Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Bredel di Atas Perapian

Sejumlah buku dibakar massa di Jakarta dan Bandung. Inikah gaya sensor baru oleh masyarakat?

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


LAMAT-LAMAT, lidah api itu menjilat buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno. Di markas Gerakan Pemuda Islam (GPI) di kawasan Menteng, Jakarta, seorang lelaki maju ke muka podium membacakan orasi. Sedangkan tiga pria lainnya memusnahkan buku bersampul putih bergambar pemikir Jerman Karl Marx—di atas perapian yang telah disiapkan sebelumnya.

Acara pembakaran buku Franz Magnis pada 19 April lalu itu merupakan bagian dari gerakan melawan komunisme, yang dipelopori Aliansi Anti-Komunis (AAK)—aliansi yang diketuai tokoh milisi Timor Timur pro-Indonesia, Eurico Guterres. AAK menghimpun 33 organisasi massa seperti GPI, Front Hisbullah, dan Front Pembela Merah Putih. Tujuannya adalah membasmi komunisme, yang mereka anggap muncul lagi di Indonesia seiring dengan jatuhnya Soeharto dan terbukanya keran kebebasan berpendapat.

Salah satu sarana penyebaran ajaran komunisme itu adalah buku. "Pembakaran buku Franz Magnis-Suseno hanya merupakan simbol. Nantinya, semua buku komunis harus dimusnahkan karena meracuni generasi muda," kata H.M. Suaib Didu, Ketua Umum GPI. Apa yang dilakukan AAK mengagetkan banyak orang. Orde Baru memang kerap melarang peredaran beragam buku. Tapi, di masa yang jauh lebih terbuka sekarang, mengapa ada sekelompok orang yang merasa berhak memberangus buku tertentu?

Menurut AAK, penyebaran buku komunis sudah tak bisa ditolerir lagi. Buku berisi pemikiran Marxisme-Leninisme kini memang terpampang di banyak toko. Dengan berpatokan pada Ketetapan MPR Nomor 25 Tahun 1966 yang melarang penyebaran ajaran Marx dan Lenin, aliansi itu menilai tindakan mereka sah-sah saja. Organisasi itu berkeyakinan buku Magnis jelas-jelas memaparkan secara terbuka pemikiran Marx. "Saya sendiri baru membaca setengahnya, tapi beberapa rekan telah mendalaminya," kata Suaib.

Tampaknya, AAK serius dengan gerakan ini. Pada 20 Mei nanti, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, mereka berniat merazia toko-toko buku yang menjual karya-karya pemikiran kiri. Sebelumnya, selama 18 hari, sebuah tim yang terdiri atas 99 orang perwakilan organisasi yang bergabung dalam aliansi itu akan menyeleksi buku yang harus dimusnahkan—mengingatkan kita pada kerja Kejaksaan Agung di masa Orde Baru.

Tapi berhakkah mereka melakukan pembredelan? Inilah soalnya. Selain terkesan sepihak dalam menilai baik-tidaknya sebuah buku, aksi sweeping ke toko buku itu juga diperkirakan akan mengundang kekerasan. "Punya hak apa mereka melakukan itu? Mengatasnamakan siapa mereka itu?" kata Wandi S. Brata, Manajer Editorial dan Produksi PT Gramedia Pustaka Utama, penerbit buku Pemikiran Karl Marx.

Anggota DPR asal Partai Bulan Bintang, Abdul Qadir Djaelani, menyodorkan salah satu alasan. Pendukung AAK itu mengatakan, "Memasuki toko tanpa izin secara hukum ya salah. Tapi gerakan menghabisi buku-buku itu saya kira wajar-wajar saja. Itu hak asasi umat Islam," kata Qadir, tokoh yang pernah 20 tahun memimpin GPI. Dan gerakan ini tampaknya sudah merembet ke luar Jakarta.

Di Bandung, Rabu dua pekan lalu, aksi bakar buku sudah terjadi. Beberapa mahasiswa Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad), Bandung, membakar sejumlah karya penulis Lebanon, Kahlil Gibran, buku berjudul Chicken Soup for the Soul yang berisi kumpulan pengalaman hidup sejumlah orang, serta kaset musik Dewa 19. Alasannya unik: buku-buku itu dinilai terlalu diminati mahasiswa sehingga mereka seolah melupakan buku-buku lain. "Kami khawatir mahasiswa kemudian mengultuskan Gibran. Bersama komik-komik Jepang, buku Gibran dan Chicken Soup membuat mahasiswa tidak lagi mempedulikan buku kuliah," kata Alfred P. Singgih, mahasiswa yang menjadi salah seorang panitia aksi bakar buku tersebut.

Tak jelas dari mana Alfred memperoleh data bahwa mahasiswa Fikom Unpad saat ini tak lagi mau membaca buku teks kuliah. Yang pasti, argumen Alfred, juga AAK, terasa janggal. Sejarah telah membuktikan tindakan memberangus tak akan pernah mematikan riwayat ataupun popularitas sebuah buku. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Boris Pasternak, atau Solzhenitsyn (Rusia) terbukti tersohor di mancanegara karena dilarang di negerinya sendiri. Maka, pembakaran yang terjadi di Jakarta dan Bandung cuma akan menjadi upaya yang sia-sia dan ironis. Lagi pula, dapatkah sebuah perapian mencegah akses manusia kepada pengetahuan—lebih-lebih di zaman ini?

Arif Zulkifli, Dwi Arjanto (Jakarta), Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus