan Jawa Brat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara direncanakan guna
mendatangi tempat-tempat yang langka toko buku. Sasarannya
terutama anak sekolah. Lima mobil itu tak hanya menjual buku,
tapi juga memutar kaset pembacaan puisi, cerita anak-anak dan
cerita pendek. Anggarannya Rp 62 juta per tahun untuk kelimanya
(belum termasuk harga mobil). Direncanakan di tiap provinsi
paling tidak nanti akan ada satu mobil ini.
Langkah kedua dalam soal pemasaran, adalah dibentuknya klub
perpustakaan dengan kerjasama BP, Pusat Pembinaan Perpustakaan
dan musyawarah Perguruan Swasta. Klub ini merencanakan
memberikan kredit buku bagi setiap perpustakaan sekolah swasta.
Dengan memberi kesempatan pula kepada sekolah negeri dan
masyarakat umum (misalnva perpustakaan di sebuah kecamatan),
anggaran yang disediakan berjumlah Rp 125 juta setahun.
Sudah jelas, cara promosi seperti itu tak menjamin lakunya buku.
Tapi, "tujuan kami membentuk masyarakat yang cinta buku," kata
Direktur Administrasi dan Keuangan itu. Yang diharapkan agaknya:
setelah masyarakat mencintai buku, mereka tak akan sayang
memakai uang untuk buku. Sederhana sekali memang, jalan pikiran
seperti ini. Keeuali itu mesti pula ditanyakan seberapa mutu
buku BP, dan juga seberapa kuat keuangannya mendukung usaha ini
lebih lanjut.
Sejumlah penerbit swasta seperti PT Gramedia, LP3ES, Bulan
Bintang, Djambatan, Sinar Harapan, dan jangan lupa Al Ma'arif di
Bandung yang besar itu, telah membuktikan diri mampu memasarkan
buku. Dan selama ini sudah jelas mereka lebih menarik perhatian
para penulis. Bukan rahasia lagi agaknya, munculnya buku dari
berbagai penerbit swasta tersebut karena keleluasaan mereka.
Mampukah BP mengikuti yang swasta itu, sementara sebagai aparat
pemerintah "BP tak boleh menyimpang dari kebijaksanaan
pemerintah," seperti kata Humas dr. Purnomo?
Apalagi dibanding cara kerja penerbit swasta yang sukses yang
kelihatan lebih kreatif atau giat dibanding pegawai negeri,
seperti yang sering dibayangkan orang. Tapi untuk yang terakhir
itu, ada perubahan lain lagi yang tampak dalam hal gaji. Gaji
pegawai terendah sekarang minimum Rp 70 ribu. Ini terhitung
besar. Hanya, dengan mengingat persentase tunjangan di dalamnya,
jumlah tersebut hanya bisa dicapai dengan prestasi yang baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini