Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERANG itu bersumber dari Sungai Gumelem. Aliran sungai selebar enam meter ini menggerakkan kincir-kincir yang dipasang di tepiannya, menyalakan lampu di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara. Gratis tanpa iuran bulanan.
Permukiman itu menikmati setrum sejak 1991, jauh lebih dulu ketimbang tetangga-tetangganya di Pegunungan Serayu, Jawa Tengah. Seorang warga, Wirya Sukadi, membuat pembangkit listrik dari teknologi rumahan, menyontek prinsip kerja generator diesel. "Mesin diesel diganti dengan kincir air," ujar kakek 73 tahun itu kepada Tempo di kediamannya beberapa waktu lalu.
Cara membuatnya sederhana. Baling-baling dari drum bekas ditempatkan di bibir sungai dan menggerakkan turbin. Turbin terhubung ke velg sepeda yang berputar lebih cepat dan memutar dinamo. Dinamo terdiri atas gulungan dengan kawat satu kilogram dan dua magnet. Dinamo inilah yang menghasilkan listrik. Cuma perlu kabel untuk menyambungnya ke rumah warga. Satu kincir cukup untuk lima lampu, sekitar 225 watt.
Awalnya tetangga mencibir pekerjaan Wirya. Namun, setelah rumah mereka terang, mereka malah minta dibuatkan mesin serupa. Satu unit dipatok Rp 1,5 juta, di luar ongkos kerja Rp 275 ribu. Bisa dipakai bareng oleh dua rumah. Dia pun kebanjiran pesanan, sampai 150 unit. Kebanyakan konsumen puas. Dato, kepala desa, yang jadi pemesan awal, mengatakan pembangkit made in Gumelem itu awet. Kalaupun ada kerusakan, itu sebatas mengganti karet turbin—terbuat dari ban bekas—yang aus.
Teknologi buatan jebolan sekolah rakyat itu memang sederhana. Setrum dialirkan langsung dari sumber ke perangkat elektronik, sehingga besarannya pun mengikuti mood Sungai Gumelem. Kalau debit sungai kencang, lampu menyala terang. Tapi, jika sungai sedang angot, lampu meredup.
Untuk menyaksikan Sule cs ngebanyol di televisi, perlu pengorbanan dengan membiarkan ruangan jadi gelap. Itu pun masih ditambah penstabil daya. Tanpa stabilizer, gambar televisi bergelombang. Pak Kades Dato memperingatkan warganya agar memperhatikan kestabilan arus listrik saat menyalakan televisi. "Pernah ada yang baru beli televisi, langsung rusak," katanya. Saat itu debit tinggi sehingga arus yang masuk kelewat besar.
PLN mencapai desa itu Desember tahun lalu. Warga beramai-ramai beralih ke setrum negara, termasuk Wirya. Namun ada 30-an keluarga yang setia dengan listrik dari Gumelem. Alasannya, seperti dikemukakan Paryati, 50 tahun, tidak perlu bayar iuran.
Seribu lima ratus kilometer dari Gumelem Kulon, warga juga menggantungkan penerangan pada sungai. Tepatnya di Desa Tulak Tallu, Kecamatan Sabbang, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, 12 jam perjalanan darat—plus satu setengah jam berjalan kaki—dari Makassar. Dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), sumber listrik ini lebih canggih. Air disodet dari Sungai Sampala, melewati saluran beton sepanjang 300 meter, lalu ditampung di kolam selebar meja pingpong. Kolam itu untuk mengatur air agar tidak berlebihan saat menyentuh turbin. Dari situ, air dialirkan vertikal sembilan meter dan menggerakkan turbin, yang kemudian membuat generator penghasil listrik beroperasi.
Kekuatannya mencapai 11,5 kilowatt dan menerangi 65 rumah di Dusun Tumandi. Dusun ini terletak di ketinggian 600 meter, dua kilometer dari jalan desa yang bisa dilalui mobil, dan sekitar lima kilometer dari tiang listrik milik PLN.
Proyek senilai Rp 500 juta bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri itu beroperasi sejak Desember lalu. Menurut Syahrum, asisten pelaksana PLTMH Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Luwu Utara, turbin mensyaratkan pasokan air 300 liter per detik. Debit dijaga dengan menanam pohon di daerah aliran sungai. Maka, seiring dengan pembangunan pembangkit, dia mengajak warga menanam seratusan pohon kayu keras, seperti sengon dan mahoni.
"Alhamdulillah, sampai sekarang tidak pernah kekurangan air," katanya. Generator hanya berfungsi saat gelap, mulai pukul 18.00 sampai 08.00. Alasannya, seperti kata Syahrum, mesin perlu istirahat, supaya lebih awet.
Malam-malam warga pun kini lebih bercahaya. Saban lepas isya, Nurdiyanti, 14 tahun, duduk manis di depan televisi 14 inci menunggu idolanya, Randy Pangalila dan Mikha Tambayong, di sinetron Nada Cinta yang ditayangkan Indosiar. Dua bohlam dan satu lampu neon menyala di kamar dan ruang tengah rumah panggung seluas 60 meter persegi dari kayu itu. "Dulu, kalau mau nonton, mesti ke rumah teman," ujar pelajar kelas I SMP Negeri Sabbang ini. Karena punya waktu belajar tambahan di malam hari, dia menyabet peringkat tiga, padahal sebelumnya tidak pernah masuk sepuluh besar.
PLTMH bukan pionir setrum di Tumandi. Selama enam tahun, dusun ini bergantung pada generator milik Muhammad Kasim, 78 tahun. Pensiunan TNI berpangkat sersan mayor ini membelinya di Makassar seharga Rp 4 juta dan mengalirkan listrik ke 30 rumah di sekitarnya.
Masing-masing keluarga urunan Rp 35 ribu per bulan untuk membeli solar yang habis 4,5 liter per malam. Dengan tenaga air, biaya listrik dipangkas jadi Rp 25 ribu untuk biaya pemeliharaan dan uang lelah petugas. Sang juragan tak berkeberatan penghasilannya menghilang. "Yang penting sekarang jadi lebih terang," kata kakek satu cucu ini.
Wakil Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriany mengaku sudah kelewat sering meminta PLN menambah jaringan di sana. Padahal, dia melanjutkan, ada 1.200 rumah yang siap jadi pelanggan baru. Dia pun beralih ke sumber setrum alternatif. Sejak berpisah dari Luwu pada 2001, kabupaten itu mendapat bantuan 44 mikrohidro, 11 pembangkit tenaga surya, dan tiga genset. Menerangi sekitar 5.000 rumah. "Itu belum menghitung berapa keluarga dan jiwa," katanya.
Setrum tidak sebatas pengusir gelap dan buat menonton sinetron. Di Desa Tandung, lima kilometer dari Desa Tulak Tallu, Seniwati, 38 tahun, mendirikan Aqytha Tailor. Ini menjadi satu-satunya usaha jahit dalam radius 15 kilometer. Sebelum ada listrik pada 2005, dia kudu mengirim baju yang akan diobras ke ibu kota kabupaten, Masamba, sekitar satu setengah jam perjalanan. Sekarang dia memiliki mesin obras sendiri, tujuh mesin jahit listrik 100 watt, dan empat karyawati. "Dulu seminggu cuma bisa bikin satu baju, sekarang satu hari bisa langsung jadi," katanya.
Di sisi lain pegunungan itu, listrik dimanfaatkan Mustawir Syam, 48 tahun, untuk membuat sarabba, minuman tradisional Makassar yang terbuat dari gula aren, jahe, dan santan. Satu cangkir ampuh menghilangkan pegal setelah seharian naik-turun gunung. Ada juga peternakan ayam yang menggunakan bohlam sebagai penghangat telur dan anak ayam. "Ekonomi masyarakat lebih bergerak," kata Wakil Bupati Indah.
Reza Maulana (Luwu Utara), Aris Andrianto (Banjarnegara), Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo