Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sastra Betawi: Catatan Puitis Seorang Highlander

Lewat buku Mesigit, Chairil Gibran Ramadhan mengabadikan muhibah sejarahnya dalam rangkaian puisi yang mendekati bentuk sketsa. 

4 Januari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ondel-ondel Betawi di Jakarta, 1900. KITLV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sastrawan Betawi Chairil Gibran Ramadhan mengabadikan muhibah sejarahnya dalam rangkaian puisi.

  • Chairil tetap istikamah dan keras kepala di jalur sastra Betawi saat ini.

  • Sastra Betawi kontemporer diwakili oleh Zen Hae, Zeffry Alkatiri, dan Chairil Gibran.

MEMBACA Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta, kita seakan-akan dipaksa untuk mengakui bahwa penulisnya, Chairil Gibran Ramadhan, adalah seorang highlander.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ya, sosok dalam serial televisi The Highlander pada 1980-an yang mengisahkan orang-orang yang hidup sepanjang ribuan tahun seraya menembus lorong waktu: hinggap dari satu gejolak sejarah ke gejolak sejarah lain. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dan, Chairil Gibran Ramadhan (CGR), dengan kumpulan puisinya itu, terbang jauh ke masa lampau. Dengan puisinya, dia hinggap dan menyelami era awal kolonial, manakala Jan Pieter Zoon Coen meletakkan batu pertama untuk menguasai negeri pada 1619. Dari sejarah kolonial, CGR meneruskan perjalanannya ke setting Betawi yang lebih kontemporer, dari 1940 sampai 1980, dalam bagian kedua bukunya. 

CGR tidak hanya “hinggap” di masa-masa tertentu itu, tapi juga berusaha menyelami, bahkan menyesuaikan puisi historisnya dengan gaya bahasa yang berlaku pada saat kejadian, juga menyesuaikannya dengan ejaan pada abad ke-17, abad ke-18, abad ke-19, masa kemerdekaan, plus masa Orde Baru. Dari ejaan Van Ophujsen (1901), ejaan Suwandi (1947), sampai Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD - 1972). Kata “mesigit”—kadang misigit atau missigit—sendiri dipakai untuk menyebutkan masjid di masa lalu.

Harus diakui kegigihan dan ketekunan penulis yang satu ini untuk mengarungi lorong waktu di tanah Betawi. Termasuk ketekunannya yang luar biasa ketika menuliskan rangkaian catatan kaki secara jelas dan jernih. 

Mesjid Jam Al Atiq di Kampung Melayu, Jakarta Selatan. Dok.Kominfotik Jaksel

Dari apa yang ditulisnya, tampaklah bahwa CGR bukan sosok Si Doel dalam Si Doel Anak Betawi karya Aman Datuk Madjoindo. Jika Si Doel ibarat agen modernisasi yang akan membebaskan tanahnya dari gelapnya kekolotan, CGR justru menegaskan bahwa “yang primordial” dan “yang kosmopolit” jalan bersama di tanah Betawi ini.

Jakarta pada abad ke-17 dan ke-18 tetap merupakan melting pot, persinggahan banyak orang dan banyak bangsa. Sementara Belanda meninggalkan Gereja Immanuel dan Portugis mewariskan Gereja Sion, hampir setiap tokoh atau kelompok di luar keduanya yang pernah menetap atau singgah di kota ini meninggalkan kenang-kenangan berupa masjid. Di sinilah “yang kosmopolit” dan “yang primordial” hidup berdampingan. 

Bertarikh 1630, Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta bagian satu menyebutkan Masjid Al Atiq, masjid yang didirikan Sultan Banten Maulana Hasanudin di tepi Sungai Ciliwung, Kampung Melayu. Dulu beratap kayu sirap, tapi sekarang sudah tidak lagi, demikian puisi berjudul Al Atiq. 

Sedangkan puisi bertarikh 1717 menyebutkan pasukan Mataram yang pada 1628 menginjakkan kakinya di kota ini juga mendirikan sebuah masjid. Masjid Al Mansur di Kampung Lio, Jembatan Lima. Pendirinya Abdul Muhith, seorang anak bangsawan Mataram yang tiba di tanah ini pada suatu subuh, kata CGR dalam puisinya. Ada juga dua makam prajurit Mataram di kompleks masjid, memperkuat penanda kehadiran Mataram di tanah ini. 

Mungkin ini sedikit-banyak juga memperlihatkan karakter masyarakat Betawi pada saat itu yang tak pernah anti-pendatang, anti-imigran, apalagi rasis. Dan CGR, dengan gaya serta ketekunannya yang istimewa, lalu mencatat semua ini dalam puisi-puisinya mengenai masjid-masjid bersejarah. 

Buku Mesigit karya Chairil Gibran Ramadhan. Foto: Idrus Shahab

CGR mengabadikan muhibah sejarahnya dalam rangkaian puisi yang mendekati bentuk sketsa. Jadi bukan puisi esai seperti yang disampaikan seorang kawan. Dikatakan puisi esai mungkin karena CGR senantiasa membubuhkan catatan kaki dengan penjelasan yang lengkap dalam tiap-tiap puisinya. Namun inilah puisi yang sarat akan lirisisme yang biasanya absen dalam puisi-puisi esai. Dia mendekati bentuk coretan sketsa yang menangkap panorama (historis) sejumlah masjid dan rangkaian ritual dalam Islam. 

CGR menangkap fenomena atau obyek di hadapannya, menginternalisasikannya, melukiskannya dalam puisi yang berbentuk sketsa. Mungkin tidak obyektif, tapi dia berhak menafsirkan sang obyek menurut hasil pengendapan pikirannya sendiri. Hasilnya, puisi-puisi dengan lirisisme yang memikat, terdiri atas tiga sampai belasan baris, acapkali sublim, sesekali mengejutkan. 

Mengejutkan? Lihat saja puisi berjudul Tasbeh di bagian kedua Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta yang bertarikh 1974 sebagai contoh. Sajak yang dibuka dengan lukisan bersahaja: anak-anak pergi mengaji, beriringan di tepi kali kecil, dengan tasbeh kayu gaharu dan juz amma hijau di dekapan. Narasi yang sekonyong-konyong “banting setir”. CGR tiba-tiba berbicara soal kerusuhan pada 1974: “Mobil Jepang dibakar orang di Jakarta Raya,” katanya menutup puisi. 

Peristiwa Malari meletus pada 15 Januari 1974. Demonstrasi damai anti-modal asing (Jepang) itu berakhir dengan sejumlah gedung dan kendaraan dibakar serta sejumlah aktivis ditangkap pemerintah Orde Baru. 

Mobil yang dibakar saat terjadi peristiwa Malari di Jakarta, 15 Januari 1974. Dok.TEMPO/Syahrir Wahab

Ada puisi Tasbeh, Ngaji, dan beberapa puisi lain yang mengandung surprise seperti itu. Kejutan di pengujung cerita adalah gaya yang dipopulerkan oleh penulis naskah drama dan esais Arthur Miller di Amerika Serikat pada 1940-1950-an. Gaya yang pengaruhnya kemudian sangat terasa di kalangan penulis-penyair Indonesia pada 1970-an. 

Kehadiran Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta di tengah-tengah kita ibarat hujan pertama setelah kemarau panjang. Dia membawa kesegaran. Entah kenapa, di antara tiga serangkai sastrawan muda yang menghidupkan sastra Betawi pada 1990-an—Zeffry Alkatiri, Zen Hae, dan Chairil Gibran Ramadhan—hanya CGR seorang yang tetap “istikamah”, tetap “keras kepala” di jalur sastra Betawi saat ini.

***

INILAH Jakarta pada dasawarsa 1990-an. Era kebangkitan identitas lokal, termasuk etnik—sebagaimana diproklamasikan oleh Samuel Huntington dalam The Clash of Civilization—seakan-akan cuma numpang lewat di tanah ini. Wafatnya para senior, seperti Firman Muntaco dan S.M. Ardan, meninggalkan kevakuman pada dasawarsa 1990-an dalam sastra Betawi.

Keprihatinan ini tampaknya bisa dilupakan sejenak karena elemen-elemen pendukung kebangkitan berserakan di depan mata. Betawi sebagai bahasa lisan tidak sedang tenggelam. Aneka ungkapan Betawi muncul dalam bermacam bidang, termasuk politik: ingat bagaimana Riziq Shihab mengingatkan kembali ungkapan Betawi “ente jual, ane beli”. Kini istilah Betawi bermunculan di layar kaca: suatu medium yang sangat menentukan tinggi-rendah popularitas seseorang ataupun karya. 

Namun tiada yang mengisi kevakuman di dunia sastra—sampai akhirnya muncul tiga serangkai anak muda di atas yang memiliki karakter penulisan yang sama. 

Sastra Betawi, paling tidak sastra Betawi mutakhir (kontemporer) yang diwakili oleh Zen Hae, Zeffry Alkatiri, dan Chairil Gibran, tidak pernah jatuh menjadi “sastra Malin Kundang”, yakni sastra yang menampik-menegasikan identitas asal (ibu, tanah air, kampung halaman), seraya mengukuhkan dirinya sebagai sastra yang terbuka terhadap segalanya di luar tradisi tersebut, atau bagian dari identitas barunya. 

Identitas Betawi hadir secara mencorong dalam karya-karya memikat, seperti Kisah Pejalan dari Hadrami karya Zeffry, Rumah Kawin-nya Zen, dan Sebelas Colen di Malam Lebaran-nya Chairil. Karya mereka sangat serius, terkadang surealis, menyentuh wilayah-wilayah mitos, folklor, sejarah, budaya, bahkan politik.

Tak diragukan lagi, identitas Betawi dalam karya mereka justru memperkaya khazanah sastra nasional. Semoga Mesigit: Setangkle Puisi Sejarah & Budaya ~ Betawi, Batavia, Jakarta bukan karya penutup masa keperkasaan tiga serangkai Zeffry, Zen, dan Chairil.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus