Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Penjara bagi Penilap Jamsostek

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARA-gara mau irit, akhirnya masuk bui. Jusni Alim, Direktur Utama PT Innovalue Technology, pekan lalu masuk bui dengan tuduhan menilap uang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) milik karyawannya.

Ihwal terperosoknya Jusni Alim itu berawal dari pengaduan Apriani Indrawati Sihombing, salah satu karyawannya, awal Desember tahun lalu. Merasa dirugikan, pegawai PT Innovalue itu melaporkan bosnya ke polisi. Menurut Apriani kepada polisi, gajinya bulan Oktober dan November 2000 dipotong perusahaan Rp 17 ribu untuk Jamsostek. Belakangan ketahuan bahwa hasil keringatnya itu ternyata tidak dibayarkan Jusni ke Jamsostek.

Atas laporan itu, polisi kemudian melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Sejak akhir Februari lalu, kasus tersebut mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Kota Batam. Majelis hakim yang diketuai Agus Iskandar, Senin dua pekan lalu, akhirnya menjatuhkan vonis hukuman penjara 3 tahun.

Putusan itu dinilai penasihat hukum Jusni tidak mencerminkan asas keadilan. Selain itu, dalam kasus kliennya itu ada beberapa kejanggalan. "Mengapa Apriani, saksi pelapor, tidak pernah dimintai keterangan dan dihadirkan selama sidang berlangsung," kata Ramses M.W. Sibarani, salah satu pengacara terpidana. Menurut Sri Rahayu Wijayanti, Asisten Manajer PT Innovalue, Apriani sejak 12 Desember 2000 sudah tidak pernah masuk kerja. "Gajinya yang bulan itu juga tidak diambil," katanya.

Keanehan lain, baik jaksa maupun hakim tidak memperhatikan surat keterangan dari pihak Departemen Tenaga Kerja Batam. Pada 31 Maret lalu pihak Depnaker mengirim surat ke Kepala Kejaksaan Negeri Batam. Isinya, berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, Jusni Alim tidak cukup bukti melakukan pelanggaran. Karena itu, pihak Depnaker menghentikan penyidikan kasusnya.

Selain itu—setelah muncul pengaduan tersebut—pihak perusahaan melakukan pembayaran ke Jamsostek berikut dendanya pada Januari 2001. Hal itu dibenarkan oleh Hardi Yuliawan, Kepala Jamsostek Cabang Batam. "Niat baik dari perusahaan memang ada," katanya. Lagi pula, menurut Hardi, pembayaran Jamsostek memang bisa berlaku surut atau dibayar pada bulan berikutnya.

Karena berbagai kejanggalan itulah Jusni curiga. "Sejak awal pemeriksaan, saya sudah merasa ada semacam rekayasa," katanya kepada TEMPO di Rumah Tahanan Baloi, Batam, Rabu pekan lalu. Dugaan ada permainan itu menguat setelah ada surat dari pengurus PDI Perjuangan tertanggal 1 Maret 2001 kepada Kepala Poltabes Barelang dan Kepala Kejaksaan Negeri Batam. Surat yang ditandatangani Jahar Harahap—anggota fraksi—dan Rusman Lumbantoruan, wakil sekretaris fraksi, itu berisi permintaan agar aparat hukum di daerah itu segera memproses pelanggaran PT Innovalue. Ramses menduga ada motif persaingan bisnis.

Benarkah? Meski membenarkan keberadaan surat tersebut, Jahar Harahap membantah adanya rekayasa. Surat tersebut, menurut Jahar, sebagai bentuk perhatian dirinya terhadap nasib para buruh. Apalagi dia mewakili daerah pemilihan Riau. "Sebelum berkirim surat, saya sudah menanyakan soal itu kepada Kepala Jamsostek Batam, dan ia membenarkan PT Innovalue tidak membayar," katanya. Januari silam, ketika masa reses, Jahar dan beberapa anggota DPR memang berkunjung ke Batam.

Lantas, apa pertimbangan vonis hakim itu? Agus Iskandar menolak berkomentar. Sebab, menurut dia, ketika itu sidangnya sudah terbuka. Bahkan, ketika ditanya mengapa Apriani, saksi pelapor, tidak dihadirkan di persidangan, ia hanya menjawab singkat, "Saya tidak bisa berkomentar tentang hal itu," katanya.

Atas putusan tersebut, pihak Jusni berniat banding dan mengadukan kasus tersebut ke Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Baharuddin Lopa. Tidak hanya itu. "Saya akan mogok makan di depan Istana Wakil Presiden sampai bisa mengadukan kasus itu ke Megawati," kata Yoeni Alias, istri Jusni Alim.

Ambon

GERAKAN Republik Maluku Selatan (RMS) rupanya tidak lenyap bersama dengan meninggalnya pencetusnya, C.H. Soumokil. Paling tidak, semangat untuk menghidupkan gerakan itu masih melekat pada segelintir warga Ambon. Buktinya, Rabu pekan lalu, sekitar 200 orang dari Front Kedaulatan Maluku menggelar upacara pengibaran bendera RMS.

Acara yang diselenggarakan di kawasan Kudamati, Kecamatan Nusaie, Ambon itu dimaksudkan untuk memperingati proklamasi RMS pada 25 April 1950. Layaknya sebuah upacara kenegaraan, mereka juga menyanyikan lagu kebangsaan. Selain bendera RMS, ikut pula dikibarkan bendera Merah Putih dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pidato pembukaan dibacakan oleh Alex Manuputty, yang berindak sebagai pemimpin eksekutif. Sedangkan Semmy Waelerunny, yang didaulat sebagai pemimpin yudikatif, membacakan teks kemerdekaan.

Pada saat prosesi pengibaran bendera sedang berlangsung, terlihat empat truk polisi dari Polda Maluku mengepung tempat upacara. "Demi hukum, kami harus menurunkan bendera tersebut," kata Komisaris Polisi John Maitimu, yang memimpin operasi pengamanan itu. Tanpa perlawanan, upacara itu akhirnya dibubarkan dan polisi menyita bendera RMS. Yang penting, "Momen penting untuk memperingati kemerdekaan rakyat Maluku sudah tercapai," kata Manuputty kepada TEMPO.

Selain untuk peringatan proklamasi RMS, menurut Manuputty, kegiatan itu juga sebagai ungkapan protes Front Kedaulatan Maluku kepada pemerintah pusat, yang tidak kunjung menyelesaikan gejolak di sana. "Padahal, sudah ribuan warga etnis Maluku tewas secara sia-sia," ujarnya. Untuk itu, beberapa tuntutan mereka ajukan, seperti penarikan pasukan laskar jihad dan intervensi PBB.

Sebenarnya, melihat jumlah peserta upacara, gerakan ini tergolong kecil. Namun, rencana aksi pengibaran bendera RMS ini telah membuat Ambon gonjang-ganjing sejak awal April lalu. Karena itulah Gubernur Maluku, M. Saleh Latuconsina, selaku penguasa darurat sipil di sana, pertengahan April lalu sudah mengeluarkan surat keputusan pelarangan aktivitas Front Kedaulatan Maluku.

Lalu mengapa aksi ini hanya ditindak dengan penyitaan bendera? "Diamankannya bendera itu untuk menambah barang bukti kasus makarnya Alex Manuputty," kata Kapolda Maluku, Brigjen Firman Gani, yang menolak tuduhan bahwa aparat keamanan bertindak tidak tegas dalam kasus ini.

Semarang

ISTILAH wartawan amplop sudah kerap didengar, tapi yang terjadi di Semarang adalah wartawan perampok. Ini dalam arti sesungguhnya. Tiga dari lima pelaku perampokan pengusaha tekstil di kota itu ternyata berprofesi wartawan. Jabatannya pun tak main-main. Wagiman Suyanto, Setoaji, dan Khambali adalah pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan reporter tabloid Kudus Pos. Tersangka lainnya adalah Edy Sunaryo, mantan residivis. Keempatnya dibekuk polisi, sedangkan satu orang masih buron. Kabar ini disampaikan Kepala Poltabes Semarang, Komisaris Besar Halba Lubis Nugroho, Selasa pekan lalu.

Aksi perampokan itu sendiri terjadi pada dini hari, 10 April silam. Bersenjata pistol, lima perampok berhasil menyatroni rumah Yohanes Setiadarma—pengusaha tekstil—di Jalan Sultan Agung, Semarang. Tanpa perlawanan berarti dari pemilik rumah, perampok tersebut berhasil menggondol sejumlah perhiasan senilai Rp 500 juta.

Tiga hari kemudian, polisi berhasil meringkus para wartawan yang sudah beralih profesi itu. Wagiman ditangkap di rumahnya di Desa Pasuruhan Lor, Kudus, berdasarkan informasi tiga tersangka lainnya yang dibekuk lebih dahulu. Sedangkan satu pelaku yang kini masih buron disinyalir seorang aparat keamanan. Dari mana para wartawan itu tahu soal harta Yohanes? Ternyata, Wagiman pernah menjadi pengacara PT Colombo, perusahaan tekstil milik Yohanes.

Makassar

SIDANG istimewa bukanlah monopoli anggota MPR di Jakarta. Paling tidak, itu pendapat puluhan pengacara di Makassar. Kamis pekan lalu, para penasihat hukum yang tergabung dalam Aliansi Moral Pengacara Sulawesi Selatan itu menggelar aksi demo dengan melakukan simulasi sidang istimewa.

Seperti galibnya Sidang Istimewa MPR, para pengacara itu ada yang memerankan Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Megawati, serta ketua fraksi-fraksi di MPR. Sidang dalam Gedung DPRD Sulawesi Selatan di hadapan sejumlah wakil rakyat daerah dan ratusan warga itu memutuskan Gus Dur harus lengser. "Sidang itu merupakan simbolisasi hasil Sidang Paripurna DPR 30 April mendatang," kata A. Rudianto Asapa, Presiden Makassar Lawyers Club.

Usai sidang, para pengacara itu membentangkan spanduk 1.000 meter yang berisi tanda tangan warga. Isinya, menolak kepemimpinan Abdurrahman Wahid. "Masyarakat Sulawesi Selatan sudah tidak percaya lagi pada Gus Dur," kata Tadjuddin Rachman, salah satu pengacara.

Mataram

CERITA buruk yang menimpa para tenaga kerja Indonesia masih mewarnai aliran uang hasil bekerja di negeri asing. Kamis pekan lalu, misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Apik NTB mendapat pengaduan dari 40 TKI yang mengalami perlakuan buruk dari majikannya di luar negeri.

Kasusnya sendiri bermacam-macam, dari gaji yang tidak dibayar sampai dipaksa melayani nafsu seksual anak majikannya. Akibat perlakuan seperti itu, ada di antaranya yang mengalami gangguan jiwa. "Ada dua TKI dari Taliwang, Sumbawa, yang gila, suka telanjang dan menunjuk-nunjuk vaginanya," tutur Beauty Erawati, Direktur LBH Apik NTB.

Berdasarkan pengaduan itu, LBH Apik mengirim surat pengaduan ke kedutaan besar negara tempat mereka bekerja, antara lain Arab Saudi, Malaysia, dan Brunei Darussalam. "Tapi hingga kini kami masih belum mendapat tanggapan balik," kata Beauty, Rabu pekan lalu.

Tanggapan serupa juga belum keluar dari instansi terkait. Departemen Tenaga Kerja serta pemerintah daerah belum memperhatikan para penyumbang devisa negara itu. Ironis. Sebab, menurut Gubernur NTB, Harun Al Rasyid, selama dua tahun terakhir para TKI asal provinsi tersebut rata-rata menyumbang Rp 1,2 miliar per hari. Menurut data yang ada di Kanwil Departemen Tenaga Kerja setempat, saat ini jumlah TKI asal NTB yang bekerja di luar negeri sekitar 52 ribu orang.

Atambua

Bagi Uskup Atambua dan pemimpin gereja lokal, hadirnya TNI dalam jumlah besar justru akan memicu kerusuhan. Karena itu, rencana TNI membangun markas Batalyon Infanteri (Yonif) 744 di Atambua dan Kompi 744 di Kefa mereka tolak.

Menurut Mgr. Antonius Pain Ratu, Uskup Atambua, penolakan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa sebelum ada markas TNI, masyarakat setempat selalu aman dan hidup rukun. "Setelah ada TNI dalam jumlah banyak, wilayah tersebut justru menjadi asing bagi warga," katanya.

Kendati demikian, Anton membenarkan bahwa kehadiran TNI di wilayah tersebut sah-sah saja. "Tetapi tidak beralasan kalau sampai membangun markas," kata uskup yang mempunyai wilayah pastoral meliputi Atambua, Belu, dan Kefa itu.

Semenjak suasana politik di Timor Timur memanas, keamanan wilayah perbatasan seperti Belu memang menjadi perhatian TNI. "Kita tidak perlu takut dengan Timor Loro Sa'e," kata Anton. Atas penolakan kedua pemimpin Gereja Katolik itu, akhirnya Pemda Kabupaten Timor Tengah Utara, Rabu pekan lalu, memutuskan memindahkan markas tentara itu ke Tub'ana.

Johan Budi S.P. dan kontributor daerah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus