REMAJA, ganja, dan kini: penyalahgunaan obat. Yang terakhir ini
agaknya selama ini belum dihitung benar. Bila misalnya pelajar
SLTA, atau bahkan SLTP--seperti yang bisa dijejaki di Jakarta
menelan obat-obatan dalam jumlah besar, dan berharap mendapat
pengalaman yang "lain", maka ini memang mode ugal-ugalan yang
lain lagi.
Di Kebun Raya Bogor, dua pasangan siswa SLTA dari Jakarta yang
bolos dari sekolah, tertangkap basah. Bukan saja mereka sedang
bercumbuan. Tapi mereka berasyik-masyuk sambil minum
Mogadon--sejenis obat penenang. Mereka digiring polisi.
Yang juga menarik adalah pengakuan mereka: obat itu yang hanya
bisa didapat dengan resep dokter mereka peroleh dari seseorang
tak dikenal yang menawarkannya untuk dibeli. Kalau itu benar,
berarti ada juga bisnis gelapnya-kecil-kecilan.
Dan memang, di Ciawi, Tasikmalaya, misalnya, seperti disiarkan
Pikiran Rakyat, pertengahan bulan ini ditangkap seseorang yang
mengedarkan kapsul Cosadon. Ia beroperasi di terminal, khususnya
kepada para remaja. Memang ia juga mengedarkan ganja--dan bahkan
dua orang penduduk di Majalengka, juga di Jawa Barat, diciduk
karena kedapatan menanam 500 pohon tersebut. Tapi munculnya
nama-nama obat penenang itu, sementara narkotik diketahui makin
sulit didapat, memang terasa aneh.
Lima hari sesudah berita tentang Kebun Raya Bogor itu--yang
terjadi pada 14 September--di gedung Yayasan Tenaga Kerja
Indonesia (YTKI) Jakarta diselenggarakan seminar yang juga
membicarakan masalah itu. Dr. Goeswin Agoes, dosen pada
Departemen Farmasi ITB yang kebagian makalah tentang topik
tersebut, tidak mengingkari adanya "eksperimen obat-obatan" di
kalangan remaja itu.
Hanya saja Goeswin menunjuk obat pada umumnya. Dikatakannya,
secara umum disebutkan oleh Goeswin yang sering disalahgunakan
bisa dibagi ke dalam empat kelompok. Kelompok narkotika,
misalnya morfin, heroin dan kodein -- ini yang terberat.
Kemudian kelompok sedativa, ialah segala obat tidur atau
penenang misalnya valium, mogadon dan sejenisnya. Kelompok
ketiga adalah obat-obatan yang digunakan untuk stimulans,
seperti amfetamine. Terakhir kelompok obat yang bisa menimbulkan
halusinasi pada peminumnya: LSD, marijuana, ganja.
Bagi Goeswin semua itu berbahaya-karena bisa menimbulkan
kematian jika peminumnya telah kecanduan benar dan akhirnya
meminumnya setiap hari. Memang ganja misalnya, termasuk yang
ringan. Tapi sebagaimana keingintahuan remaja dalam soal seks,
bila sudah sampai tingkat berciuman dan "lebih sedikit dari
itu", tingkat selanjutnya tinggal berjarak tipis.
Celakanya, "eksperimen" para remaja dengan obat-obat yang
gampang diperoleh di pasaran bebas, obat tidur atau obat
penenang misalnya, susah dikontrol. Goeswin pun, sayangnya,
takbermaksud menyediakan data seberapa banyak remaja yang
menyalahgunakan obat-obat ringan itu.
Mudah-mudahan saja gejala di atas tidak terlalu besar. Letkol
Pol. W. Silalahi, Komandan Satuan Pembinaan Remaja, Mahasiswa,
pelajar dan pemuda Kodak Metro Jaya yang juga hadir di seminar
di YTKI itu, masih merasa bersyukur -- bahwa kejahatan remaja
khusus dari jenis ini terhitung kecil. "Hanya sekitar 1% dari
kejahatan remaja jenis yang lain-lain, misalnya perkosaan,
perkelahian dan pencurian." Silalahi tentu sudah mengingat pula
anak-anak yang tertangkap di Bogor itu, maupun pengedaran
obat-obat tertentu di terminal misalnya--yang mudah-mudahan
memang hanya satu-dua dijumpai.
Tapi itulah, karena susah dikontrol penyalahgunaan obat-obat
"ringan" seperti yang dikatakan dr. Goeswin, seminar ini
setidak-tidaknya bolehlah dianggap sebuah lampu kuning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini