Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padang, 1920.
Lembar-lembar kuitansi masih menumpuk di atas meja. Zainab (Laudya Cintya Bella) tampak gelisah. Tangannya sibuk mencatat angka-angka di kuitansi itu di sebuah buku. Sebentar lagi kelompok Hamid (Herjunot Ali), lelaki yang dicintainya, akan bertanding debat di surau kampung. Tiba-tiba Rosna (Niken Anjani), sahabatnya, datang dan mengajak Zainab menyaksikan debat itu.
"Aku tahu, Ros. Tapi aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dulu," kata Zainab, yang kemudian cepat-cepat menyelesaikan penyalinannya. Setelah kerjanya selesai, keduanya buru-buru ke surau naik sepeda. Zainab memacu sepedanya melintasi jalan-jalan kampung. Dia harus menyaksikan sang kekasih pujaannya beraksi. Tapi kebut-kebutan itu bermuara bencana. Zainab tak dapat mengerem sepedanya dan tercebur ke sungai di samping surau.
Kehebohan pecah. Orang-orang yang sedang menyaksikan debat di surau berhamburan keluar dan berkerumun di tepi sungai, termasuk ayah Zainab, Engku Ja’far (Didi Petet), dan Rustam (Leroy Osmani), kerabat jauh Ja’far. Zainab tenggelam. Entah mengapa, semua orang hanya terpaku bisu. Hanya Hamid yang segera bertindak. Pemuda itu melompat masuk ke sungai, mencari Zainab, menemukannya, dan menyeretnya ke tepi. Tubuh Zainab diam, seakan-akan tak bernyawa. Hamid pun segera bertindak dengan memberinya bantuan pernapasan melalui mulut. Berhasil. Zainab tersedak dan nyawanya selamat.
Tapi, di mata warga kampung, Hamid bukanlah pahlawan. Dia malah dinilai sudah melanggar adat dan agama dengan mencium perempuan yang bukan haknya. Keputusan para tetua kampung tegas: Hamid diusir dari kampung itu.
Itulah adegan puncak di pertengahan film Di Bawah Lindungan Ka’bah produksi MD Pictures yang sedang ditayangkan di berbagai bioskop di Tanah Air. Film itu diangkat dari novel klasik berjudul sama karya Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), ulama asal Sumatera Barat dan sastrawan angkatan Balai Pustaka. Kalau pernah membaca novelnya, Anda niscaya tak akan menemukan adegan tersebut. Adegan itu memang rekaan sutradara Hanny R. Saputra bersama penulis skenario Titien Wattimena dan Armantono. Konflik itu dimunculkan untuk menyiasati naskah Hamka yang ringkas (hanya sekitar 60 halaman). "Cerita novel itu datar sekali," kata Hanny. Padahal, bagi Hanny, film butuh konflik yang jelas agar terlihat seru.
Dalam hal ini, Hanny berupaya membuat ceritanya lebih menarik, meskipun adegan seperti itu bukan barang baru di dunia film. Perlu diingat, setting novel dan film ini adalah masa penjajahan Belanda di Indonesia pada 1920-an. Dari mana Hamid belajar pemberian bantuan pernapasan darurat? Pada masa itu, teknik ini baru dikenal di kalangan dokter. Itu pun populer setelah Peter Safar, ahli anestesi Amerika Serikat, melakukan eksperimen terhadap berbagai metode bantuan pernapasan, hingga akhirnya pemerintah Amerika memperkenalkannya ke masyarakat pada 1970-an.
Seorang perempuan Minang juga memprotes adegan pengusiran itu. "Tak ada hukuman pengusiran dalam adat Minang," katanya dalam diskusi film ini di Universitas Al-Azhar, Jakarta, pertengahan Agustus lalu.
Selain adegan itu, ada beberapa anakronisme atau kemunculan hal-hal yang menyalahi masanya di film ini. Penonton, misalnya, akan melihat ada obat nyamuk bakar merek Baygon dan camilan Kacang Garuda di rumah Zainab dan Hamid, padahal benda-benda ini belum diproduksi pada waktu itu. Produser film ini, Manoj Punjabi, mengaku harus memasukkannya untuk memperoleh pendapatan dari iklan. "Memang mengganggu, sih. Ya, itu bagian ketawa-ketawa saja," kata sutradara Hanny. Tapi bukankah ini menyesatkan konteks sejarah film itu sendiri?
Film ini, kata Hanny, merupakan adaptasi dari novel Hamka dengan beberapa pengembangan. "Jalur cerita masih sama, tapi ada penekanan yang didramatisasi saja," ujar alumnus Institut Kesenian Jakarta yang sebelumnya dikenal antara lain menghasilkan film Virgin (2004), Mirror (2005), Heart (2006), dan Love is Cinta (2006) itu. Lantas macam apa adaptasi itu dilakukan?
Novel Hamka yang pertama kali terbit pada 1938 itu berpusat pada kisah kasih tak sampai antara Hamid dan Zainab. Hamid adalah anak yatim yang hidup bersama ibunya (Jenny Rachman) yang miskin. Dia berhenti sekolah dan mencari uang dengan berjualan pisang goreng hingga akhirnya berkenalan dengan Mak Asiah (Widyawati), tetangga barunya yang jatuh kasihan padanya; Engku Ja’far, suami Asiah; dan Zainab, putri tunggal Asiah. Engku Ja’far kemudian membantu keluarga Hamid dengan mempekerjakan ibu Hamid dan membiayai Hamid bersekolah di HIS dan MULO. Hubungan kedua keluarga itu begitu dekat hingga Hamid dan Zainab laiknya kakak-adik.
Engku Ja’far kemudian membiayai Hamid bersekolah ke Padang Panjang (dalam film disebut Perguruan Thawalib, yang tampaknya merujuk pada sekolah agama Sumatera Thawalib, yang didirikan Abdul Malik Amrullah, ayahanda Hamka). Sedangkan Zainab, sesuai dengan adat, mulai dipingit sampai datang orang melamarnya. Perpisahan inilah yang membuat Hamid menyadari betapa dia telah mencintai Zainab. Belakangan diketahui pula bahwa Zainab menaruh perasaan padanya. Namun perbedaan kelas sosial di antara keduanya menjadi tembok penghalang cinta dua sejoli ini. Tembok itu semakin tebal kala Zainab hendak dinikahkan dengan anak saudara Ja’far yang sedang bersekolah di Jawa. Saat itu Ja’far baru saja meninggal dan perkawinan ini dilakukan agar harta keluarga Ja’far tetap dijaga keluarganya sendiri.
Hamid terpukul oleh rencana perkawinan itu dan makin menderita karena ibunya pun wafat. Dia lalu diam-diam berangkat ke Kota Padang dan terus ke Medan, Singapura, Bangkok, India, Mesir, Irak, dan akhirnya bermukim di Tanah Suci. Setiap hari ia beriktikaf di Masjidil Haram. "Di sinilah saya selalu bertafakur memohon kepada Tuhan seru sekalian alam supaya Ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati menghadapi kehidupan," kata Hamid. Cerita ini ditutup dengan meninggalnya Zainab di kampung dan wafatnya Hamid di kaki Ka’bah di Mekah.
Film sepanjang dua jam lebih ini memangkas kisah masa kecil Hamid dan langsung masuk pada cerita Hamid berangkat ke Padang Panjang. Dia juga digambarkan sebagai siswa terbaik di Thawalib dan kemudian menjadi guru mengaji di kampung. Hanny Saputra juga menambahkan adegan percintaan jadul rekaannya untuk menggambarkan gelora cinta kedua tokoh utamanya. Ada adegan, misalnya, Hamid mengirim surat kepada Zainab dengan meletakkan surat itu di sabut kelapa yang dihanyutkan di hulu sungai dan ditangkap Zainab di hilirnya. Zainab dan Hamid juga saling merayu dengan dibatasi pagar kayu. Hanny juga memerinci hubungan cinta Saleh (Tarra Budiman) dan Rosna, yang dalam novel baru muncul sebagai suami-istri di bagian akhir cerita.
Pada saat klimaks adegan pengusiran Hamid itulah alur cerita mulai bergeser. Hamid digambarkan jadi kuli angkut barang di stasiun. Tapi dia sempat mudik ketika ibunya dikabarkan sakit, dan sang ibu akhirnya meninggal di pangkuannya ketika ia membawanya pulang ke rumah dengan pedati. Adegan dramatis ini seharusnya dapat menyentuh bila saja tak berlama-lama dan dipenuhi percakapan panjang.
Film ini pada akhirnya hanya menjadi film percintaan remaja berbau Islam, jauh dari konsep cinta yang lebih dewasa yang dipaparkan Hamka. Sementara Hamka menggambarkan azab yang ditanggung Hamid dengan kental sejak bab pertama novel, film ini lebih banyak menyoroti gadis dan perjaka yang bertangis-tangisan terus—gaya sinetron televisi. Akting Herjunot dan Bella juga tidak menjanjikan apa-apa, kecuali wajah rupawan dan popularitas yang mungkin ditunggu-tunggu para penonton remaja.
Perjalanan film ini cukup panjang. Produksinya sempat macet hingga tiga tahun dan berganti dari satu sutradara ke sutradara lain sebelum jatuh ke tangan Hanny Saputra. Manoj Punjabi mengaku telah menggelontorkan Rp 24 miliar—film Indonesia termahal saat ini. Bandingkan dengan Ayat-ayat Cinta (Rp 15 miliar) atau Ketika Cinta Bertasbih (Rp 20 miliar). Menurut dia, besarnya biaya itu karena mereka harus membuat berbagai set, termasuk surau di Solok dan Ka’bah dari era masa itu, serta kebutuhan artistik lainnya, seperti busana dan teknologi komputer.
Menurut Manoj, proses film ini menjadi lama karena terbentur pada pemahaman karya Hamka yang lumayan sulit. "Perlu imajinasi yang tinggi untuk memahami karya Hamka. Pematangan skenario saja perlu waktu satu setengah tahun. Ada sedikitnya 15 skrip pada mulanya," kata Presiden Direktur MD Entertainment itu.
Ahli waris Hamka, H Afif Hamka, menyadari novel Hamka memang sukar diangkat ke layar lebar. Selain ceritanya minim, kata dia, gagasan Hamka tak mudah dipahami, termasuk ketika digarap Asrul Sani. Asrul mengangkat novel ini menjadi film Para Perintis Kemerdekaan pada 1981, tapi mengadaptasinya cukup jauh dari cerita asli. Alasan Asrul, ia juga menggabungkannya dengan karya Hamka yang lain, Ayahku, yang memaparkan pergolakan agama dan kebangsaan rakyat Minang, dan sumber-sumber lain (Tempo, 3 Oktober 1981). Di film itu, tokoh Zainab dan Hamid digusur menjadi pendukung belaka dan cerita lebih menonjolkan beberapa tokoh pejuang kemerdekaan, terutama kisah Halimah, tokoh ciptaan Asrul, yang dihukum karena menyeleweng dan belakangan dilempari batu oleh penduduk Kota Padang karena berniat keluar dari agama Islam. Dalam suratnya, Hamka memprotes Asrul Sani dan merasa keberatan namanya dicantumkan dalam film tersebut.
Karena itulah Afif tak kaget kala melihat film versi baru ini juga mengalami pengembangan yang cukup berarti. "Buku setipis ini memang susah divisualisasi. Dan ini luar biasa bumbu-bumbunya," ujar anak kesembilan Hamka ini.
Menurut Afif, kontroversi bisa saja muncul saat film hadir di bioskop, karena di kalangan keluarga Hamka pun perbedaan pandangan sudah muncul. Anak-anak muda di keluarganya, kata dia, lebih senang dengan versi film yang sekarang, tapi ada pula yang menilai film ini tidak mencerminkan pandangan Hamka. "Saya secara pribadi bersikap terbuka. Kalau terjadi kontroversi, ya, biarkan saja, karena ini tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Yang penting, ada benang merahnya," kata Afif.
Kurniawan, Suryani Ika Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo